Investigasi: Dari Hutan Orangutan Kalimantan ke Rumah Orang Eropa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Selasa, 21 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hante masih mengingat dengan jelas, hutan luas pernah ada di sebelah utara permukiman kampungnya, di Desa Humbang Raya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Hutan itu kini telah berubah menjadi perkebunan kayu, sejak PT Industrial Forest Plantation mencaplok lebih dari 40 ribu hektare wilayah desanya dan aktif membabat hutan alam sejak 2021 lalu.
“Sekarang, masyarakat tidak bisa lagi mencari kayu seperti dulu, hutannya sudah habis,” kata Hante, kepada tim lapangan dari Auriga Nusantara yang berkunjung ke desa tersebut pada November 2024.
“Perusahaan tidak pernah mempertimbangkan apakah hutan itu hutan adat (yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat) atau hutan kemasyarakatan. Mereka berkuasa karena memiliki izin,” imbuhnya.
Padahal, menurut Hante, hutan tersebut adalah tumpuan hidup masyarakat di desanya. Hutan menyediakan segala yang dibutuhkan masyarakat di desanya, sebagai sumber makanan, kayu bakar, obat-obat tradisional, dan berperan penting dalam kepercayaan dan ritual tradisional.

“Masyarakat sini bergantung pada hutan. Kami dimanja alam. Semua yang kami butuhkan ada di sini. Ingin ikan, hanya butuh waktu singkat (mendapatkannya). Apa pun yang kami tanam akan tumbuh,” ujar Hante.
Peta kondisi lahan wilayah Desa Humbang Raya yang berada dalam konsesi PT Industrial Forest Plantation pada 2024. Sumber: Mapbiomas Indonesia.
Cerita pembantaian hutan alam di kampung Hante tidak sampai di situ. Penelusuran Earthsight dan Auriga Nusantara, kayu hasil penebangan hutan alam di konsesi PT IFP ini, diduga kuat juga mencemari pasar kayu Eropa.
Hal ini menjadi penting, karena Uni Eropa telah mengeluarkan Peraturan Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang melarang peredaran produk komoditi hasil deforestasi di pasar Eropa. Meskipun belakangan ada kemungkinan Komisi Uni Eropa akan memutuskan untuk menunda implementasi EUDR tersebut hingga akhir 2026.
Tercemarnya pasar Eropa oleh kayu hasil deforestasi Indonesia ini diuraikan Earthsight dan Auriga Nusantara dalam sebuah laporan bertajuk “Risky Business: EU timber imports linked to the destruction of Borneo’s forests”, yang dirilis pada Selasa (21/10/2025).
Dalam laporan dimaksud, dua kelompok masyarakat sipil lintas benua ini menyebutkan, pada 2024, setidaknya terdapat 23.272 m³ produk kayu asal Indonesia yang diekspor ke sejumlah negara di Eropa, seperti Belgia, Belanda, dan Jerman.
Produk-produk kayu yang diekspor oleh 5 perusahaan kayu yang beroperasi di Indonesia tersebut berisiko tinggi tercemar kayu yang dihasilkan dari penebangan hutan alam di Kalimantan.
“Kami menemukan bukti yang menunjukkan bahwa kayu deforestasi telah memasuki pasar Eropa. Sementara investigasi penyamaran kami mengungkap pola ketidakjujuran dan klaim palsu, yang berarti janji-janji eksportir kayu tentang pasokan berkelanjutan tidak dapat dipercaya,” tulis laporan tersebut.
Temuan ini, lanjut laporan tersebut, menyoroti kebutuhan mendesak akan Peraturan Deforestasi Uni Eropa, yang jika diterapkan akan melarang impor kayu deforestasi. Namun, peraturan ini terus-menerus diserang oleh beberapa pembuat kebijakan dan kelompok industri.
Penghasil dan pembeli kayu hasil penebangan hutan alam
Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, menyebut kehancuran hutan Kalimantan bukan hanya tragedi Indonesia, tetapi juga global. Ia berpendapat, orangutan yang terusir, masyarakat adat dan komunitas lokal yang kehilangan ruang, dan iklim yang semakin tidak menentu mencerminkan rapuhnya tata kelola hutan di Indonesia.
