Adaptasi Iklim dalam Second NDC Pinggirkan Hak Masyarakat Rentan

Penulis : Kennial Laia

Krisis Iklim

Jumat, 24 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat rentan seperti petani kecil dan perempuan berpotensi terpinggirkan dalam komitmen iklim terbaru Indonesia. Menurut Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul), hal ini terutama terlihat dalam arah kebijakan adaptasi iklim pemerintah yang tercantum dalam draf Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono, adaptasi perubahan iklim SNDC telah mencakup tiga pilar yakni ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lanskap. Di sisi lain dia menilai, kerangka adaptasi tersebut belum mampu menjawab akar persoalan struktural yang membuat masyarakat lokal, perempuan, petani kecil, nelayan, dan kelompok disabilitas tetap berada di posisi paling rentan terhadap krisis iklim. 

Pada pilar ketahanan ekonomi, misalnya, SNDC berupaya mendorong pertanian berkelanjutan dan transisi energi sebagai jalan menuju ketahanan. "Namun bagi Pikul, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan ketidakadilan ekonomi yang bersumber dari ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Tanpa reforma agraria yang memastikan distribusi lahan secara adil, ketahanan ekonomi tidak akan tumbuh di atas fondasi yang kokoh,” kata Torry. 

“Petani yang selama ini menopang sistem pangan lokal justru berisiko terpinggirkan karena arah program pertanian berkelanjutan lebih banyak menguntungkan korporasi agrikultur. Di sisi lain, model transisi energi yang difokuskan pada proyek berskala besar seperti PLTA dan panas bumi dikhawatirkan mengulang logika ekstraktif yang telah merusak ruang hidup masyarakat,” ujarnya. 

Dua pembudidaya rumput laut mengangkut hasil panen di Desa Lobohede, Kecamatan Hawu Mehara, Sabu Raijua, NTT. Dok. Adia Puja Pradana/YKAN

Torry mencatat, pendekatan adaptasi yang terlalu teknokratis dengan mengandalkan sistem data (SIDIK) dan program berbasis masyarakat seperti ProKlim juga belum diimbangi dengan mekanisme keadilan rekognitif, distributif, dan prosedural yang nyata.

"Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola dan distribusi manfaat yang adil, SNDC berisiko menjadi proyek adaptasi 'dari atas ke bawah' yang gagal memperkuat daya tahan masyarakat yang paling terdampak," kata Torry. 

Yayasan Pikul mencatat, kebijakan adaptasi dalam SNDC juga belum memberikan jaminan perlindungan sosial adaptif yang memadai bagi buruh informal dan masyarakat miskin kota yang kehilangan kesejahteraan dan penghidupan akibat krisis iklim. Begitu pula dengan nelayan yang hingga kini belum merasakan perlindungan hukum dan ruang hidup. 

“Adaptasi iklim tidak bisa hanya berhenti pada perencanaan teknokratis. Tanpa perlindungan sosial yang nyata bagi buruh informal, masyarakat miskin kota, nelayan, dan kelompok rentan, kebijakan adaptasi justru akan memperdalam ketimpangan yang sudah ada. Kita tidak bisa terus menempatkan manusia dan alam sebagai objek proyek, padahal mereka adalah subjek utama dari proses perubahan,” kata Torry. 

Dalam pilar ketahanan ekosistem dan lanskap, SNDC menargetkan penguatan perhutanan sosial, konservasi, serta restorasi ekosistem mangrove dan gambut.

Namun, Pikul menilai bahwa komitmen ini akan tetap performatif selama negara belum memberikan pengakuan hukum yang kuat terhadap hak masyarakat adat atas wilayah kelola dan sumber daya alamnya.

"Tanpa pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, upaya adaptasi akan terus menyingkirkan masyarakat yang seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Restorasi yang tidak berpihak pada masyarakat hanya akan mengulang kesalahan masa lalu," kata Torry. 

Torry mengatakan, program berbasis komunitas seperti ProKlim seharusnya dijalankan dengan menjamin pengakuan atas peran perempuan serta masyarakat lokal dalam sistem pangan lokal dan mendorong pembelajaran kolektif antar komunitas. "Selain itu, akses terhadap pendanaan iklim yang selama ini sangat birokratis perlu dibuka langsung bagi komunitas akar rumput, petani, nelayan, dan masyarakat adat yang telah lama membangun ketahanan tanpa banyak dukungan negara," ujarnya. 

Pikul menyerukan agar pemerintah meninjau kembali arah kebijakan adaptasi iklim nasional dalam SNDC, dengan menempatkan keadilan sosial-ekologis dan hak asasi manusia sebagai inti dari SNDC. Pengesahan RUU Keadilan Iklim juga harus segera dilakukan sebagai prasyarat bagi keberhasilan adaptasi berkeadilan.

"Pemerintah juga perlu membangun mekanisme perlindungan sosial adaptif yang nyata bagi pekerja informal, perempuan, dan penyandang disabilitas, serta menjamin adanya partisipasi bermakna yang memungkinkan kelompok rentan menjadi perancang kebijakan, bukan sekadar penerima dampak," kata Torry. 

"Tanpa keberpihakan yang jelas pada kelompok rentan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, ambisi teknokrasi adaptasi hanya akan menjadi dokumen indah tanpa makna. Krisis iklim adalah persoalan keadilan, bukan sekadar soal angka dan target," ujarnya.