Jatam: Penertiban Tambang di Kawasan Hutan Hanya Aksi Kosmetik
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Jumat, 26 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai penertiban tambang tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) oleh pemerintah melalui Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja tak menyelesaikan persoalan struktural pertambangan di kawasan hutan. Penyelesaian ini justru jadi 'pemutihan' bagi korporasi usai melanggar aktivitas di kawasan hutan tanpa izin.
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) Halilintar telah menguasai kembali 321,07 hektare tambang yang beroperasi tanpa izin dalam kawasan hutan. Sebanyak 148,25 ha merupakan kawasan milik PT Weda Bay Nickel (WBN) di Maluku Utara. Sedangkan 172,82 ha lainnya adalah milik PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) di Sulawesi Tenggara.
Penguasaan lahan ini merupakan upaya penertiban ratusan hektare lahan tambang yang beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan.
Jatam memberikan catatan kritis atas penertiban ini. Kepala Divisi Advokasi dan Kebijakan Jatam, Muhammad Jamil, menyebutkan penertiban ini dilakukan berdasar Pasal 110A dan 110B UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Sanksi dan denda administratif penertiban ini diatur dalam PP No 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

Menurutnya mekanisme pembayaran sanksi dan denda administratif sekadar pemutihan bagi korporasi pelanggar untuk 'menebus dosa' pelanggaran beraktivitas di dalam kawasan hutan tanpa izin. Pemutihan ini justru memungkinkan adanya pelepasan status kawasan hutan sepanjang tak ditemukan tumpang tindih dengan perizinan usaha lainnya.
“Dengan begitu, Satgas PKH bukan hanya gagal menyentuh akar persoalan struktural dalam agenda pertambangan di dalam kawasan hutan, tetapi juga berisiko menjadi instrumen legalisasi pelanggaran demi optimalisasi pendapatan negara.
Kepala Divisi Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, menyebutkan perhitungan lembaganya mencatat bahwa pemerintah hanya mengambil alih 0,33 persen dari total dari 45.065,00 hektare lahan yang berada dalam konsesi PT WBN.
Data Jatam, lanjut Alfarhat, menyebutkan PT WBN telah memicu deforestasi seluas 2.970 ha pada 2019-2024. Sementara keberadaan Indonesia Weda bay Industrial Park (IWIP), yang menjadi kawasan industri pengolahan nikel telah menghancurkan hutan seluas 2.330 ha sejak 2019 hingga 2024.
“Artinya, keberadaan duo PT WBN dan IWIP menyumbang sebagian besar kehancuran hutan primer Halmahera Tengah yang mencapai 4.190 ha per 2024,” kata dia.
Deforestasi ini pula yang mengancam tata kelola air. Pengembangan skala operasi IWIP diperkirakan akan merampas air dari penduduk Halmahera Tengah sebesar 27.000 m3 per hari yang diambil dari Sungai Kobe, Sungai Sake, dan Sungai Wosia. Sedangkan kebutuhan air untuk seluruh penduduk Kabupaten Halmahera yang berjumlah 96.977 jiwa pada 2023 adalah sebesar 10.667,47 m3/hari (dengan angka konsumsi rata-rata 110 L/orang/hari).
“Setelah membabat hutan, korporasi ini merampas air melalui privatisasi pengelolaan Sungai Wosia dan Ake Sake. Kedua sungai itu vital bagi warga Desa Lelilef Sawai dan Desa Gemaf,” ucapnya.
Pada 2023, JATAM menguji sampel air sungai Woesna atau Wosia, Sungai Kobe, dan Ake Doma. Hasilnya, ditemukan kandungan nikel, platina-kobalt, amonia, dan nitrat di atas ambang baku mutu sungai yang memiliki peruntukan sebagai penyedia air minum. Khusus Sungai Kobe, Dinas Kesehatan Weda Tengah telah memperingatkan warga agar tidak menjadikan air dari Sungai Kobe sebagai sumber pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga seperti minum, memasak, mencuci.
Kedua korporasi itu juga dituding merampas kawasan pertanian untuk pangan. Alih fungsi lahan pangan menjadi area pertambangan dan kawasan industri membuat warga kehilangan lumbung pangan. Setelah tambang dan kawasan hilirisasinya beroperasi, kawasan penyangga pangan seperti Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Woebulan, Desa Gemaf, Desa Sagea, Desa Fritu, Desa Waleh, Desa Kulo Jaya, dan Desa Woejerana luluh-lantak.
“Akibatnya, pasokan pangan kini harus didatangkan dari wilayah Transmigran Wairoro, Weda Selatan dan Transmigran Waleh di Weda Utara. Ironisnya, kedua wilayah tersebut masuk dalam perencanaan perluasan kawasan industri PT IWIP.
Kerusakan tak melulu terjadi di daratan, kerusakan terumbu karang, mangrove, hingga padang lamun yang menjadi rumah dan tempat pemijahan beberapa spesies lautan pun terjadi. Halmahera Tengah yang semula merupakan lumbung ikan, terpaksa mengandalkan pasokan ikan dan tangkapan laut lainnya untuk kebutuhan pangan warga dari daerah lain seperti Pulau Gebe di Halmahera Barat hingga wilayah Oba di Tidore.
Kualitas kesehatan warga pun juga turut terancam akibat polusi industri dan pertambangan. Beragam penyakit gangguan pernapasan seperti ISPA dan bronkitis akut seolah-olah menjadi makanan sehari-hari warga di lingkar tambang Weda Bay dan hilirisasinya. Demikian pula dengan dermatitis kontak yang jumlah kasusnya terus meningkat.
Masalah-masalah ini, kata Alfarhat, ini sama sekali jauh dari penyelesaian penertiban kawasan hutan. Satgas Halilintar justru terkesan melakukan penertiban simbolik.
“Pengembalian lahan seluas 321,07 hektare dari konsesi tambang yang luasnya mencapai ribuan hektare hanyalah tindakan kosmetik yang tidak menyentuh akar persoalan utama berupa praktik perampasan ruang hidup dan pelanggaran hukum yang difasilitasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan,” ungkapnya.