Deforestasi, lanjut Hilman, bahkan telah mencapai lahan gambut. Padahal gambut merupakan ekosistem penyimpanan karbon raksasa yang seharusnya menjadi garis pertahanan terakhir melawan krisis iklim.
“Setiap hektare hutan yang hilang merupakan langkah lebih dekat untuk menghancurkan masa depan yang aman bagi generasi mendatang,” katanya dalam sebuah pernyataan tertulis, Selasa (21/10/2025).
Laporan ini mengungkapkan, kayu hasil deforestasi yang mencemari pasar Eropa ini tak hanya berasal dari PT IFP, tapi juga berasal dari sejumlah perusahaan lain yang beroperasi di Kalimantan. Perusahaan-perusahaan ini di antaranya PT Bumi Hijau Prima (BHP), PT Bina Sarana Sawit Utama (BSSU), dan PT Indosubur Sukses Makmur (ISM).
PT IFP diketahui secara aktif menebangi hutan alam di dalam konsesinya dalam beberapa tahun terakhir (2021-Juni 2025), yang bila dijumlahkan mencapai angka 15.307 hektare—1.900 hektare di antaranya berada di lahan gambut.
Kayu-kayu hutan alam PT IFP ini terlacak dibeli oleh setidaknya dua perusahaan yang beroperasi di Indonesia, yakni PT Basirih Industrial dengan total sebanyak 10.365 m³ dalam rentang waktu 2021-2024, dan PT Kayu Multiguna Indonesia sebanyak 830 m³ pada 2023 dan 2024.
Perusahaan kebun kayu yang memiliki konsesi seluas 100.989 hektare ini diketahui 97% dimiliki oleh Pioneer Sage Sdn Bhd dan 3% oleh Pioneer Astute Sdn Bhd, dua perusahaan holding Malaysia yang pada gilirannya dimiliki oleh perusahaan offshore Samoa Golden Sail Group Ltd.
Penampakan bekas hutan yang dibabat di konsesi PT Industrial Forest Plantation. Foto: Earthsight/Auriga Nusantara.
Informasi kepemilikan perusahaan tidak diungkapkan secara publik di Samoa, yurisdiksi yang mengutamakan kerahasiaan. Namun ada dugaan perusahaan ini terkait dengan Royal Golden Eagle (RGE) Group melalui tumpang tindihnya pejabat korporat dan struktur manajemen.
Dalam tanggapan tertulis melalui email terhadap temuan dalam laporan ini, PT IFP mengklaim menghentikan penebangan kayu alam di pada akhir 2023, dan menegaskan bahwa semua kegiatan operasional terkait pembukaan lahan dan penanaman sesuai dengan rencana kerja yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—kini disebut Kementerian Kehutanan. Perusahaan ini juga membantah hubungannya dengan RGE Group.
Kemudian PT BHP, terindikasi melakukan penebangan hutan alam seluas sekitar 1.615 hektare sejak 2021 hingga Juni 2025. Pada 2024, PT Basirih Industrial dan PT Wijaya Triutama Plywood Industri tercatat sebagai pembeli kayu hasil deforestasi PT BHP, masing-masing sebanyak 2.543 m³ dan 4.278 m³.
PT BHP sendiri merupakan perusahaan kebun kayu yang luas konsesinya mencapai 20.355 hektare, berlokasi di Kalimantan Tengah. Perusahaan ini diketahui dimiliki PT Sutar Wanantara Kayu, yang 99,99% dimiliki oleh PT Aswana Dhanakirti Sinergi. PT Aswana Dhanakirti Sinergi, yang juga dikenal sebagai Sinergi Group, dimiliki 51% oleh Sunarno dan 49% oleh Swandi.
Tampak sebagian hutan yang hilang di konsesi PT Bumi Hijau Prima di Kalimantan Tengah. Foto: Earthsight/Auriga Nusantara.
Perusahaan ini memberikan tanggapan terkait temuan laporan ini. Dalam tanggapannya, PT BHP mengonfirmasi bahwa perusahaan sedang membersihkan hutan alam dan menggantinya dengan hutan tanaman, dengan menyatakan bahwa perusahaan tersebut terlibat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan menggunakan sistem silvikultur penebangan habis dan regenerasi buatan.
