Ledakan Konflik Agraria: KPA Tagih Penyelesaian kepada Pansus PKA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Senin, 17 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI (Pansus PKA) segera bekerja, dan mendorong Presiden Prabowo membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BP-RAN). Saat ini ada 865 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dengan luas konflik agraria sekitar 1,7 juta hektare yang menunggu diselesaikan.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan sampai dengan kini belum ada tanda-tanda Pansus PKA bekerja untuk menindaklanjuti aspirasi rakyat mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria.

Padahal, konflik agraria di tanah air dan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang harus segera dituntaskan oleh pemerintahan Prabowo semakin terakumulasi, menumpuk tanpa kejelasan mekanisme penyelesaian. Bahkan konflik-konflik agraria baru terus bermunculan.

“Hingga saat ini belum ada tanda-tanda pansus bekerja untuk mendorong langkah-langkah percepatan pelaksanaan reforma agraria sekaligus mengevaluasi kinerja kementerian/lembaga yang seringkali menjadi penghambat penyelesaian konflik agraria struktural. Bahkan kami melihat ada keputusan atau pernyataan menteri yang bersifat bertentangan dengan aspirasi masyarakat pada HTN 2025,” ujar Dewi pada Minggu (16/11/2025).

Aksi damai Hari Tani Nasional di Jakarta, 24 September 2025. Dok. KPA

Di lapangan, lanjut Dewi, terlihat ledakan konflik agraria disertai kriminalisasi dan kekerasan terhadap rakyat terus berlangsung sepanjang tahun ini. KPA mencatat enam bulan pertama 2025, sedikitnya terjadi 114 letusan konflik, seluas 266.097,20 hektare, dan 96.320 keluarga terdampak.

Bahkan sejak dibentuknya pansus, konflik agraria dan kekerasan di lapangan terus terjadi. Misalnya konflik agraria antara Masyarakat Adat Tano Batak dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang terus memanas. Dua bulan terakhir, pihak perusahaan terus menghancurkan tanaman dan akses jalan masyarakat, serta melakukan tindak kekerasan.

Di Aceh Utara, konflik agraria antara masyarakat Cot Girek dengan PTPN IV terus memakan korban di pihak masyarakat. Selanjutnya, tiga hari yang lalu, PT Gruti melakukan kriminalisasi massal terhadap 35 masyarakat Dairi, Sumut yang menolak perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan.

“Korban kriminalisasi bertambah, sebab kemarin satu orang perempuan dari pihak masyarakat kembali dikriminalisasi. Sementara di Kendal, Jawa Tengah, dua orang petani dikriminalisasi akibat dituduh menyerobot lahan perusahaan swasta,” kata Dewi.

Di sisi lain, lanjut Dewi, kebijakan yang dilakukan oleh K/L terkait belum menunjukkan orientasi keberpihakan terhadap pelaksanaan reforma agraria. Terbaru, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid masih memaksakan mekanisme Hak Pengelolaan (HPL) sebagai win-win solution.

Misalnya terkait kasus Desa Batulawang, Cianjur, Jawa Barat yang seharusnya sudah didistribusikan kembali kepada petani dan masyarakat desa dalam bentuk hak milik bersama, justru secara sepihak di-HPL-kan oleh Badan Bank Tanah (BBT), yang difasilitasi oleh Kementerian ATR/BPN.

Padahal desa ini merupakan LPRA yang seharusnya mudah dituntaskan dengan mengacu pada Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria tanpa harus melewati mekanisme HPL BBT. Proses HPL BBT mengingkari kesepakatan sebelumnya pada masa Pemerintahan Jokowi.

KPA, sambung Dewi, mendukung upaya Presiden Prabowo untuk melakukan nasionalisasi aset terhadap tanah-tanah yang selama ini dikuasai oleh perusahaan perkebunan secara illegal, mal-administrasi dan secara fisik telah ditelantarkan berpuluh tahun lamanya. Padahal proses nasionalisasi aset harus mengedepankan prinsip pemenuhan hak atas tanah dan skala prioritas bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan sosial berbasis agraria.

Sebab ada ribuan desa, perkampungan, lumbung pangan rakyat yang seharusnya sejak lama diakui oleh negara. Namun karena pemerintahan-pemerintahan sebelumnya gagal menjalankan reforma agraria, yang terjadi adalah konflik agraria berkepanjangan antara masyarakat dengan HGU perusahaan.

