Merawat Tradisi dengan Sekolah Adat

Penulis : Aryo Bhawono

Masyarakat Adat

Minggu, 26 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Bangunan sekolah itu cukup sederhana, berupa konstruksi kayu beratap potongan papan tipis yang biasa disebut sirap dan berukuran 11 x 6 meter. Komunitas Adat Muara Dua, Semende Ulu Nasal, Kabupaten Kaur, membangunnya dengan gotong royong sejak Juni 2025 lalu. Mereka menamainya Sekolah Adat Tunggu Tubang.

"Tunggu Tubang, itu konsep leluhur kami yang memandatkan harta pusaka keluarga untuk dijaga dan diwariskan ke anak perempuan. Sekolah ini mengambil filosofis itu, bedanya yang diwariskan adalah pengetahuan dan kekayaan tradisi dan budaya," kaya Ketua Lembaga Adat Muara Dua, Kuyin (82), pada Sabtu lalu (18/10/2025).

Ia menyebutkan sekolah ini merupakan jawaban atas keresahan komunitas adat yang mengeluhkan rapuhnya identitas. Apalagi selama ini tidak ada upaya untuk menautkan praktik kehidupan masyarakat adat dalam institusi pendidikan formal. 

Akibatnya, banyak generasi muda menjadi buta mengenai identitas leluhur mereka, praktik kearifan lokal, pengetahuan lokal dan tradisi budaya mereka. 

Peresmian Sekolah Adat Tunggu Tubang, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Foto: AMAN

"Kini anak muda tak ada yang bisa menganyam, menari adat malu, bermusik tradisional juga tidak mau. Jadi, sekolah-sekolah itu sebenarnya menjauhkan anak muda kampung dari tanah kelahirannya," kata Kuyin.

Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaur, Agus Setiawan, mengatakan, sekolah adat yang kini mereka rintis di Desa Muara Dua, adalah upaya untuk menemukan kembali jalan pulang bagi para generasi muda adat untuk mendekat kembali dengan tanah kelahirannya.

Mereka bisa terhubung kembali baik ingatan, nilai-nilai, perilaku dan penghormatan mereka terhadap kampung leluhur mereka. 

"Sekolah adat adalah jalan kembali atau jalan pulang. Biar anak-anak muda tidak lagi malu dan mungkin merendahkan kampung mereka sendiri," kata Agus.

Sejauh ini, lanjut Agus, untuk tahap awal proses belajar mengajar di Sekolah Adat Tunggu Tubang, dari hasil rembuk kampung sudah ada empat guru dan mata pelajaran yang sudah disusun. Yakni, Ilmu beladiri Silat Kuntau, Ilmu Anyaman (menganyam), Seni Musik dan Sastra Lisan Gitar Gambus dan Rejung Semende serta pelajaran soal Tari Adat Semende.

"Ada satu lagi yang juga sudah siap, yakni belajar obat-obatan tradisional. Cuma, karena ini butuh praktik, sementara akan disiapkan wadah pembibitan tanamannya. Ada 100 tanaman obat di hutan yang akan ditanam kembali," kata Agus.

Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi mengatakan, inisiatif komunitas adat Muara Dua Semende Ulu Nasal di Kabupaten Kaur, adalah bukti bahwa keberadaan masyarakat adat di daerah itu, layak mendapat perhatian dan perlindungan dari pemerintah daerah.

Hal itu, bisa diwujudkan dengan membuat sebuah tata kebijakan dalam Peraturan Daerah yang khusus mengatur mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten kaur.

Segala kekayaan pengetahuan, wilayah adat, hak-hak tradisional, kelembagaan adat dan segala kekayaan tradisi dan kebudayaan mereka dapat dilindungi secara hukum.

"Sekolah Adat Tunggu Tubang harus jadi pemantik, bahwa ini waktunya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat juga bisa disegerakan," kata Fahmi.

Apalagi, tambah Fahmi, di Kabupaten Kaur, nyatanya ada beberapa komunitas adat yang memang sudah memiliki ikatan panjang dengan daerah itu. Komunitas itu antara lain Semende di Padang Guci, Banding Agung, Muara Sahung. Lalu ada juga komunitas adat Kaur yang ada di pesisir, bukit dan lainnya.