Perusahaan lainnya, PT BSSU, yang bergerak di sektor perkebunan sawit, diketahui melakukan pembukaan hutan alam di konsesinya. Analisis spasial menunjukkan luas pembukaan hutan alam di konsesi PT BSSU luasnya sekitar 1.138 hektare—termasuk 207 hektare lahan gambut, sepanjang 2021 hingga Juni 2025.
Pada 2024, PT Kayu Multiguna Indonesia tercatat sebagai pembeli kayu hasil penebangan hutan alam di konsesi PT BSSU sebanyak 1.438 m³. PT BSSU terkonfirmasi sebagai asal pengiriman 24 palet (67,6 m³) papan kayu keruing yang dikirim PT Kayu Multiguna Indonesia ke International Plywood di Belanda pada Februari 2025.
PT BSSU diketahui memiliki konsesi perkebunan sawit seluas 6.318 hektare di Kalimantan Tengah. Perusahaan ini 99,99% dimiliki oleh grup korporasi NSS (juga dikenal sebagai PT Nusantara Sawit Sejahtera), produsen minyak sawit yang terdaftar di bursa efek Indonesia dan mengelola lima perusahaan perkebunan di Kalimantan Tengah. NSS Group diduga terkait dengan Salim Group, konglomerat terbesar di Indonesia, melalui pemilik manfaatnya.
Perusahaan ini disebut tidak memberikan tanggapan atas permintaan komentar atas laporan ini. Upaya konfirmasi yang dilakukan Betahita kepada PT BSSU melalui email, juga tidak mendapatkan tanggapan yang diharapkan.
Tampak dari ketinggian bekas pembabatan hutan alam di konsesi PT Bina Sarana Sawit Utama di Kalimantan Tengah. Foto: Earthsight/Auriga Nusantara.
Perusahaan selanjutnya yang diketahui menebang hutan alam, dan kayunya diduga mencemari pasar Eropa adalah PT ISM. Perusahaan kebun kayu ini terindikasi melakukan penebangan hutan alam seluas sekitar 1.145 hektare sejak 2021 hingga Juni 2025.
Berdasarkan penelusuran Earthsight dan Auriga Nusantara, kayu-kayu hasil deforestasi PT ISM ini dijual kepada PT Korindo Ariabima Sari dengan sebanyak 27.837 m³ pada 2022-2024, dan PT Putra Buana Indonesia Wood Industry sebanyak 3.594 m³ pada 2024.
Perusahaan pemegang konsesi kebun kayu seluas 26.215 hektare di Kalimantan Timur ini 85% dimiliki oleh PT Kilau Sukses Pertama, yang pada gilirannya 50% dimiliki oleh PT Sumber Permata Sejati dan 50% dimiliki oleh PT Elok Permata Indah. PT Sumber Permata Sejati dimiliki 99,99% oleh Timotius Taniwidjaja, sedangkan PT Elok Permata Indah dimiliki 99,99% oleh Lioe Seng Tjin. PT ISM diduga kuat terhubung dengan Grup Salim.
Perusahaan ini juga tidak memberikan tanggapan atas permintaan komentar temuan laporan ini. Upaya konfirmasi yang dilakukan Betahita melalui email juga tidak mendapatkan respons yang diharapkan.
Foto udara memperlihatkan hutan yang hilang di konsesi PT Indosubur Sukses Makmur di Kalimantan Timur. Foto: Earthsight/Auriga Nusantara.
Kayu Indonesia berlayar ke Eropa
“Ada risiko nyata bahwa dana Eropa turut menghancurkan beberapa benteng terakhir orangutan yang tersisa di Bumi,” kata Aron White, pimpinan tim Earthsight untuk Asia Tenggara.
Aron bilang, pihaknya mengidentifikasi perusahaan-perusahaan Indonesia yang membeli ribuan meter kubik kayu dari lokasi deforestasi paling merusak di negara ini, sementara secara keliru mengklaim semua pasokan mereka berkelanjutan. Pelanggan mereka termasuk pemain-pemain utama dalam industri kayu Uni Eropa.
Seperti yang sudah disinggung di atas, terdapat sedikitnya lima perusahaan di Indonesia yang diketahui membeli kayu-kayu hasil penebangan hutan alam di Kalimantan. Perusahaan-perusahaan ini juga merupakan pengekspor produk kayu ke pasar Eropa.
