Pembangkit Panas Bumi Baru Ancam Hutan Warisan Dunia di Lampung
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Kamis, 25 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hutan hujan tropis yang menjadi Warisan UNESCO di Pulau Sumatera dinilai berada dalam ancaman karena rencana pemerintah untuk memodifikasi batas kawasan Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatra atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (THRS) demi membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Rencana pembangunan pembangkit geotermal berkapasitas 5 gigawatt tersebut akan berlokasi di Kecamatan Suoh dan Sekincau, Lampung Barat, dan merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sebelumnya Kementerian Kehutanan menyebut telah mengajukan modifikasi batas kepada UNESCO, dan mengusulkan area Suoh dan Sekincau dikeluarkan dari taman nasional tersebut.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), Attina Rizqiana, menyebut proyek ini mengancam kelestarian ekosistem dan ruang hidup masyarakat lokal. “Langkah ini merupakan kemunduran besar dalam upaya konservasi hutan tropis, sekaligus merusak reputasi Indonesia dalam diplomasi lingkungan terutama menjelang konferensi iklim COP30 di Brasil,” kata Attina, Senin, 22 September 2025.
Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatara menjadi situs warisan dunia UNESCO pada 2004. Kawasan seluas 2,5 juta hektare ini mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Wilayah ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, serta rumah bagi spesies endemik dan terancam punah seperti orangutan sumatra, harimau sumatra, dan gajah sumatra.

Attina mencatat, Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera menyimpan potensi terbesar untuk konservasi jangka panjang keanekaragaman hayati khas Sumatra. Di dalamnya terdapat sekitar 10.000 jenis tumbuhan (17 endemik), lebih dari 200 mamalia, serta 580 jenis burung (465 burung penetap dan 21 endemik). “Data ini menjadikan kawasan ini bukti penting evolusi biogeografi pulau tersebut,” ujarnya.
Meski telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia, selama 14 tahun THRS terus menghadapi sejumlah ancaman, termasuk deforestasi, pembangunan jalan dan pertambangan, termasuk pengembangan PLTP. Pada 2011, UNESCO memasukkan THRS dalam kategori ‘World Heritage in Danger’ atau warisan dunia yang berada dalam kondisi terancam.
Menurut data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 10,7 juta hektare hutan primernya sepanjang periode 2002-2024. Pulau Sumatra menempati peringkat keempat kawasan yang kehilangan tutupan hijau terbesar di Indonesia.
“Konversi lahan hutan yang direncanakan pemerintah untuk infrastruktur geotermal justru akan memperparah tren deforestasi yang sudah memprihatinkan,” kata Attina.
Petaka ekologis berkedok hijau
Attina menyebut proyek pembangkit panas bumi menyimpan petaka ekologis di balik kedok proyek “hijau”. Hal ini telah terjadi di sejumlah wilayah. Di antaranya kebocoran gas beracun PLTP Sorik Marapi yang merenggut lima nyawa warga dan ratusan keracunan di Mandailing Natal; serta kekeringan dan menurunnya kualitas produk pertanian akibat limbah cair dari PLTP Dieng.
Attina pun membantah klaim pemerintah bahwa proyek panas bumi menciptakan lapangan kerja. Studi Celios pada 2025 mengungkap, proyek PLTP Ijen hanya menyerap 0,85 persen tenaga kerja lokal dari ribuan usia penduduk usia produktif di wilayah tersebut.
Celios juga menghitung efek proyek PLTP Ulumbu di Nusa Tenggara Timur, yang berisiko memicu berkurangnya produk domestik regional bruto sebesar Rp368 miliar di provinsi tersebut. Salah satunya dikarenakan penurunan signifikan produktivitas pertanian.
Attina mengkhawatirkan hal serupa terjadi di Lampung Barat jika proyek geotermal dilanjutkan. “Sama halnya dengan Ulumbu, sektor pertanian saat ini menjadi andalan utama bagi masyarakat Suoh dan Sekincau,” katanya.
Geotermal tidak sama dengan energi terbarukan
Sebelumnya Kementerian Kehutanan menyebut telah mengajukan modifikasi batas Tropical Rainforest Heritage of Sumatra ke UNESCO, dan telah masuk dalam tahap diskusi. Pengajuan tersebut dilakukan karena pemerintah Indonesia dan Unesco memiliki perbedaan aturan terkait panas bumi di situs warisan dunia.
Pemerintah menggadang-gadang geotermal sebagai bagian dari energi terbarukan. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Bhima Yudhistira menyebutnya sebagai “rezim pertambangan” yang tidak ramah lingkungan.
Saat ini UNESCO mengakui geotermal sebagai aktivitas pertambangan sehingga dilarang di kawasan warisan dunia.
Sebelumnya Indonesia juga mengategorikan geotermal sebagai “pertambangan”. Namun status tersebut diubah pada 2014, melalui perubahan undang-undang tentang panas bumi, bertepatan dengan masuknya dukungan Bank Dunia untuk proyek geotermal.
Kini Indonesia menyebut geotermal sebagai “pemanfaatan jasa lingkungan” dalam Undang-Undang Nomor 21 Nomor 2014 tentang Panas Bumi.
“Ironisnya, di negara lain seperti Amerika Serikat, Filipina, Jepang, Meksiko, Selandia Baru, dan Islandia, geotermal tetap dikategorikan sebagai pertambangan yang tidak bisa dilakukan di sembarang lokasi, apalagi di hutan warisan dunia,” kata Bhima.
“Tindakan mengorbankan hutan warisan dunia menunjukkan kepentingan investasi lebih diutamakan dibanding perlindungan lingkungan, yang pada akhirnya dapat mengurangi kepercayaan mitra internasional dan melemahkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi pendanaan iklim maupun kerjasama energi berkelanjutan,” kata Bhima.