Deforestasi Global Meningkat Pesat, Auriga: Cerminan di Indonesia
Penulis : Kennial Laia
Deforestasi
Kamis, 16 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Berbagai kebijakan pemerintah dikhawatirkan akan terus mendorong laju deforestasi di Indonesia. Temuan terbaru tentang kehilangan tutupan hutan global yang meningkat menjadi alarm di dalam negeri, yang selama tiga tahun terakhir juga mengalami kenaikan akibat pembukaan hutan untuk proyek biomassa dan pertambangan nikel.
Laporan Forest Declaration Assessment (FDA), yang diterbitkan 13 Oktober 2025, menemukan 8,1 juta hektare hutan hilang pada 2024 di seluruh dunia. Tingkat kerusakan ini 63 persen lebih tinggi dibandingkan jumlah yang dibutuhkan untuk menghentikan deforestasi pada 2030. Hilangnya hutan tropis primer—yang menyimpan karbon dan keanekaragaman hayati yang tak tergantikan–juga meningkat pada tahun lalu, sebagian disebabkan oleh naiknya kebakaran hutan karena perubahan iklim.
Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara Hilman Afif menyebut Indonesia sebagai cerminan dari kondisi dunia yang gagal menjaga janji menahan laju deforestasi. “Di satu sisi Indonesia digadang sebagai pionir keberhasilan, di sisi lain justru kembali membuka jalan bagi kerusakan baru atas nama pembangunan dan investasi,” katanya.
Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi antara 2017 dan 2021. Auriga menilai, keberhasilan ini merupakan hasil kebijakan yang berani, termasuk moratorium sawit, pengendalian kebakaran, dan penguatan penegakan hukum. “Namun, capaian itu kini terkikis oleh lemahnya komitmen politik dan kebijakan baru yang justru membuka ruang legal bagi pembukaan hutan,” katanya.

Dalam tiga tahun terakhir, tren kehilangan hutan meningkat setelah sebelumnya sempat menurun drastis pada periode 2017–2021. Menurut data Kementerian Kehutanan awal tahun ini, deforestasi Indonesia pada 2024 mencapai 175.400 hektare. Angka ini naik dibandingkan dengan tahun 2022 seluas 104.032 hektare, dan 121.100 hektare pada 2023.
Hilman mengatakan, kenaikan tersebut menjadi alarm keras terhadap target iklim FOLU Net Sink 2030, yang berisiko tidak tercapai jika tidak disertai langkah nyata untuk melindungi hutan alam tersisa—di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan.
Ancaman deforestasi juga datang dari pertambangan. Auriga mencatat, meskipun pemerintah sempat mencabut empat izin tambang di Raja Ampat, masih ada 381 izin pertambangan di 289 pulau kecil dengan total luas 921 ribu hektare yang mengancam ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal.
“Pemerintah tampak ingin memelihara citra hijau di luar negeri, tetapi di dalam negeri, kebijakan seperti food and energy Sovereignty plan dan pelonggaran izin tambang menunjukkan arah sebaliknya,” kata Hilman.
Sektor pertanian penyumbang utama deforestasi global
Dalam laporannya FDA menyebut sektor pertanian tetap sebagai penyumbang utama deforestasi global, mencapai 86 persen. Auriga menilai, kondisi ini mencerminkan realitas di Indonesia, di mana ekspansi kebun kayu, sawit, dan kini hutan tanaman energi terus bergerak ke kawasan hutan alam.
Di Gorontalo, misalnya, proyek hutan energi berkembang pesat bukan hanya karena kebijakan nasional, tapi juga karena dorongan pasar global terhadap biomassa sebagai sumber energi “hijau”. Ironisnya, ekspor biomassa dari Indonesia ke Jepang melonjak tajam antara 2021–2024, menandakan energi bersih di satu negara sedang dibangun di atas kehancuran ekologis negara lain, ujar Hilman.
Tekanan terhadap hutan juga datang dari pertambangan nikel, yang digadang sebagai bahan baku untuk kendaraan listrik. Mineral ini, kata Hilman, menambah luka baru di kawasan timur Indonesia. "Paradoks ini menunjukkan betapa transisi energi global gagal memutus ketergantungan terhadap praktik ekstraktif yang menghancurkan ekosistem dan komunitas lokal," katanya.
Kebijakan PSN Merauke
Kebijakan pemerintah membuka 481 ribu hektare hutan di Merauke untuk PSN lumbung pangan dan energi juga mendapat sorotan. Auriga menilai pemerintah seharusnya melindungi hutan alam di Tanah Papua, yang merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati Indonesia.
Di sisi lain, ketimpangan dalam penegakan hukum semakin memperdalam krisis keadilan lingkungan. Negara masih lebih cepat menindak petani kecil dan masyarakat adat daripada korporasi besar penyebab deforestasi industri. Bahkan tak sedikit masyarakat adat yang mempertahankan hutan dihadapkan pada kriminalisasi dan penggusuran.
“Situasi ini menunjukkan bahwa deforestasi bukan sekadar akibat lemahnya tata kelola, melainkan hasil dari sistem ekonomi dan politik yang menempatkan hutan sebagai korban permanen ambisi global dan domestik," kata Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung.
"Permintaan dunia atas komoditas berisiko tinggi—sawit, kayu, biomassa, dan nikel—terus tumbuh tanpa mekanisme uji tuntas yang memadai. Negara-negara importir menuntut komoditas bebas deforestasi, tetapi menutup mata terhadap jejak kerusakan di negara produsen,” ujarnya.
Timer mengatakan, Indonesia berada di persimpangan antara komitmen pada agenda iklim, yang sering ditunjukkan di panggung internasional, dan kepentingan ekonomi jangka pendek, yakni mengejar target pertumbuhan dengan mengorbankan lingkungan.
"Pemerintah bisa memilih mempertahankan citra hijau di forum internasional, atau benar-benar menegakkan perlindungan terhadap hutan dan masyarakat yang menggantungkan hidup padanya. Dunia, pada akhirnya, juga harus bercermin: komitmen hijau yang dibangun di atas abu hutan tropis bukanlah solusi, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan bumi," katanya.