Perusahaan-perusahaan dimaksud yakni PT Basirih Industrial (BI), PT Wijaya Triutama Plywood Industri (WTPI), PT Kayu Multiguna Indonesia (KMI), PT Putra Buana Indonesia Wood Industry (PBIWI), dan PT Korindo Ariabima Sari (KAS).
Pada 2024, PT Basirih Industrial dilaporkan membeli sebanyak 17.280 m³ kayu yang berasal dari aktivitas pembukaan lahan atau persiapan lahan konsesi perkebunan kayu. Kayu-kayu tersebut dipasok oleh PT Tanjung Redeb Hutani, PT IFP dan PT BHP.
Produsen papan lapis di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, milik PT SAS Global Jaya dan PT Kharisma Tricipta Mandiri ini mengekspor setidaknya 3.173 m³ produk kayu ke sejumlah negara di Eropa pada 2024.
Salah satu perusahaan Uni Eropa yang tercatat membeli kayu dari PT Basirih Industrial, pada 2024, yakni Fepco International (Europe) NV, yang mengimpor kayu sebanyak 158 m³ papan meranti ke Belgia.
Perusahaan lainnya, Saiton BV, juga tercatat membeli kayu dari PT Basirih sebanyak 1.965 papan meranti ke Belgia (juga mengimpor 314 m³ papan meranti dari PT Basirih Industrial ke Belanda dan 79 m³ ke Belgia pada Januari–April 2025).
Impan GmbH juga diketahui sebagai pengimpor kayu dari PT Basirih. Perusahaan ini mengimpor 566 m³ papan meranti ke Belgia, 163 m³ ke Swedia, 161 m³ ke Jerman, 122 m³ ke Belanda, dan 38 m³ ke Perancis. Dalam tanggapannya terhadap temuan laporan ini, Impan GmbH membantah mengimpor kayu dari Indonesia.
Selanjutnya, ada PT Wijaya Triutama Plywood Industri. Pada 2024, perusahaan yang berbasis di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini diketahui menerima kayu hutan alam dari persiapan lahan konsesi PT Tanjung Redeb Hutani dan PT BHP. Masing-masing sebanyak 16.608 m³, dan 4.278 m³.
Perusahaan yang dikendalikan Aris Sunarko dari keluarga Sunarko, yang juga mengendalikan PT Basirih Industrial, ini disebut juga memperoleh 3.393 m³ kayu hutan alam dari PT Basirih Industrial, yang secara konsisten memperoleh volume besar kayu yang berasal dari pembukaan hutan alam.
Pada 2024, sekitar 345 m³ produk kayu PT Wijaya Triutama diekspor ke negara-negara anggota Uni Eropa. Impan GmbH menjadi pembeli tunggal produk kayu dari PT Wijaya Triutama pada 2024. Catatan pengirimannya menunjukkan perusahaan ini mengimpor sekitar 188 m³ papan meranti ke Jerman, dan sekitar 156 m³ papan meranti ke Italia.
Impan GmbH juga diketahui mengimpor sekitar 242 m³ papan kayu keras ke Inggris pada 2024. Namun dalam tanggapan melalui email terhadap temuan laporan ini, Impan GmbH membantah mengimpor produk kayu dari Indonesia.
Perusahaan berikutnya adalah PT Kayu Multiguna Indonesia (KMI), sebuah perusahaan produsen kayu yang bermarkas di Gresik, Jawa Timur. Pada 2024, perusahaan yang 50% dimiliki Tan Churiko Tancho dan 50% milik Tan Sam Tancho ini diketahui membeli sekitar 2.757 m³ kayu hutan alam yang berasal dari konsesi kebun sawit atau pertambangan dan pembukaan lahan konsesi kebun kayu.
Kayu-kayu hutan alam ini dipasok oleh PT BSSU (konsesi kebun sawit) sebanyak 1.438 m³, PT Graha Equity Investment (konsesi tambang) 944 m³, PT IFP (konsesi kebun kayu) 224 m³, dan PT Agro Borneo Lestari (konsesi kebun kayu) sebanyak 151 m³.
Pada tahun yang sama, PT Kayu Multiguna Indonesia mengekspor setidaknya 11.056 m³ ke Uni Eropa, terutama Belanda (5.400 m³) dan Belgia (5.046 m³). Terdapat setidaknya empat pembeli utama produk kayu PT Kayu Multiguna Indonesia yang berbasis di Eropa.
