Pejuang Lingkungan Vincent Kwipalo Laporkan PT MNM ke Bareskrim
Penulis : Kennial Laia
Masyarakat Adat
Kamis, 06 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perjuangan Vincent Kwipalo menjaga hutan adatnya di Tanah Papua membawanya ke Bareskrim Polri di Jakarta. Segala upaya telah ditempuh, mulai dari pemasangan sasi, adat larangan, hingga pengaduan ke otoritas setempat. Namun suaranya tidak didengar. Kini Vincent menempuh jalur hukum dengan mengadukan perusahaan yang diduga telah merusak hutan dan tanah yang menjadi identitas dan penghidupannya.
Vincent adalah pejuang lingkungan dan pemimpin marga Kwipalo, yang berdiam di Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Merauke. Sejak 2024, dia menyuarakan penolakan terhadap perusahaan perkebunan tebu PT Murni Nusantara Mandiri, yang beroperasi di wilayah adatnya. Bagi Vincent–seperti masyarakat adat pada umumnya–tanah, dusun, dan hutan adat marga Kwipalo merupakan sumber kehidupan, pangan, mata pencaharian dan obat-obatan, yang dapat menjamin mereka hidup turun temurun sejak leluhur.
PT Murni Nusantara Mandiri sendiri memiliki izin konsesi seluas 52.700 hektare di Merauke, hampir setara dengan luas Provinsi Jakarta. Menurut pemantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat September lalu, perusahaan tersebut tengah membangun jalan dari area konsesi perkebunan ke arah Distrik Jagebob XI, yang melintasi tanah marga Kwipalo. Berdasarkan pemantauan berkala yang dilakukan organisasi yang mengadvokasi hutan dan masyarakat adat Papua tersebut, perusahaan perkebunan ini secara keseluruhan telah membongkar 4.912 hektare per Agustus 2025.
“Sampai kapanpun sejengkal tanah tidak kami berikan kepada PT Murni Nusantara Mandiri, karena kami tahu luas wilayah adat Kwipalo, kalau hutan kami habis, maka kami dan anak cucu mau ke mana,” katanya usai melaporkan perusahaan tersebut di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa, 4 November 2025.
PT Murni Nusantara Mandiri merupakan bagian program strategis nasional (PSN) Merauke dengan target luas lebih dari 2 juta hektare untuk program pangan dan bioetanol di Papua Selatan. Perusahaan tersebut masuk ke dalam konsorsium yang menggarap proyek kebun tebu. Menurut catatan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, terdapat klaim tanah adat seluas 1.400 hektare milik marga Kwipalo yang masuk ke dalam konsesi perusahaan tersebut.
Hampir dua tahun, marga Kwipalo melawan dengan memasang sasi permater, adat larangan, dan peringatan memasuki wilayah adat dan jika dilanggar akan berlaku sanksi adat. Marga Kwipalo juga memberikan tanda cat merah di batas wilayah adat.
Namun PT Murni Nusantara Mandiri terus melakukan ekspansi, dengan mengukur, mematok, menggusur dan menghancurkan hutan adat, dusun dan rawa. Operator perusahaan dan anggota militer pun berkali-kali mendatangi Vincent Kwipalo sehingga membuat rasa tidak nyaman dan tertekan, menurut catatan kuasa hukum Vincent.
“Kami juga sudah menyampaikan dan melaporkan penyerobotan dan perampasan hak kami masyarakat adat atas tanah dan hutan adat kepada pemerintah daerah, pemerintah nasional dan Komnas HAM di Jakarta, aparat kepolisian dan militer di daerah, namun tidak ada tanggapan,” katanya.
Bersama dua anggota marga Kwipalo, Vincent mengadukan Direktur dan Komisaris PT Murni Nusantara Mandiri dan pejabat negara Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Didampingi tim kuasa hukumnya dan tim solidaritas untuk Merauke, Vincent mengadukan perusahaan atas dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan yang dilakukan oleh PT Murni Nusantara Mandiri.
