Amnesty Kritik Jaksa yang Tuntut Bui Warga Adat Maba Sangaji 

Penulis : Kennial Laia

Masyarakat Adat

Kamis, 09 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Amnesty Indonesia mengkritisi tuntutan penjara terhadap masyarakat adat Maba Sangaji di Maluku Utara, serta menyebutnya sebagai upaya “kriminalisasi” terhadap mereka yang memperjuangkan hutan adatnya dari ekstraksi pertambangan nikel. 

Dalam sidang Rabu, 8 Oktober 2025, Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Soasio, Maluku Utara, menuntut sebelas warga adat Maba Sangaji dihukum enam bulan penjara. Warga dituduh merintangi kegiatan pertambangan berizin, melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 

Jaksa Penuntut Umum juga menuntut satu orang dikenakan hukuman tambahan tujuh bulan. Sementara tiga orang dituntut empat bulan tambahan dalam bui atas pelanggaran yang sama. 

“Tuntutan ini ialah bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat. Jaksa memberikan pesan bahwa menjaga hutan, sungai, dan alam sebagai sumber kehidupan disebut ‘kriminal.’ Sebaliknya, merambah dan merusak hutan disebut ‘pembangunan',” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. 

Warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Soasio, Maluku Utara, yang menghadapi kriminalisasi karena memperjuangkan hutan adat dari gempuran pertambangan nikel. Dok. Amnesty Indonesia

Menurut Usman, alih-alih melindungi, negara memperlakukan warga adat Maba Sangaji sebagai penjahat. Mereka ditangkap paksa serta diintimidasi hanya karena menggelar ritual adat sebagai protes atas aktivitas penambangan nikel yang merusak alam. 

“Negara, melalui aparat dan sistem hukumnya, tampak berpihak pada korporasi tambang yang merusak lingkungan dan menggusur masyarakat adat dari tanah adat dan leluhur mereka. Kriminalisasi ini mencederai keadilan dan hak konstitusional masyarakat adat atas ruang hidupnya,” kata Usman. 

“Kami mendesak majelis hakim untuk membebaskan seluruh warga adat Maba Sangaji dari segala tuntutan. Pengadilan juga perlu memulihkan nama baik mereka, serta menuntut negara menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah dan kehidupannya,” ujarnya. 

Usman mengatakan, rentetan peristiwa tersebut menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka oleh aparat penegak hukum. Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya 16 kasus serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia.

Tim Amnesty International Indonesia di gedung PN Soasio mengungkapkan bahwa sidang tuntutan berlangsung dari Rabu pagi hingga siang waktu setempat. Semua terdakwa, yang rata-rata mengenakan ikat kepala warna merah dan baju adat mendengarkan dengan seksama jalannya sidang sambil disaksikan para kerabat mereka di bangku pengunjung.

Majelis Hakim menjadwalkan sidang berikut pada hari Jumat, 10 Oktober, untuk mendengarkan pledoi terdakwa. Informasi yang didapat Amnesty, sidang putusan Majelis Hakim kemungkinan akan berlangsung pada 16 Oktober 2025.

Awal kriminalisasi 

Tim Advokasi Anti-Kriminalisasi mengungkap, kriminalisasi atas sebelas warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara, bermula pada Minggu, 18 Mei 2025, saat polisi menangkap 27 warga yang menggelar prosesi ritual adat. Ritual tersebut merupakan bentuk protes terhadap aktivitas penambangan nikel PT Position.

"Para warga protes kegiatan penambangan tersebut telah menggerogoti wilayah hutan tradisional, merusak sungai, dan menghancurkan kebun mereka," kata Tim Advokasi.

Dalam peristiwan tersebut, polisi membawa 27 warga tersebut ke Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate. Kepolisian mengklaim para warga saat itu membawa senjata tajam dan melakukan tindakan premanisme.

"Polisi menginterogasi para warga satu per satu tanpa pendamping hukum. Sidik jari mereka diambil, satu orang dipukul, dan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan. Mereka juga dipaksa melakukan tes urin secara non-prosedural," ujar Tim Advokasi.

Sebanyak 16 warga dibebaskan sehari kemudian, pada 19 Mei 2025. Namun 11 warga lainnya ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Indrasani Ilham, Salasa Muhammad, Sahrudin Awat, Julkadri Husen, Alaudin Salamudin, Yasir Hi. Samad, Nahrawi Salamudin, Umar Manado, Hamim Djamal, Sahil Abubakar, dan Jamaludin Badi.

Dalam sidang pertama di Pengadilan Negeri Soasio, 6 Agustus 2025, JPU menjerat sebelas terdakwa dengan pasal berlapis. Di antaranya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, dan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin. Empat terdakwa dikenakan tuduhan tambahan, yaitu Pasal 368 ayat (1)  jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pemerasan dengan ancaman kekerasan.