“Seharusnya, ribuan desa yang berada di dalam klaim-klaim sepihak konsesi perusahaan segera dikeluarkan dan diselesaikan dalam kerangka reforma agraria. Jangan sampai nasionalisasi aset justru menjadi mekanisme baru untuk menggusur tanah masyarakat,” ucap Dewi.

Dewi menjabarkan, konflik-konflik agraria struktural yang berkaitan dengan klaim-klaim negara atas nama kawasan hutan juga mengalami kemacetan. Dalam pertemuan KPA dengan Menteri dan Wakil Menteri Kehutanan pasca-HTN 2025, ada hambatan struktural yang dihadapi oleh Kementerian Kehutanan, utamanya berkaitan dengan konflik agraria petani dengan Perum Perhutani/Inhutani.

Ketidakmampuan Kementerian Kehutanan untuk menyelesaikan konflik agraria berkepanjangan dengan klaim Perhutani ini membutuhkan kepemimpinan Presiden untuk memastikan Badan Pengelola BUMN (BP BUMN) dan Menteri Keuangan bekerjasama dalam kerangka reforma agraria dengan cara melepaskan klaim aset BUMN di atas tanah-tanah masyarakat.

Selain itu, desa-desa, wilayah adat, lumbung pangan rakyat yang mengalami konflik agraria puluhan tahun dengan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) harus segera dikeluarkan dari status kawasan hutan dan dijadikan objek reforma agraria sebagai jalan pemulihan dan pemenuhan hak petani serta masyarakat adat.

Direktur Eksekutif Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu mengatakan birokrasi yang panjang telah menyebabkan macetnya pelaksanaan reforma agraria. Menurut Rocky, para pendamping masyarakat, termasuk KSPPM, selalu dipingpong antara pemerintahan kabupaten, provinsi hingga pemerintahan pusat.

Rocky mencontohkan masyarakat adat yang sudah mendapatkan SK pengakuan pun belum bisa mendapatkan hak penuh atas tanah dan wilayah adatnya akibat panjangnya birokrasi yang harus ditempuh.

“Satu kasus untuk Pandumaan Sipituhuta saja kami butuh 13 tahun untuk menyelesaikannya, sehingga kita tidak bisa lagi fokus kasus per kasus untuk penyelesaian konflik agraria,” kata Rocky.

Rocky berpendapat pansus dan BP-RAN bisa menjadi terobosan politik untuk menyelesaikan akar persoalan agraria yang terjadi secara komprehensif. Sebab Sumatera Utara merupakan provinsi dengan konflik agraria dan kriminalisasi tertinggi selama beberapa tahun terakhir.

Koordinator KPA Wilayah Jambi, Frandody, menagih hasil kerja pansus DPR RI. Dody mengatakan, di Jambi hari persoalan tata batas kawasan hutan yang banyak merampas tanah dan wilayah masyarakat dan petani.

“Bahkan peta Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Desa itu berbeda. Ini harus segera direspon dan selesaikan oleh Pansus,” kata Dodi.

Ketua Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap, Sugeng Petrus, juga menunggu gebrakan pansus. Ia mengaku, pihaknya di Cilacap belum mendengar kapan pansus ini bekerja, khususnya untuk melakukan evaluasi terhadap Perhutani dan PTPN yang telah mencaplok tanah dan lahan pertanian masyarakat.

“Sejauh ini kerja-kerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) justru mengukuhkan klaim-klaim Perhutani di atas tanah garapan masyarakat. Kami berharap BP-RAN segera dibentuk, sebab kelembagaan yang ada saat ini justru kontraproduktif dengan penyelesaian konflik agraria,” ujar Sugeng.

Koordinator KPA Wilayah Sulawesi Selatan, Rizky Anggriana Arimbi, mengatakan tim kerja maupun satuan tugas yang telah dibentuk pemerintah tidak satu pun berani menyentuh konflik agraria yang melibatkan PTPN akibat adanya ego-sektoral. Padahal PTPN sudah puluhan tahun melakukan kejahatan agraria di Sulsel.

“Inilah alasan mengapa pembentukan BP-RAN semakin mendesak. Penyelesaian konflik tersebut, terutama yang berkaitan dengan PTPN melibatkan Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan Kementerian ATR/BPN. Sehingga hanya BP-RAN yang dapat mengurainya, karna langsung dipimpin oleh Presiden,” ucap Rizky.

