Koalisi: Vonis Warga Maba Sangaji Adalah Kriminalisasi 

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 17 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, Maluku Utara, memvonis bersalah 11 warga Masyarakat Adat Maba Sangaji atas dugaan menghalang-halangi usaha Pertambangan. Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji menganggap vonis ini menambah daftar kriminalisasi masyarakat adat yang berupaya mempertahankan ruang hidup mereka. 

Vonis ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim PN Soasio, Asma Fandun, pada persidangan yang digelar pada Kamis (18/10/2025). Terdakwa Satu, Sahil Abu Bakar alias Sahil, dikenai pidana 5 bulan 8 hari. 

Hakim sebelas warga Maba Sangaji terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perintangan dan mengganggu kegiatan usaha pertambangan IUP sah sebagaimana diatur dalam Pasal 162 UU Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Warga lain, Indra Sani Ilham alias Mev, Alauddin Salamuddin alias Udin, dan Nahrawi Salamuddin alias Awi Islamuddin bin Taher dikenai pidana kurungan selama masing-masing 2 bulan. Selain vonis penjara, hakim mewajibkan para terdakwa membayar biaya pengganti perkara sebesar Rp 5 ribu.

Warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Soasio, Maluku Utara, yang menghadapi kriminalisasi karena memperjuangkan hutan adat dari gempuran pertambangan nikel. Dok. Amnesty Indonesia

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji mengecam keras putusan ini. Menurut mereka vonis ini merupakan bagian dari kriminalisasi. 

Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hema Situmorang, menyebutkan warga mempertahankan tanah leluhur dan memprotes aktivitas pertambangan nikel oleh PT Position yang telah merusak lingkungan, sumber air, dan ruang hidup masyarakat adat. Sehingga tidak semestinya dijerat pidana. 

“Dari awal, dakwaan yang menggunakan Pasal 368 ayat (1) dan (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang pemerasan, serta Pasal 162 UU Minerba, tuduhan yang dinilai Koalisi  mengada-ada dan digunakan untuk membungkam perlawanan masyarakat adat terhadap tambang,” ucap Hema melalui rilis pers. 

Vonis terhadap masyarakat adat Maba Sangaji ini menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka. Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia, termasuk di antaranya dalam bentuk kriminalisasi maupun intimidasi fisik.

Kriminalisasi ini bermula pada 18 Mei 2025, ketika 27 warga Maba Sangaji menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap aktivitas tambang nikel PT Position yang telah menggerogoti hutan adat, mencemari sungai, dan merusak kebun warga. Ritual tersebut merupakan ekspresi budaya dan spiritual masyarakat adat, namun aparat kepolisian justru menangkap seluruh peserta dan membawa mereka ke Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate.

Polisi menuduh para warga melakukan tindakan “premanisme” dan membawa senjata tajam. Pada proses interogasi, para warga tidak didampingi penasihat hukum, sidik jari mereka diambil secara paksa, satu orang dipukul, dan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan. Mereka bahkan dipaksa menjalani tes urin secara non-prosedural. Sehari kemudian, 19 Mei 2025, sebanyak 16 warga dibebaskan, sementara 11 lainnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hingga akhirnya divonis hari ini. 

“Koalisi menilai proses hukum ini penuh kejanggalan dan bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya,” ucap ⁠Nurina dari Amnesty International Indonesia. 

Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, hutan, sungai, dan tanah bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup. Dengan demikian, protes terhadap tambang adalah bentuk pembelaan terhadap kehidupan, bukan tindakan kriminal. Namun hari ini, pengadilan justru mengirimkan pesan sebaliknya, bahwa menjaga alam dianggap kejahatan, sementara merusaknya dibenarkan atas nama pembangunan.