BBKSDA Papua Minta Maaf Terkait Pemusnahan Sitaan Cenderawasih
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Hukum
Rabu, 22 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua atas tindakan pemusnahan cenderawasih opset dan mahkota burung cenderawasih yang dilakukan pada 20 Oktober 2025. Pemusnahan barang bukti hasil sitaan itu menuai kritik luas dari publik dan tokoh adat karena dianggap menyakiti simbol budaya masyarakat Papua.
Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso Silaban, mengakui langkah tersebut menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat. Ia menegaskan bahwa tindakan itu dilakukan bukan untuk merendahkan nilai budaya Papua, melainkan bagian dari penegakan hukum konservasi satwa dilindungi.
“Kami menyadari bahwa tindakan tersebut telah menimbulkan luka dan kekecewaan di hati masyarakat Papua,” kata Johny kepada awak media di Aula BBKSDA Papua, Rabu, 22 Oktober 2025.
Johny mengatakan langkah itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengabaikan nilai budaya dan jati diri masyarakat Papua, "yang kami hormati sebagai bagian penting dari kekayaan bangsa Indonesia."

Pemusnahan, kata Johny lagi, dilakukan berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 tentang Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurutnya, pemusnahan tersebut merupakan bagian dari kegiatan Patroli atau Pengawasan Terpadu Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) Ilegal dan Tipihut lainnya yang digelar pada 15–17 Oktober 2025 di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom. Operasi itu melibatkan 74 personel aparat gabungan dari unsur kepolisian, TNI, dan instansi terkait.
Dari hasil patroli, tim menemukan 58 ekor satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup serta 54 opset satwa dalam keadaan mati, termasuk bagian-bagian tubuh burung cenderawasih yang dijual di beberapa toko. Barang bukti tersebut kemudian dimusnahkan sesuai ketentuan hukum.
“Pemusnahan dilakukan atas pertimbangan bersama tim patroli, serta atas permintaan beberapa kelompok masyarakat pemilik benda-benda tersebut agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain,” ujar Johny.
“Langkah ini bukan berarti mengabaikan nilai dan makna Cenderawasih, tetapi justru untuk menjaga kelestarian serta kesakralannya sebagai simbol dan identitas masyarakat Papua.”
Johny menambahkan, BBKSDA Papua akan memperkuat komunikasi dengan masyarakat adat agar pelestarian satwa dan pelestarian budaya dapat berjalan beriringan. “Ke depan kami akan membuka ruang dialog dan kerja sama agar tidak terjadi kesalahpahaman serupa,” katanya.
Dewan Adat Tabi: Momentum Membuat Perdasus Perlindungan Satwa
Ketua Dewan Adat Suku Tabi, Daniel Toto, menilai peristiwa pemusnahan tersebut harus menjadi momentum untuk memperkuat dasar hukum perlindungan satwa endemik Papua. Ia mengingatkan bahwa Gubernur Papua telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tertanggal5 Juni 2017, tentang larangan penggunaan Burung Cenderawasih asli sebagai aksesoris dan cinderamata. Namun hingga kini, belum ada peraturan daerah turunan yang menegaskannya.
“Surat edaran itu sudah delapan tahun, tapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan peraturan turunan,” kata Daniel di Jayapura. “Peristiwa tanggal 20 Oktober itu harus membuka mata Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua untuk segera membuat perdasus atau perdasi agar pengawasan terhadap satwa endemik punya dasar hukum yang kuat.”
Daniel juga menjelaskan bahwa pemusnahan opset dilakukan atas persetujuan pemilik barang, yang khawatir terjerat hukum. “Saya pikir pemilik merasa terancam, jadi dia setuju dimusnahkan supaya tidak disalahgunakan pihak lain,” ujarnya.
Ia mengingatkan masyarakat agar berhati-hati memberikan komentar di media sosial tanpa memahami dasar hukumnya. “Supaya kita tidak keluar dari rel dan memberikan komentar berlebihan,” katanya.
Sebagai Ketua Dewan Adat Tabi, Daniel turut menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua yang tersinggung atas peristiwa tersebut.
“Tindakan itu bukan melecehkan simbol budaya kita, tapi justru menjaga agar generasi dan warisan budaya tidak musnah,” ujar Daniel.
Peristiwa pemusnahan cenderawasih opset ini memicu perdebatan di media sosial dan forum publik Papua. Sebagian pihak menilai tindakan BBKSDA Papua sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol budaya, karena burung cenderawasih selama ini identik dengan identitas dan kebanggaan orang Papua. Namun di sisi lain, aktivis konservasi menilai langkah itu sesuai dengan prinsip perlindungan satwa yang terancam punah akibat perburuan dan perdagangan ilegal.
Surat edaran Gubernur Papua tahun 2017 sebenarnya telah melarang perdagangan dan kepemilikan bagian tubuh satwa dilindungi, termasuk cenderawasih. Namun tanpa dasar hukum daerah yang lebih kuat seperti perdasus, pengawasan di lapangan kerap lemah dan tumpang tindih dengan aturan adat.
“Kita harus jaga cenderawasih, bukan hanya sebagai satwa, tapi sebagai roh identitas orang Papua,” kata Daniel.