Penundaan Berulang EUDR Lemahkan Kredibilitas

Penulis : Aryo Bhawono

Deforestasi

Jumat, 24 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Komisi Eropa mengusulkan penundaan penerapan regulasi anti deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) selama enam bulan bagi perusahaan-perusahaan besar di kawasan tersebut. Penundaan berulang berisiko melemahkan kredibilitas dan ambisi regulasi itu sendiri.

Penundaan ini lebih singkat dibandingkan dengan rencana sebelumnya, yakni selama satu tahun penuh. EUDR mewajibkan eksportir produk seperti kedelai, daging sapi, kopi, kakao, dan minyak sawit ke Uni Eropa membuktikan rantai pasok mereka tidak terkait dengan deforestasi atau perusakan hutan. 

Regulasi ini menargetkan deforestasi akibat konsumsi global, dengan ambisi menghentikan sekitar 10 persen deforestasi global yang dipicu oleh impor Uni Eropa. Namun kebijakan ini dianggap kontroversial dalam agenda hijau Uni Eropa karena dinilai membebani pelaku usaha dan petani kecil, termasuk di negara-negara mitra dagang seperti Indonesia, Brasil, dan Malaysia.

Komisaris Lingkungan Uni Eropa, Jessika Roswall, menegaskan komitmen kuat Uni Eropa memerangi deforestasi. Namun pihaknya ingin EUDR berjalan efektif. 

Deforestasi di konsesi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Betahita/Ario Tanoto

“Kami sangat berkomitmen pada tujuan memerangi deforestasi, namun kami juga harus memastikan regulasi ini dapat dijalankan secara efektif,” ujarnya pada Rabu (22/20/2023). 

Usul penundaan ini masih memerlukan persetujuan Parlemen Eropa dan negara-negara anggota sebelum akhir tahun, termasuk kemungkinan adanya amandemen tambahan. Penundaan ini diajukan setelah sistem teknologi informasi (IT system) yang mendukung kepatuhan perusahaan belum siap menangani volume permintaan data yang tinggi. 

Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, menyebutkan penundaan semi-formal implementasi EUDR selama enam bulan tidak boleh dimaknai sebagai pelonggaran komitmen global terhadap perlindungan hutan. Seharusnya keputusan ini menjadi momentum percepatan kolaborasi antara negara produsen dan negara konsumen untuk memastikan mekanisme implementasi berjalan adil, inklusif, dan efektif bagi semua pelaku, termasuk petani kecil. 

Apalagi belum lama ini Auriga Nusantara bersama Earthsight baru saja mengungkap pasokan kayu ke Eropa berasal dari hasil deforestasi hutan alam di Kalimantan. Laporan berjudul “Risky Business EU timber imports linked to the destruction of Borneo’s forests,” menyebutkan enam perusahaan eropa yang mendapat pasokan dari lima industri kayu Indonesia berasal dari land clearing hutan alam.  

Pertama, perlu ditekankan bahwa penundaan atau kelonggaran enforcement berpotensi menggerus momentum global dalam menekan laju deforestasi dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia. Dampak dari keterlambatan ini tidak bersifat administratif semata, tetapi nyata terhadap iklim, keanekaragaman hayati, serta keberlangsungan hidup masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada ekosistem hutan,” ucap dia saat berbincang dengan redaksi pada Kamis (23/10/2025).

Kedua, kata dia, banyak pelaku usaha dan rantai pasok telah berinvestasi secara signifikan dalam sistem traceability dan transparansi demi memenuhi standar EUDR. 

Jika regulasi dilonggarkan atau implementasinya ditunda, hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dan distorsi pasar. Kondisi ini berpotensi melemahkan insentif terhadap transformasi keberlanjutan yang seharusnya dipercepat, bukan ditunda.

Ketiga, penundaan berulang berisiko melemahkan kredibilitas dan ambisi regulasi itu sendiri. Uni Eropa perlu mengirimkan sinyal tegas bahwa komitmen terhadap perdagangan bebas deforestasi bukan sekadar wacana politik, tetapi agenda yang mencerminkan tanggung jawab moral dan ekonomi terhadap masa depan iklim global. 

“Sebab setiap kali regulasi lingkungan besar seperti ini ditunda atau diberikan pengecualian, maka sinyal yang dikirim ke pasar dan pelaku global adalah bahwa ambisi bisa dinegosiasi ulang. Hal ini bisa merusak kepercayaan, membuat pelaku di negara produsen ragu untuk berinvestasi dalam keberlanjutan, serta memperlambat kemajuan,” ujarnya.