Mereka adalah Fepco International (Europe) NV di Belgia yang mengimpor sebanyak 5.046 m³ papan kayu keras (terdiri dari meranti, keruing, dan jenis lainnya), Timber Trade Connection BV di Belanda yang mengimpor 1.371 m³ produk meranti (termasuk blok laminasi sambungan jari, ambang pintu, dan profil).
Kemudian, Dekker Hout BV di Belanda yang mengimpor 623 m³ kusen pintu nyatoh, bintangur, dan gerunggang serta 166 m³ produk meranti merah gelap (termasuk blok laminasi sambungan jari dan cat dasar putih), dan International Plywood BV di Belanda yang mengimpor 487 m³ papan lapis berlapis film dari kayu keruing.
Dalam tanggapan tertulis melalui email, terhadap temuan dalam laporan ini, PT Kayu Multiguna Indonesia menyatakan bahwa semua pasokan kayu mereka berasal dari sumber yang legal dan tercatat, sesuai dengan EUTR.
Perusahaan ini menyebut bahwa sebagian besar bahan baku mereka berasal dari sumber yang bersertifikat FSC, dengan menyatakan bahwa pada 2023, perusahaan membeli 13.347,2 m³ kayu gelondongan bersertifikat FSC, dan 3.133,63 m³ kayu gelondongan SVLK (yaitu non-FSC).
Sedangkan pada 2024, membeli 14.100,84 m³ kayu gelondongan bersertifikat FSC dan 2.964,08 m³ kayu gelondongan non-FSC. Mereka menyatakan bahwa kayu gelondongan FSC dan non-FSC disimpan terpisah.
Perusahaan lainnya yang menadah kayu diduga hasil dari pembabatan hutan alam Kalimantan yakni PT Putra Buana Indonesia Wood Industry. Perusahaan milik Soediono (60%) dan Rendy Theodorus Soediono (40%) ini diketahui membeli 7.939 m³ kayu dari PT Kaltim Bhumi Palma (konsesi kebun sawit), dan 8.790 m³ dari pembukaan lahan kebun kayu PT Tanjung Redeb Hutani dan PT Indosubur Sukses Makmur.
Berdasarkan penelusuran, pada 2024, perusahaan asal Jawa Tengah ini mengekspor sekitar 1.284 m³ produk kayu mereka ke Uni Eropa, termasuk Belanda (1.088 m³), Jerman (84 m³), Belgia (56 m³), dan Prancis (56 m³). Kurz KG di Jerman, tercatat membeli 84 m³ papan kapur. Perusahaan ini juga mengimpor 19 m³ profil bangkirai dan 9 m³ profil kapur pada Januari-Maret 2025.
Melalui tanggapannya terkait temuan laporan ini, PT Putra Buana Indonesia Wood Industry menyatakan bahwa semua bahan kayu mereka diperoleh secara legal sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, dan mengatakan bahwa tinjauan laporan audit SVLK menunjukkan tidak ada pelanggaran hukum oleh pemasok mereka.
Mereka menulis bahwa ekspor ke perusahaan-perusahaan di atas mencakup produk kayu bersertifikat FSC, sebagian besar bangkirai dan kapur, dan bahwa sistem kontrol internal perusahaan memastikan pemisahan administratif fisik antara bahan FSC dan non-FSC. Mereka juga menyebutkan mewajibkan pemasok kayu mereka untuk memenuhi persyaratan legalitas dan keberlanjutan yang ketat, termasuk tidak ada deforestasi atau degradasi hutan.
Perusahaan terakhir yang diketahui membeli kayu hasil penebangan hutan alam yaitu PT Korindo Ariabima Sari. Perusahaan asal Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, yang 72% dimiliki oleh Eun Ho Seung dan 28% oleh PT Bimaruna Niaga Sejahtera, ini diketahui membeli 14.497 m³ kayu gelondongan hutan alam yang berasal dari pembukaan lahan atau persiapan lahan di PT Indosubur Sukses Makmur pada 2024.
Pada tahun yang sama, PT Korindo Ariabima Sari juga tercatat mengekspor kayu ke Uni Eropa sebanyak 7.414 m³. Ada dua pembeli utama kayu PT Korindo di Eropa, yakni Fepco International (Europe) NV dan Seiton BV.
