Raksasa Sawit First Borneo Diduga Babat Hutan di Cagar Biosfer
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Kamis, 25 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perusahaan perkebunan sawit, First Borneo Group diduga melakukan deforestasi masif di kawasan konservasi yang merupakan habitat orang utan di Kalimantan Barat, menurut hasil pemantauan terbaru dari koalisi masyarakat sipil.
Analisis citra satelit menunjukkan, salah satu anak perusahaan raksasa sawit tersebut, bernama PT Equator Sumber Rezeki, membabat hutan seluas 1.548 hektare per Agustus 2025, di kawasan Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu. Luas tersebut setara 2.000 luas lapangan sepak bola.
Analisis citra satelit juga menunjukkan bahwa deforestasi terjadi secara konsisten dari tahun 2024 hingga Agustus 2025, di mana sekitar 904,73 hektare di antaranya tumpang tindih dengan sebaran habitat orang utan kalimantan yang berstatus terancam punah.
“Temuan ini mengindikasikan adanya ancaman serius terhadap kelangsungan habitat orang utan akibat pembukaan hutan yang terus berlangsung,” kata Koalisi, yang terdiri dari tujuh organisasi masyarakat sipil, termasuk Satya Bumi, Walhi Kalimantan Barat, dan AMAN Kalimantan Barat.

Berdasarkan data penilaian kelangsungan populasi dan habitat (PHVA) pada 2016, total sebaran habitat orang utan di dalam konsesi PT Equator Sumber Rezeki (ESR) mencapai sekitar 3.827 hektare atau hampir seperempat luas konsesinya.
Menurut Koalisi, hingga saat ini PT Equator Sumber Rezeki terus melakukan deforestasi di dalam Koridor Bentarum, yang kaya keanekaragaman hayati. Kawasan ini berada di Desa Setulang, Mensiau, Labian, Labian Ira’ang, Sungai Abau, dan Senunuk. Hampir 80% atau sekitar 11.600,3 hektare dari kawasan ini didominasi tutupan hutan alam.
Terdapat juga bekas ladang, perkebunan, permukiman dan wilayah yang memiliki nilai penting bagi masyarakat adat di desa-desa tersebut. “Tutupan hutan alam ini penting untuk pelestarian keanekaragaman hayati, terutama sebagai penghubung antara dua taman nasional. Kawasan ini merupakan habitat bagi berbagai spesies satwa penting, dan juga menyediakan potensi ekonomi alternatif bagi masyarakat, seperti tengkawang yang ditemukan di hampir seluruh desa,” kata Koalisi.
Ancam masyarakat adat dan biodiversitas
Dalam area konsesi PT ESR terdapat komunitas adat Dayak Iban Menua Ngaung Keruh di Desa Labian, Kecamatan Batang Lupar yang hidup dengan tradisi rumah panjang (rumah betang) serta memiliki ikatan yang kuat dengan hutan dat mereka. Hutan adat mereka, seluas 114,25 hektare, telah memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah. “Hutan bukan sekadar sumber kayu atau lahan garapan, melainkan ruang hidup yang menyediakan sumber pangan, obat-obatan tradisional, bahan bangunan, hingga tempat yang sakral untuk upacara adat dan praktik kepercayaan.”
Satya Bumi menemukan adanya penggusuran ladang, makam leluhur, tembawang serta bekas rumah betang di Desa Setulang dan Desa Sungai Senunuk pada kecamatan yang sama. Ladang masyarakat dibeli hanya Rp300.000 per hektare, sementara tembawang, makam tua, dan bekas rumah betang digusur tanpa pemberitahuan. Setelah masyarakat menuntut melalui mekanisme adat, perusahaan akhirnya memberikan kompensasi sebesar Rp3 juta. Operasional perusahaan di kawasan ini berpotensi mengganggu dan mengancam keberlanjutan ruang hidup komunitas adat tersebut.
“Peringatan keras bagi PT ESR bahwa keberlangsungan hidup orang utan, kelestarian hutan, dan stabilitas ekosistem tidak bisa dikorbankan demi kepentingan ekonomi semata,” kata Koalisi.
Lanskap Bentarum, area kaya keanekaragaman hayati di Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum. Dok. Sangga Bumi Lestari
Minim transparansi dan akuntabilitas
Koalisi menyebut ekspansi yang dilakukan PT Equator Sumber Rezeki sebagai alarm kekhawatiran serius. Praktik pembukaan hutan oleh perusahaan disebut tidak selaras dengan kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Lahan Gambut, dan Tanpa Eksploitasi (NDPE) yang diadopsi banyak perusahaan di industri sawit untuk memastikan rantai pasok minyak sawit yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
“Fakta bahwa PT ESR masih membuka hutan, sementara 83% kapasitas refinery global sudah menerapkan kebijakan NDPE menunjukkan bahwa mekanisme NDPE masih lemah dalam implementasinya,” kata Koalisi.
“Situasi ini pun kian mengkhawatirkan karena First Borneo Grup sebagai induk perusahaan belum terkonfirmasi memiliki komitmen NDPE, sehingga risiko deforestasi tetap tinggi. Oleh karena itu, ini bisa menjadi bahan peringatan bahwa perusahaan yang telah menerapkan komitmen NDPE seharusnya lebih waspada dan menolak pasokan dari First Borneo Group,” kata Koalisi.
Grup First Borneo juga memiliki beberapa anak perusahaan yang berada di Kabupaten Kapuas Hulu, yakni PT Borneo International Anugerah, PT Kalimantan Agro Abadi, PT Baturijal Perkasa, PT Ceram Agrotama Energi, PT Mitra Kapuas Agro, dan PT Kapuas Bio Agro.
Anak perusahaan lainnya, PT Borneo International Anugerah tercatat sebagai salah astu deforester terbesar, dengan kehilangan hutan seluas 514 hektare pada 2023, berdasarkan data Simontini. Angka ini meningkat menjadi 2.022 hektare pada 2024. Koalisi mencatat bahwa seluruh konsesi PT Borneo International Anugerah juga terindikasi beraktivitas di kawasan gambut.
Koalisi mendesak pemerintah provinsi Kalimantan Barat untuk meminta perusahaan yang sedang melakukan deforestasi di Kabupaten Kapuas Hulu untuk berhenti beroperasi. Pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti melakukan deforestasi, sekaligus mendesak agar perusahaan melaksanakan uji tuntas atas aspek HAM, sosial, dan lingkungan, serta melakukan pemulihan dan restorasi pada kawasan yang sudah terdampak deforestasi.
Koalisi tersebut terdiri dari tujuh organisasi masyarakat sipil seperti Satya Bumi, Teraju Indonesia Foundation, LBH Pontianak, Linkar Borneo, LBH Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Barat, dan AMAN Kalimantan Barat.