“Hari ini kami telah bertemu dan melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan pidana perkebunan yang dilakukan perusahaan perkebunan tebu PT Murni Nusantara Mandiri, yang diduga melanggar Pasal 385 ayat (1) KUHP dan dugaan tindak pidana perkebunan pada Pasal 55, Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Perkebunan,” ujar advokat dan kuasa hukum Emanuel Gobay.
Penggusuran rawa dan Dusun Congyap Sakor dalam konsesi PT Murni Nusantara Mandiri di Merauke, Papua. Dok. Istimewa
Marga Kwipalo merupakan salah satu kelompok marga dari suku Yei yang telah mendapatkan pengakuan wilayah adat dari Bupati Merauke melalui Surat Keputusan Bupati Merauke Nomor 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 tentang Pengakuan, Perlindungan, Penghormatan Hukum Adat dan Wilayah Adat Suku Yei di Kabupaten Merauke.
Gobay mengatakan, masyarakat adat seperti marga Kwipalo juga diakui hak dan keberadaannya dalam undang-undang dan peraturan, termasuk UUD 1945, Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Papua, dan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua.
Menurut Gobay, ketentuan tersebut telah memberikan jaminan hukum kepada marga Kwipalo sebagai salah satu kelompok marga dalam masyarakat adat Malind Anim memiliki hak-hak meliputi hak atas wilayah, tanah dan sumber daya, hak untuk menerapkan praktik pengelolaan sumber daya. Mereka juga memiliki hak melakukan perjanjian dengan pihak ketiga mengenai pemanfaatan sumber daya alam dan hak memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam; serta hak atas informasi dan partisipasi pengelolaan sumber daya alam.
“Kami Solidaritas Merauke selaku Kuasa Hukum Vincent Kwipalo mohon kepada Kapolri untuk menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana yang dilaporkan penggelapan tanah adat yang dilakukan oleh PT Murni Nusantara Mandiri,” kata Emanuel.
Menurut catatan kuasa hukum Vinvent, PT Murni Nusantara Mandiri beroperasi tanpa alas hak guna usaha. Perusahaan tersebut diduga menggunakan perizinan berusaha berbasis risiko dan persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha, yang dikeluarkan pejabat pemerintah Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Perusahaan ini menggusur dan menghancurkan hutan adat di wilayah adat Marga Kwipalo, termasuk hutan keramat Cacibi, Abakin, Agodai dan Congyap.
Vincent Kwipalo (kanan) dalam aksi protes masyarakat adat marga Kwipalo terhadap ekspansi perusahaan perkebunan tebu PT MNM di tanah adatnya, Merauke, Papua. Dok. Istimewa
Ditemukan pula pembangunan sarana prasarana militer di dusun bernama Muckai, yang terjadi semenjak Juni 2025 hingga saat ini. Pembongkaran dan penggusuran dusun, hutan dan rawa, tanpa ada musyawarah dan persetujuan, kesepakatan pemilik tanah adat Marga Kwipalo.
Namun, dalam kegiatan berusahanya, PT Murni Nusantara Mandiri diduga tidak menghormati dan telah mengabaikan hak marga Kwipalo.
“Tanpa ada perundingan dan musyawarah dengan Bapak Vincent Kwipalo serta tanpa ada persetujuan dari Bapak Vincent Kwipalo selaku pemilik wilayah dan tanah adat marga Kwipalo, PT Murni Nusantara Mandiri langsung memasuki wilayah dan tanah adat Kwipalo, menghancurkan hutan adat marga Kwipalo, merusak tanaman tradisional dan tanaman jangka panjang, menghilangkan lahan pangan dan tempat berburu dan bahkan wilayah sakral milik marga Kwipalo,” kata tim kuasa hukum dan juru kampanye hutan senior Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin.
Menurut Asep, kehadiran dan aktivitas perusahaan yang melanggar hak masyarakat adat telah menimbulkan ketegangan dan konflik horizontal antar-marga dan ancaman terhadap tokoh adat.
Asep juga meminta Kapolri menghentikan sementara seluruh kegiatan merusak hutan yang dilakukan PT Murni Nusantara Mandiri dan memberikan perlindungan hukum dan keamanan bagi masyarakat adat Kwipalo.


Share