Pada 2024, Fepco International (Europe) NV di Belgia diketahui mengimpor 6.755 m³ papan kayu keras, dari PT Korindo, yang mana 4.883 m³ teridentifikasi dalam catatan pengiriman sebagai papan kayu keras bersertifikat PEFC, sementara 1.872 m³ lainnya tidak teridentifikasi demikian.
Sedangkan Seiton BV di Belgia yang mendatangkan 589 m³ papan kayu lapis berlapis film. Perusahaan ini juga mengimpor 1.145 m³ papan kayu lapis berlapis film kayu keras ke Belanda dan 905 m³ ke Belgia pada Januari–April 2025.
Sebagai respons atas temuan laporan ini, PT Korindo menyatakan kayu dari PT Indosubur Sukses Makmur tidak digunakan dalam papan kayu lapis yang disuplai ke Fepco atau perusahaan UE lainnya, dan 7.414 m³ papan kayu lapis yang diekspor ke UE pada 2024 diproduksi dengan veneer dari PT Korindo Abadi, yang bersumber dari konsesi hutan berizin di Papua yang secara utama menggunakan penebangan selektif.
Bagi Aron, kasus-kasus ini menunjukkan mengapa Peraturan Deforestasi Uni Eropa harus segera diterapkan. Terutama untuk memaksa perusahaan-perusahaan membersihkan rantai pasokan mereka dan berhenti bersembunyi di balik label hijau yang menyesatkan.
“Perusahaan-perusahaan kayu Eropa harus memutuskan hubungan dengan pemasok mana pun yang menangani kayu hasil deforestasi yang memalukan ini dan beralih ke berbagai alternatif yang tersedia yang benar-benar bebas deforestasi,” ucap Aron.
Rekomendasi untuk para pihak
Dalam laporannya, Earthsight dan Auriga Nusantara menyertakan sederet rekomendasi kepada sejumlah pihak, termasuk Komisi Uni Eropa, penegak hukum EUDR, dan Pemerintah Indonesia.
Rekomendasi tersebut di antaranya, kepada importir kayu di Uni Eropa, agar menegaskan perusahaan Indonesia yang ingin memasok kayu tropis ke pasar UE tidak membeli kayu dari deforestasi, dan segera melakukan peninjauan untuk menentukan lokasi penebangan kayu mereka, hingga ke konsesi spesifik, konsesi lain mana yang menjadi sumber kayu dari pemasok mereka, termasuk melalui perusahaan perantara, dan apakah telah terjadi deforestasi di konsesi-konsesi tersebut sejak Desember 2020.
Lalu, agar Komisi Uni Eropa menolak segala upaya untuk menunda atau melemahkan EUDR, menentang penyertaan EUDR dalam inisiatif apapun untuk menggabungkan dan mengubah peraturan lingkungan (atau paket omnibus), dan mendorong implementasi penuh EUDR pada akhir 2025.
Selanjutnya, kepada pihak berwenang penegak hukum EUDR, memberikan peringatan kepada operator mengenai risiko yang diidentifikasi dalam laporan ini, dan mempertimbangkan temuan dalam laporan ini untuk menentukan apa yang benar-benar dapat memastikan risiko yang dapat diabaikan, terkait kayu tropis yang diimpor dari Indonesia, dari luar jaminan sederhana dari pemasok.
Berikutnya, kepada perusahaan kayu Indonesia, agar berhenti membeli kayu yang berasal dari konversi hutan alam, baik untuk hutan tanaman, perkebunan sawit dan lain sebagainya. Menyatakan secara terbuka penolakan terhadap kayu yang berasal dari deforestasi.
Terakhir kepada Pemerintah Indonesia, untuk menerbitkan peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi semua hutan alam tersisa, termasuk di konsesi dan lahan pribadi, yang berarti setiap deforestasi di Indonesia akan dikategorikan sebagai ilegal. Selain itu, agar meningkatkan sistem jaminan legalitas kayu SVLK Indonesia agar dapat memastikan SVLK tidak memberikan sertifikat berkelanjutan untuk kayu yang berasal dari deforestasi.
“Sekaranglah saatnya bagi Indonesia untuk memperkuat kepemimpinannya dengan memastikan bahwa setiap komoditas, termasuk kayu, benar-benar bebas deforestasi,” ujar Hilman.