PSN Merauke Ancam 49 Wilayah Adat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 09 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pelepasan kawasan hutan dan penurunan fungsi kawasan hutan, terkait proyek strategis nasional (PSN) pangan dan energi serta pengembangan kawasan penunjang PSN, terindikasi tumpang tindih dengan 49 wilayah adat yang tersebar di Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Demikian menurut analisis Trend Asia.

Hasil analisis menunjukkan, terdapat 11 indikatif wilayah adat yang berada pada area yang akan diturunkan fungsi kawasannya, sementara ada 38 indikatif wilayah adat yang berada pada area pelepasan kawasan hutan. Menurut Trend Asia kondisi ini menambah kerentanan masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut, yang bergantung pada sagu, hewan buruan, dan ekosistem hutan yang utuh.

“Masyarakat adat rentan digusur dari wilayah adat yang merupakan hak mereka, karena kawasan hutan produksi terbuka untuk dibebani izin industri ekstraktif kehutanan, dan areal penggunaan lain juga bebas dibebani izin industri ekstraktif perkebunan dan tambang,” kata Amelya Reza, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia, dalam sebuah laporan singkat, Rabu (8/10/2025).

Unjuk rasa gerakan Solidaritas Merauke yang memprotes kebijakan pelepasan kawasan hutan demi PSN pangan dan energi Merauke, Papua Selatan, di Jakarta, Selasa, 7 Oktober 2025. Dok. Istimewa

Ekspansi agrikultur dan energi ini meliputi proyek pembukaan lahan sawah seluas 1 juta hektare di Merauke, peternakan seluas 284.745 hektare, perkebunan tebu seluas sekitar 633.000 hektare di Merauke untuk produksi bioetanol, serta perkebunan sawit seluas 382.759 hektare—termasuk 245.436 hektare di Boven Digoel—untuk memproduksi biodiesel (B50). Rencana tersebut termaktub dalam revisi dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Selatan.

Untuk memfasilitasi ekspansi di atas, termasuk PSN pangan dan energi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan (SK 430/2025 dan SK 591/2025) yang secara masif meregulasi perubahan fungsi hutan dan pelepasan kawasan hutan di Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi. Secara total, program ini melibatkan perubahan peruntukan alias pelepasan kawasan hutan sebesar 543.575 hektare dan perubahan fungsi kawasan hutan sebesar 175.009 hektare.

Hutan lindung juga tidak lolos dari penurunan fungsi kawasan, membuat area tersebut rentan diokupasi oleh korporasi. Proyek ini menimbulkan potensi deforestasi seluas total 695.315 hektare.

“Prabowo janji restorasi 12 juta hektare hutan, tapi kok malah menambah kerusakan di Papua Selatan? Seolah-olah tidak belajar dan terus mengulangi kegagalan dari proyek food and energy estate yang sudah-sudah,” ujar Amalya Reza.

Selain deforestasi, area bernilai konservasi tinggi yang terkait dengan keragaman hayati dan lanskap yaitu Area Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) 2 dan 3, serta yang terkait dengan kehidupan masyarakat yaitu ABKT 4 dan 5 terancam dirusak.

“Proyek serakah nasional ini merupakan wajah kolonialisme, bukan hanya terhadap masyarakat adat Papua, tetapi juga ekologi di Papua. Ini adalah kejahatan bukan cuma pada masyarakat adat, tapi juga generasi mendatang,” ujar Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Peta Cluster PSN Merauke overlay SK Menhut 591 Tahun 2025. Sumber: Pusaka Bentala Rakyat.

Sutami Amin dari Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan pembangunan kawasan pengembangan pangan dan energi di selatan Papua sarat akan kepentingan kelas kapitalis perkebunan serta bisnis militer. Bila dilihat lebih dekat pada peta pelepasan kawasan hutan terbaru nampak jelas wilayah-wilayah yang saat ini menjadi sasaran bagi proyek cetak sawah baru dan infrastruktur pertanian oleh Kementerian Pertahanan dan PT Jhonlin Group yang dengan segera mengubah hutan menjadi garnisun militer.

Sementara di bagian utara Kota Merauke, lanjut Sutami, perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri yang dikuasai oleh Fangiono dan Martua Sitorus terus membongkar hutan, menimbun rawa, merubuhkan dusun sagu, mengusir hewan, dan merusak padang savana, yang menjadi kesatuan ruang hidup bagi orang Marind dan Yei.

Sutami bilang, dengan mengantongi kavling konsesi yang terlepas dari fungsi kawasan hutan, dua dari sepuluh perusahaan perkebunan ini dapat merusak dan memisahkan penduduk asli dengan tanah dengan paksaan atau dengan tepat Umut Özsu sebut sebagai akumulasi primitif yang dimediasi secara legal (legally mediated primitive accumulation).

“Oleh karena itu, pengacakan fungsi kawasan hutan tidak bisa hanya dilihat sebagai ancaman rusaknya ruang-ekologis semata yang terpisah dari dinamika kapitalisme dan kekuasaan negara. Karena apa yang disebut sebagai “kapasitas negara” merupakan arena kelas penguasa, yang bergantung pada pertarungan politik kelas yang berkontestasi dan saling menegasikan,” katanya.

Dari sini, imbuhnya, mestinya tidak mengejutkan kalau keputusan hukum perubahan kawasan hanya menyediakan kerangka legal fundamental yang memungkinkan perampasan tanah, dan bagaimana hukum berfungsi sebagai instrumen kekuasaan kelas kapitalis yang melaluinya eksploitasi perkebunan maupun PSN dapat berlangsung tanpa hambatan.

“Penurunan fungsi kawasan hutan di Papua Selatan oleh Raja Juli Antoni yang disambut klaim tanah kosong oleh Nusron Wahid punya asumsi yang sama, yaitu penguasaan negara atas hutan dan tanah atau domain verklaring. Ini klaim hukum yang ada untuk mengusir masyarakat adat yang bergenerasi-generasi di sana,” ucap Sutami.