Kebijakan Energi Nasional Jadi Surga Batu Bara
Penulis : Aryo Bhawono
Energi
Rabu, 01 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kebijakan Energi Nasional masih menjadi surga bagi pembangkit batu bara. Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disahkan pemerintah pada pertengahan September 2025 lalu dianggap justru menurunkan ambisi energi terbarukan dan memperpanjang dominasi batu bara hingga beberapa dekade.
Pemerintah mengesahkan PP No 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada 15 September 2025 lalu. Aturan ini menjadi pedoman pengembangan energi Indonesia, mulai dari sasaran penyediaan energi, kebijakan pemanfaatan sumber daya, hingga kerangka transisi dan dekarbonisasi sektor energi.
Namun Indonesia Center of Environmental Law (ICEL) menilai peraturan ini justru menurunkan ambisi energi terbarukan dan memperpanjang dominasi batu bara hingga beberapa dekade. Target energi terbarukan hanya dipatok 19–21 persen pada 2030, lalu naik bertahap hingga 58–61 persen pada 2060.
Kepala Divisi Keadilan Iklim dan Dekarbonisasi ICEL, Syaharani, menyebutkan angka ini sangat rendah dibanding potensi teknis Indonesia yang mencapai lebih dari 3.000 GW dan menunjukkan lemahnya komitmen percepatan transisi energi.

Sebaliknya, porsi batu bara tetap tinggi, yakni 47–50 persen pada 2030, 38–41 persen pada 2040, 22–25 persen pada 2050, dan tetap sekitar 8–10 persen pada 2060. Konsistensi ini memperpanjang umur pembangkit, meningkatkan risiko carbon lock-in serta mengancam pencapain target puncak emisi 2035 dan net-zero 2060. Dominasi batu bara memperlambat penurunan emisi sektor energi, mengurangi peluang investasi energi bersih, menunda penciptaan lapangan kerja hijau, serta melemahkan upaya kedaulatan energi nasional.
Selain batu bara, gas bumi juga diposisikan sebagai pilar energi jangka panjang dengan target porsi 12,9–14,2 persen pada 2030, naik hingga 17,1–17,3 persen di 2050, dan tetap 14,4–15,4 persen pada 2060. Konsumsi gas final diproyeksikan mencapai 56,6–71,1 juta Ton Oil Equivalent (TOE) pada 2060. Ketergantungan ini berisiko mengunci infrastruktur gas, menghambat penetrasi energi terbarukan, memicu stranded assets, dan melemahkan sinyal komitmen Indonesia untuk beralih sepenuhnya ke energi bersih.
“Kebijakan ini memperlihatkan kontradiksi besar karena di satu sisi Indonesia menyatakan komitmen menuju dekarbonisasi dan target net zero, tetapi di sisi lain tetap menormalisasi penggunaan batu bara hingga puluhan tahun ke depan. Langkah ini bukan hanya melemahkan kredibilitas komitmen iklim Indonesia, tetapi juga mengunci kita dalam ketergantungan pada energi kotor yang akan menyulitkan transisi menuju energi bersih,” ujar.
Lock-in ini berpotensi menghasilkan stranded assets. Artinya, investasi besar pada infrastruktur gas, seperti pembangkit, jaringan distribusi, dan fasilitas regasifikasi akan berdampak pada risiko menjadi aset terlantar karena peralihan teknologi untuk energi terbarukan yang akan dikembangkan selanjutnya. Dari sisi kebijakan, mempertahankan porsi gas di atas 14 persen hingga 2060 juga melemahkan sinyal komitmen Indonesia terhadap transisi energi yang berbasis energi terbarukan.
PP KEN juga menempatkan biomassa, biogas, dan BBN sebagai komponen penting bauran energi hingga 2060. Meski terlihat ambisius, kebijakan ini berisiko memicu trade-off dengan ketahanan pangan, keberlanjutan lahan, dan emisi sektor FOLU (Forestry and Other Land Use). Tanpa mekanisme safeguard yang ketat, ekspansi bioenergi berisiko memicu deforestasi, perampasan lahan, serta konflik agraria, terutama karena bahan baku seperti sawit dan jagung kerap diambil dari perkebunan skala besar.
Alih-alih memperkuat dekarbonisasi, pendekatan ini justru bisa melemahkan kredibilitas Indonesia di mata internasional dan mengganggu pencapaian target emisi FOLU Net Sink 2030.
Beban Sosial dan Ekonomi
PP KEN, kata Syaharani, gagal menghitung biaya eksternalitas energi fosil dan justru mendorong alokasi sumber daya yang tidak efisien. Operasional PLTU batu bara, misalnya, berkontribusi pada sekitar 6.500 kematian dini per tahun akibat polusi udara, yang menambah beban besar bagi sistem kesehatan. Selain itu, proyek energi berbasis batu bara skala besar, secara historis, rawan memperburuk konflik agraria dan mengabaikan hak masyarakat lokal maupun adat.
“Dari sisi ekonomi, PP KEN masih memberi subsidi besar bagi energi fosil dan mendorong solusi mahal berisiko tinggi seperti nuklir dan CCS, yang terbukti lebih lambat dalam perencanaan dan pengembangannya serta berbiaya tinggi dibandingkan energi terbarukan. Investasi pada teknologi ini juga mewariskan beban jangka panjang seperti biaya pengelolaan limbah radioaktif,” ucapnya.
ICEL mendesak pemerintah memastikan transisi energi yang adil dengan segera beralih ke energi bersih dan menetapkan target energi terbarukan yang lebih ambisius, melibatkan partisipasi aktif masyarakat terdampak, penciptaan lapangan kerja hijau, serta perlindungan hak masyarakat adat dan lokal.