Grup Usaha Industri Energi Fosil dalam Proyek Transisi Energi

Penulis : Kennial Laia

Energi

Selasa, 07 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sejumlah korporasi konglomerat pemilik bisnis energi fosil diidentifikasi berada di balik pengembangan proyek transisi energi di Indonesia. Keenam grup tersebut adalah Barito Pacific, Adaro, Medco, Wilmar, Jhonlin, dan Sinar Mas. 

Temuan tersebut diungkap dalam laporan terbaru dari Koalisi Transisi Bersih–yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil kredibel. Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidatiihayaa Afra mengatakan, pendekatan transisi energi di Indonesia tidak mengarah pada transformasi sistem tata kelola energi, melainkan hanya pada pergantian teknologi. Pendekatan ini membutuhkan biaya proyek yang tinggi dan hanya berfokus pada capaian target bauran energi, yang berujung pada keterlibatan korporasi besar. 

“Padahal, pengelolaan energi adalah urusan komunal, tapi negara kerap belum menganggap masyarakat tidak perlu dan tidak bisa terlibat dalam tata kelola energi,” kata Hayaa dalam peluncuran riset terbaru Koalisi Transisi Bersih: Pemain Energi Kotor di Transisi Bersih di Jakarta,  Senin, 6 Oktober 2025. 

“Akibatnya, transisi energi sebagai urusan publik mengandalkan eksistensi korporasi besar dengan bisnis energi kotornya. Kerentanan korupsi dan pembajakan kebijakan berpotensi besar terjadi,” ujarnya. 

PLTP Wayang Windu milik PT Star Energy, anak usaha Barito Group, di Pengalengan, Jawa Barat. Dok. Istimewa

Laporan tersebut menemukan, keterlibatan tersebut kerap menyebabkan pola kerja bisnis energi kotor–yang identik dengan perampasan lahan, pelanggaran hak asasi manusia, dan perusakan lingkungan–berulang pada  proyek energi terbarukan. 

Di Kampung Cibitung, Pengalengan, Jawa Barat, satu kampung hilang akibat ledakan pipa pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Wayang Windu milik PT Star Energy,  milik Grup Barito Pacific pada 2014, menurut temuan laporan tersebut. 

Laporan tersebut memperkirakan penghilangan kampung di Kalimantan Utara. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Mentarang yang dikelola Grup Adaro berencana menenggelamkan lahan seluas 22.604 hektare di Mentarang Ulu dan Sungai Tubu. Akibatnya, diperkirakan akan ada 541 keluarga yang kehilangan tempat tinggal dan lahan perkebunan. 

Politically exposed persons 

Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra mengatakan, keterlibatan perusahaan dengan bisnis energi fosil dalam upaya transisi energi yang berulang disebabkan oleh konflik kepentingan  dan keterlibatan jejaring politically exposed persons (PEPs), atau pejabat maupun tokoh yang memiliki pengaruh politik. Koalisi Transisi Bersih menemukan setidaknya 28 individu yang memenuhi kriteria PEPs di balik enam grup usaha bisnis energi tersebut. 

“Ada potensi PEPs di balik transisi energi membantu memuluskan bisnis-bisnis transisi energi ini. Misalnya, saat kita ambil contoh Wilmar yang terlibat korupsi ekspor biodiesel. Korupsi itu diduga lantaran adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biodiesel nasional sebagai trajectory transisi energi,” ujar Hayaa.

Menurut Hayaa, posisi strategis jejaring PEPs kerap bersinggungan dengan kebijakan dan fasilitas yang diduga menguntungkan keenam grup bisnis energi tersebut. Di Grup Barito, ada nama Rudy Suparman, petinggi Danareksa yang saat ini berubah menjadi Danantara. Saat ini Barito bermitra dengan Danantara, dan salah satu unit usaha Grup Barito, Barito Pacific Timber mendapatkan pembiayaan dari PT Taspen sebesar Rp375 miliar. 

Adapun Grup Medco yang terafiliasi dengan Teguh Pamuji (Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM 2013 – 2017) dan Marsillam Simanjuntak (Jaksa Agung 2000 – 2001). Laporan tersebut mencatat, saat ini Medco mengelola 16 pembangkit listrik energi terbarukan di berbagai wilayah. Unit usaha energi terbarukan Medco baru saja mendapatkan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebesar Rp65 miliar. 

Grup Wilmar–yang terlibat dalam kasus korupsi CPO–juga mendapatkan fasilitas dari kebijakan energi terbarukan, khususnya terkait biodiesel, menurut Hayaa. Kebijakan biodiesel B40 memberikan subsidi kepada pelaku usaha pengolahan sawit, termasuk Wilmar. Data mengungkap, sepanjang 2015 – 2023 Wilmar telah menerima subsidi sebesar Rp56,6 triliun. Adapun dua nama terindikasi PEPs dibalik bisnis Wilmar adalah Sutanto (Kapolri 2005 – 2008) dan MP Parulian Tumangor (Bupati Dairi 1999 – 2009).

“Jejaring PEPs Wilmar ini jadi prototipe dari bagaimana PEPs memengaruhi jalannya bisnis tersebut. Dan 28 orang tersebut harus jadi fokus utama publik untuk melihat proyek EBT, supaya EBT tidak menjadi bancakan elit,” ujar Hayaa.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza mengatakan, dalam konsep demokratisasi energi yang mereka dorong, masyarakat bisa mengelola energinya sendiri alih-alih menjadi monopoli elit. 

“Rencana Umum Energi Nasional kita diturunkan ke Rencana Umum Energi Daerah (RUED), tapi saat kita lihat, RUED yang sudah sangat regional bahkan tidak memasukkan sistem pengelolaan energi berbasis komunitas,” ujar Amalya. 

Laporan tersebut mengungkap, perusahaan juga mendapatkan kemudahan berbisnis dan pengawalan dari pemerintah. Menurut laporan tersebut, hal ini terlihat dari peresmian anak usaha Grup Jhonlin, PT Jhonlin Agro Raya yang mendukung blending biodiesel B50, yang diresmikan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang merupakan kerabat dari Haji Isam. Fasilitas terakhir adalah pemberian status Proyek Strategis Nasional (PSN), khususnya bagi PLTA Kayan yang dikelola oleh Adaro. Status PSN membuat proyek lebih kebal hukum sekalipun terbukti melakukan banyak kerusakan.

Menanggapi temuan-temuan tersebut, Wakil Ketua KPK 2015-2019 La Ode M Syarif mengingatkan kendati bisnis energi membutuhkan padat modal, tapi tidak seharusnya individu-individu yang teridentifikasi sebagai PEPs ini melanggengkan praktik yang melanggar hukum dan etika.

“Energi terbarukan seharusnya menjadi energi yang bersih. Oleh karena itu, jangan dikotori dengan kerusakan lingkungan, dengan korupsi. Karena percuma juga dia menjadi clean energy tapi dikotori oleh hal-hal yang kotor (kerusakan lingkungan dan korupsi). Just energy transition, yang dibicarakan hanya transisi energi, padahal transisi energi itu ada just, dan just itu adil. Transisi energi yang adil, bagi semua, khususnya bagi orang-orang yang terdampak langsung,” ujar La Ode.