Tambang Nikel di Raja Ampat Ancam Ekologi Laut dan Darat

Penulis : Kennial Laia

Ekologi

Jumat, 26 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perairan laut dan darat Raja Ampat yang sangat kaya keanekaragaman hayati terus menghadapi ancaman dari penambangan nikel milik perusahaan pelat merah maupun perusahaan swasta. Dampak yang ditimbulkan diperkirakan berlangsung jangka panjang, dengan ancaman kehancuran ekologis bagi kawasan tersebut. 

Analisis  spasial baru, yang dirilis Kamis, 25 September 2025, oleh Auriga Nusantara dan Earth Insight, mengungkap lebih dari 22.000 hektare konsesi pertambangan nikel terus mengancam Geopark Global UNESCO tersebut, serta membahayakan 2.470 hektare terumbu karang dan habitat spesies terancam punah. 

Raja Ampat merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang dunia serta dijuluki “Permata Mahkota Keanekaragaman Hayati Laut”. Dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia, kawasan ini merupakan habitat bagi 75% spesies karang perairan dangkal di dunia, lebih dari 1.600 spesies ikan, dan populasi pari manta terumbu terbesar. 

“Tekanan ekologis yang sangat berat akan memicu kepunahan besar di Raja Ampat. Padahal di kawasan ini banyak biodiversitas berharga dan bernilai tinggi yang dapat terancam menuju kepunahan,” kata Direktur Pesisir dan Kelautan Auriga Nusantara, Paris Ridwanuddin. 

Lanskap Pulau Manuran, Raja Ampat, Papua, kehilangan tutupan hutan karena pertambangan nikel. Dok. Auriga Nusantara

Juni lalu pemerintah Indonesia sempat mencabut empat izin perusahaan nikel di Raja Ampat setelah protes masif dari masyarakat. Pada 3 September 2025, PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag kembali beroperasi. 

Meski pemerintah mengklaim operasi PT Gag Nikel tidak berdampak pada kawasan geopark karena tidak masuk di dalamnya dengan jarak 30-40 kilometer, Parid mengatakan pemerintah gagal melihat gugusan Raja Ampat sebagai satu kesatuan. 

Raja Ampat harus dilihat sebagai sebuah ekosistem kesatuan. Jika satu titik rusak dan tercemar, maka yang lain juga akan ikut rusak dengan cepat, karena dipengaruhi oleh  karakter arus laut di Indonesia, yang dapat membawa sedimen nikel ke area lain,” katanya. 

Selain ekosistem laut, penambangan nikel juga mengancam 7.200 hektare tutupan hutan yang masuk dalam konsesi pertambangan. Menurut laporan tersebut, ini juga akan berdampak pada mata pencaharian lebih dari 64.000 anggota masyarakat adat dan lokal di seluruh kepulauan seluas 3,66 juta hektare tersebut. Wilayah ini juga merupakan rumah bagi masyarakat adat Papua dan komunitas lainnya yang bergantung pada perairan dan hutan murni untuk identitas budaya, ketahanan pangan, dan kelangsungan ekonomi mereka. 

Laporan tersebut juga menemukan, ekspansi pertambangan di Raja Ampat meluas tiga kali lebih cepat dari 2020 hingga 2024 dibandingkan lima tahun sebelumnya. Ancaman sedimentasi nikel dan polusi suara dari aktivitas ini berisiko pada habitat spesies penting, termasuk pari manta (termasuk jenis terbesar di dunia, Mobula birostris) dan lima spesies penyu yang dilindungi (termasuk penyu sisik yang terancam punah). 

Terumbu karang mengalami pemutihan (bleaching) akibat pertambangan nikel di Pulau Batang Pele, Raja Ampat, Papua. Dok. Auriga Nusantara

Penambangan nikel di Raja Ampat juga berdampak pada mata pencaharian, di mana nelayan tradisional melaporkan bahwa kebisingan dan getaran dari penambangan telah membuat takut ikan dan lumba-lumba. 

Menurut laporan tersebut, penambangan yang terus berlanjut dapat membahayakan penunjukan Raja Ampat sebagai Geopark UNESCO, yang menarik lebih dari 19.000 wisatawan pada 2023. 

“Penelitian kami menunjukkan bahwa penambangan nikel di Raja Ampat menimbulkan efek domino berupa kehancuran – mulai dari pembukaan hutan secara langsung, limpasan sedimen yang menyebabkan matinya terumbu karang, hingga hilangnya spesies laut yang menjadi andalan masyarakat setempat,” kata Direktur Auriga Nusantara, Timer Manurung.

"Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa keuntungan pertambangan jangka pendek tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai jangka panjang dari ekosistem utuh yang mendukung keanekaragaman hayati dan ekonomi pariwisata. Kami menyerukan pembatalan segera dan permanen terhadap semua konsesi pertambangan yang tersisa di Raja Ampat," ujarnya.  

Penilaian tersebut dilakukan ketika Indonesia memposisikan dirinya sebagai “OPEC nikel” untuk memenuhi permintaan global akan baterai kendaraan listrik. Namun, laporan ini menunjukkan bagaimana ekstraksi nikel di wilayah yang sensitif secara ekologis seperti Raja Ampat menciptakan kerusakan lingkungan yang meluas hingga melampaui lokasi pertambangan itu sendiri.

“Raja Ampat mewakili salah satu ekosistem laut yang paling tidak tergantikan di planet ini, namun analisis kami menunjukkan bahwa Raja Ampat masih terancam secara signifikan oleh industri pertambangan nikel yang menimbulkan bahaya mendasar bagi terumbu karang, kehidupan laut, dan masyarakat adat,” kata Analis Spasial di Earth Insight Tiffany Hsu. 

"Meskipun pencabutan izin yang dilakukan pemerintah baru-baru ini merupakan langkah positif, konsesi yang tersisa dan tantangan hukum yang terus berlanjut dari perusahaan pertambangan membuat kekayaan global ini jauh dari aman. Perlindungan menyeluruh memerlukan penghapusan permanen seluruh konsesi pertambangan dari nusantara,” katanya. 

Laporan ini mendokumentasikan dampak lingkungan yang parah yang telah terjadi di beberapa pulau. Di Pulau Kawei, nelayan tradisional melaporkan bahwa kebisingan dan getaran penambangan menyebabkan hilangnya ikan yang penting bagi ketahanan pangan setempat. Pulau Manuran mengalami peningkatan polusi saat air pasang. Laporan tersebut memperingatkan bahwa dampak-dampak ini hanyalah permulaan dari apa yang mungkin terjadi jika ekspansi pertambangan terus berlanjut.

Laporan tersebut menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membatalkan secara permanen semua konsesi pertambangan di Raja Ampat, menetapkan perlindungan “zona terlarang” yang dapat diterapkan di seluruh kepulauan, dan memprioritaskan alternatif berkelanjutan yang melindungi keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat, sekaligus mendukung komitmen Indonesia terhadap kepemimpinan konservasi laut.