Bersihkan Indonesia Gugat Rencana Listrik 2025-2060
Penulis : Kennial Laia
Energi
Selasa, 30 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi organisasi masyarakat sipil #BersihkanIndonesia menggugat rencana pemerintah terkait penyediaan tenaga listrik nasional yang tercakup dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060. Dokumen tersebut dinilai memaksakan penggunaan energi fosil dan membutuhkan biaya besar dibandingkan energi terbarukan.
Tim Advokasi Bersihkan Indonesia mendaftarkan gugatan pada Jumat, 26 September 2025. Menurut Koalisi, RUKN 2025-2060 memaksakan perpanjangan pemanfaatan pembangkit listrik batu bara (PLTU) hingga 2060 dengan perluasan co-firing biomassa, serta menambah ketergantungan pada gas, serta menggantungkan seluruh reduksi emisi fosil pada teknologi penangkapan karbon (CCS). Dokumen tersebut juga memasukkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.
Rencana penyediaan listrik dalam dokumen tersebut diperkirakan membutuhkan biaya investasi hingga US$ 1.092 miliar atau rata-rata US$ 30,33 miliar/tahun. RUKN tersebut, yang disahkan pada Maret lalu, disebut sebagai cara paling boros untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060, sehingga dikhawatirkan berdampak pada harga listrik ke masyarakat atau beban subsidi energi.
“Gugatan ini kami ajukan untuk mendorong RUKN ini dicabut serta diterbitkan RUKN baru yang lebih realistis dan dapat menurunkan emisi serta polusi akibat adanya PLTU batu bara, dengan memuat peta jalan pemensiunan PLTU serta menambah porsi energi terbarukan,” kata pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, yang tergabung dalam koalisi tersebut.

“Pemerintah harus ingat bahwa hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia yang perlu dipenuhi oleh pemerintah,” kata Alif.
Alif mengatakan, investasi untuk rencana ketenagalistrikan saat ini jauh lebih mahal dibandingkan jika Indonesia mendorong energi terbarukan, seperti surya atau angin, dengan porsi lebih besar. Studi Institute of Essential Services Reform (IESR) pada 2025 menemukan, Indonesia dapat menghemat biaya hingga sepertiga dengan menambah energi terbarukan, menghentikan PLTU batu bara lebih awal, mengurangi gas dan CCS, serta menghilangkan nuklir dari RUKN.
RUKN 2025-2060 merencanakan 54 gigawatt (GW) PLTU batu bara beroperasi hingga 2060, di mana puncak operasi mencapai 62,4 GW dengan 5-30% co-firing biomassa. Menurut Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry, rencana ini menunjukkan pengabaian kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Pasalnya, gugatan telah berulang kali diajukan masyarakat untuk menghentikan PLTU di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi hingga Nusa Tenggara, mengingat dampaknya yang sangat buruk pada kesehatan, ekonomi lokal, ruang hidup warga, hingga ruang fiskal negara.
“Presiden Prabowo perlu mengecek ulang kebenaran pidatonya kemarin di sidang umum PBB yang menyatakan bahwa ia terpaksa dan tidak punya pilihan dalam menghadapi krisis iklim selain membangun giant sea wall yang daya rusaknya juga akan sangat hebat,” kata Ashov.
“Dengan memaksakan PLTU batu bara terus beroperasi yang diperparah dengan kombinasi solusi palsu, pemerintahan Presiden Prabowo sedang menciptakan keterpaksaan dan menyempitkan pilihannya sendiri,” ujarnya.
Program and Policy Manager CERAH Wicaksono Gitawan mengatakan, pemasangan teknologi CCS demi mereduksi emisi PLTU batu bara dan gas sesuai RUKN juga tidak realistis dan boros. Di seluruh dunia, CCS baru dipasang di empat-lima PLTU, dengan ketidakpastian biaya yang sangat tinggi yang dapat mencapai 12 kali lipat biaya energi terbarukan. Selain itu, rencana penerapan co-firing biomassa di PLTU dikhawatirkan akan mendorong deforestasi hingga jutaan hektare demi memenuhi kebutuhan bahan baku biomassa.
Dokumen RUKN tersebut juga memasukkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hingga 35-44 GW, dengan proporsi biaya investasi yang sangat besar.
“Biaya listrik PLTN juga lebih mahal dari tarif dasar listrik yang ditetapkan pemerintah. Kemudian, karena keterbatasan cadangan uranium di dalam negeri, justru berpotensi membuat Indonesia harus mengimpor uranium yang dibutuhkan untuk mengoperasikan PLTN hingga akhir usia pembangkit yang umumnya 30 hingga 40 tahun,” kata Wicaksono.
Wicaksono mengatakan, RUKN bertentangan dengan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang memandatkan adanya peta jalan percepatan pemensiunan PLTU. “RUKN yang dikeluarkan Menteri ESDM ini malah mencegah adanya pemensiunan PLTU batu bara dan membelokkan kebijakan yang sudah ditetapkan,” ujarnya.