Masyarakat Sipil Tolak Pendanaan Energi Jepang: Greenwashing

Penulis : Kennial Laia

Energi

Senin, 27 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyatakan penolakan terhadap inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dinilai melanggengkan ketergantungan terhadap energi fosil. Solusi yang ditawarkan dianggap solusi palsu  yang membahayakan lingkungan, mengancam keselamatan komunitas, dan berisiko menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. 

Seruan tersebut datang menjelang Konferensi Tingkat Tinggi AZEC di Kuala Lumpur, 28 Oktober 2025. Dipimpin oleh Jepang, sebagian besar proyek AZEC akan dijalankan di Indonesia, melalui Strategi Green Transformation (GX) ini direncanakan. 

Koalisi menilai, AZEC mendorong penggunaan teknologi yang memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, yang tidak akan menyelesaikan krisis iklim dan malah memperburuk penderitaan masyarakat terdampak. 

“Kami menolak AZEC karena ia menyamarkan kepentingan korporasi dan negara industri sebagai upaya dekarbonisasi, padahal yang terjadi adalah greenwashing yang sistemik,” kata Manajer Kampanye Isu Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI Dwi Sawung. 

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara melepaskan emisi karbon dioksida, yang menjadi salah satu faktor terbesar pemanasan global saat ini. Foto: loe.org

“Transisi energi harus berangkat dari kebutuhan dan hak masyarakat, bukan dari skema investasi yang mengekalkan ketimpangan dan kerusakan ekologis," ujarnya. 

Mei lalu, Indonesia dan Jepang menandatangani kerja sama pendanaan baru sebesar Rp8,21 triliun, untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi Muara Laboh Unit 2 di Solok, Sumatra Barat. Adapun proyek lainnya yang didanai AZEC adalah PLTP Sarulla di Tapanuli Utara, Sumatra Utara. 

Sebelumnya lebih dari 40 organisasi masyarakat sipil menyampaikan petisi yang menolak arah dan isi AZEC saat Pertemuan Tingkat Menteri AZEC ke-2 di Jakarta Agustus tahun lalu. 

Koalisi tersebut menilai, proyek transisi energi seperti pembangkit geotermal berisiko tinggi mendorong perampasan lahan dan ruang laut, serta mempercepat deforestasi di berbagai wilayah Indonesia. Proyek pembangkit panas bumi, misalnya, yang dikembangkan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, menyebabkan konflik agraria di sejumlah wilayah karena dibangun di atas tanah masyarakat adat. 

“Menanamkan investasi atas nama rendah karbon yang di dalamnya tersembunyi jebakan utang, kerusakan lingkungan akibat masifnya ekstraksi sumber daya seperti geotermal dan komoditas mineral kritis lainnya, melahirkan penderitaan dan memperpanjang tunggakan utang sosial-ekologis yang harus dirasakan oleh warga di tapak-tapak operasinya,” kata Juru Kampanye JATAM Al Farhat Kasman.

Portofolio AZEC dikuasai energi fosil

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Yuyun Harmono mengatakan, portofolio AZEC selama ini menunjukkan dukungan yang lebih besar terhadap infrastruktur energi fosil dan solusi palsu dibandingkan dengan energi terbarukan. 

Laporan dari Zero Carbon Analytics pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa hanya 11 persen dari 158 Nota Kesepahaman (MoU) di bawah AZEC yang terkait dengan energi dari angin dan surya. Sementara itu terdapat 56 MoU atau 35 persen melibatkan teknologi bahan bakar fosil, seperti LNG, co-firing amonia, dan carbon, capture, and storage (CCS). 

”Dukungan AZEC terhadap solusi palsu seperti co-firing PLTU, CCS/CCUS dan gas fosil untuk pembangkit hanya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dan menjauhkan dari upaya dekarbonasi dan transisi yang adil. AZEC harusnya berperan menjadi bagian dari solusi untuk mendorong berkembangnya energi terbarukan di Indonesia bukan justru memperparah dalam fossil lock-in,” kata Yuyun. 

Peneliti Lingkungan dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Riski Saputra mengatakan, fokus pengembangan proyek AZEC di Indonesia harus diarahkan pada sistem yang lebih berkelanjutan. 

"Jika AZEC serius dalam mendukung agenda transisi energi di Indonesia, seharusnya pengembangan proyek diarahkan untuk smart grid dan pengembangan terhadap sumber-sumber energi bersih seperti surya dan angin. Selain itu, AZEC juga seharusnya mendukung pensiun dini PLTU," kata Riski. 

Koalisi tersebut juga mendesak pemerintah Jepang dan Indonesia untuk berkomitmen pada transisi energi yang cepat, adil, dan merata. Transisi tersebut harus menjamin partisipasi yang bermakna dari masyarakat lokal dan kelompok masyarakat sipil sebagai bagian dari proses demokratis yang berpihak pada keadilan iklim.