EUDR Ditunda, Ruang Deforestasi Terbuka

Penulis : Kennial Laia

Deforestasi

Senin, 29 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Organisasi masyarakat sipil mengkritisi Komisi Uni Eropa yang kembali menunda implementasi Undang-Undang Anti-Deforestasi (EUDR). Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat saat tren deforestasi di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. 

Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra, yang mengikuti perkembangan regulasi tersebut, menyatakan kekecewaan atas langkah yang diambil Komisi Uni Eropa, beserta pemerintah Indonesia yang melakukan lobi untuk menunda EUDR. 

Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia dengan 52,67 juta ton minyak sawit mentah (CPO) dan 10 persen diekspor ke Uni Eropa. Produksi yang besar ini harus dibayar mahal dengan hilangnya hutan-hutan alam, di mana Indonesia kehilangan 70 persen hutan di Sumatra dan 50 persen hutan Kalimantan selama 75 tahun terakhir, termasuk untuk perkebunan sawit, kayu, dan pertambangan mineral. 

“Deforestasi di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun, utamanya disebabkan oleh proyek strategis nasional dan kebutuhan perkebunan. Penundaan justru memberikan ruang bagi praktik deforestasi dan eksploitasi yang sudah ada untuk terus berlanjut. Hal ini justru menunda reformasi perbaikan tata kelola perkebunan yang dibutuhkan,” kata Hayaa.

Foto udara pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di hutan gambut Babahrot, Aceh Barat Daya, Aceh. Dok. Betahita/Istimewa

Hayaa mengatakan, ancaman baru kini menyasar hutan tropis terakhir yang berada di Tanah Papua, yang sering disebut juga paru-paru terakhir Indonesia. Satya Bumi menghitung 3,6 juta hektare hutan alam yang belum terbuka dalam konsesi sawit, dan mayoritas berlokasi di Papua. 

“Sikap ogah-ogahan pemerintah untuk memperbaiki sistem perkebunannya memperlihatkan minimnya kemampuan berefleksi dalam sistem pemerintahan Indonesia saat ini,” kata Hayaa. 

“EUDR seharusnya dilihat lebih luas dari sekedar isu nasionalisme dan perang dagang, melainkan sebagai bagian dari ambisi bersama untuk menjaga hutan alam yang tersisa,” ujarnya. 

Merugikan petani swadaya

Menurut Hayaa, EUDR memiliki potensi besar untuk menginklusi petani sawit swadaya dan memberikan keuntungan ekonomi pada wilayah-wilayah penghasil perkebunan seperti Sumatra dan Kalimantan. Analisis dari European Forest Institute menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta petani swadaya di Indonesia berpotensi terhubung ke rantai pasok Uni Eropa apabila isu data, legalitas, dan keterlacakan dapat diselesaikan secara sistematis. 

Bukti lapangan juga menunjukkan potensi manfaat nyata: program pemberdayaan petani bernama SHINES di Kalimantan Timur, misalnya, berhasil memberdayakan ratusan petani untuk mendapatkan sertifikasi dan akses pasar internasional, sekaligus meningkatkan posisi tawar mereka. 

“Dengan demikian, risiko eksklusi yang selama ini dikhawatirkan dapat diubah menjadi peluang ekonomi jika ada kombinasi kebijakan inklusif, pendanaan transisi dari Uni Eropa, serta komitmen industri dalam menjalin kemitraan langsung dengan smallholders,” kata Hayaa. 

“Penundaan dan ketidakpatuhan terhadap EUDR akan menyebabkan hilangnya mata pencaharian petani dan meningkatnya kerentanan ekonomi di komunitas yang paling bergantung pada komoditas ini,” ujarnya. 

Hayaa mengatakan, argumentasi teknis seperti sistem informasi seharusnya tidak digunakan untuk melemahkan peraturan yang berorientasi pada penyelamatan sumber oksigen bumi. Komisioner-komisioner Uni Eropa harus turun ke hutan di Indonesia, melihat hamparan perkebunan kelapa sawit, dan menilai sendiri bahwa argumentasi mengenai sistem informasi adalah alasan yang tidak sebanding. Terlebih perusahaan besar dunia seperti Nestle dan Ferrero, mendorong langkah adaptif untuk melaksanakan EUDR pada Desember 2025.

“Penundaan EUDR, memberikan signal ketidakpastian yang akan memberatkan petani yang tengah bersiap untuk menghadapi EUDR. Termasuk semakin menjauhkan smallholders di Indonesia dari kesempatan terlibat dalam rantai pasok ke pasar Eropa,” kata Hayaa.  

“Pemerintah seharusnya bekerja lebih keras untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan agar petani bisa memenuhi standar EUDR tersebut," kata Hayaa.