Harus moratorium penerbitan perizinan agraria

Dewi menambahkan, Pansus PKA DPR RI dapat segera memulai kerjanya dengan memproses 865 LPRA dengan luas kurang lebih 1,7 juta hektare yang dikuasai dan digarap oleh 2,4 juta jiwa. Lokasi-lokasi ini merupakan konflik agraria struktural yang telah berpuluh tahun mendesakkan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

Kemudian dalam bekerjanya, Dewi juga meminta Pansus PKA harus memastikan keterlibatan KPA dan organisasi rakyat untuk memastikan arah, tujuan, dan tata cara bekerja Pansus PKA sejalan dengan aspirasi HTN 2025. Menurut Dewi, pansus harus mampu melahirkan terobosan politik dan diskresi hukum untuk mengatasi kegagalan dan kemacetan pelaksanaan reforma agraria selama ini.

“Di antaranya, diskresi hukum mengatasi hambatan reforma agraria di BUMN (PTPN/Perhutani), atau alasan klasik dan berulang-ulang yang disampaikan oleh para menteri dalam sepuluh tahun terakhir soal ego-sektoral antar K/L, tutupan hutan, ketiadaan anggaran atau alasan teknokrasi seperti pendekatan clear and clean yang selalu menjadi senjata ampuh kementerian untuk menghambat pelaksanaan reforma agraria,” ujar Dewi.

Sembari Pansus PKA mulai bekerja dan menunggu Presiden Prabowo membentuk BP-RAN, lanjut Dewi, sebaiknya para menteri dan pimpinan lembaga terkait menahan diri untuk tidak mengeluarkan keputusan yang akan menimbulkan krisis agraria lebih mendalam. Di antaranya harus ada pembekuan Bank Tanah, menghentikan penerbitan izin dan hak konsesi (moratorium) perkebunan, kehutanan, tambang (HGU, HPL, HGB, HTI, ijin lokasi, IUP),

Termasuk pula penghentian proses pengadaan tanah bagi PSN, KEK, Bank Tanah, Food Estate, KSPN dan IKN yang menyebabkan ribuan konflik agraria, penggusuran dan kerusakan alam. Selanjutnya, konsesi dan proyek pengadaan tanah yang tumpang tindih dengan tanah rakyat segera dikembalikan dalam kerangka Reforma Agraria.

Selanjutnya, masih kata Dewi, Pansus PKA meminta POLRI-TNI untuk menghentikan represivitas di wilayah konflik agraria, membebaskan petani, masyarakat adat, perempuan, aktivis dan mahasiswa yang dikriminalisasi, sekaligus menarik TNI-POLRI dalam program pangan nasional, dan mengembalikan pembangunan pertanian-pangan peternakan-pertambakan kepada petani, nelayan dan masyarakat adat.

Dewi menuturkan, KPA juga menagih komitmen pansus untuk segera mendorong Presiden Prabowo membentuk BP-RAN mengingat urgensi keberadaan lembaga ini. Selama ini banyak kelembagaan pelaksana reforma agraria yang telah dibentuk oleh pemerintah namun tidak berhasil memecah kebuntuan yang terjadi akibat tumpang tindih regulasi dan ego-sektoral antara K/L karena masih dipimpin setingkat menteri.

BP-RAN menjadi satu-satunya jalan untuk memecah kebuntuan pelaksanaan reforma agraria nasional karena bersifat otoritatif dan eksekutorial, berada langsung di bawah kepemimpinan presiden, dengan mandat khusus dan terkonsentrasi dalam kerja-kerja pelaksanaan reforma agraria.

“Reforma agraria sejati merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijalankan Presiden Prabowo RI jika ingin menghadirkan keadilan, mengentaskan kemiskinan, mencapai swasembada pangan, dan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi,” ujar Dewi.

Data KPA 2024, sambung Dewi, menunjukkan 15 provinsi episentrum konflik agraria merupakan provinsi-provinsi episentrum kemiskinan. Sebab konflik agraria akibat perampasan tanah dan penggusuran tanah-tanah masyarakat telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat.

Sementara laporan FAO/IFAD 2019, pelaksanaan redistribusi tanah di beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, Etiopia, Bolivia, Jepang, dan Korsel secara signifikan telah berhasil menurunkan angka ketimpangan, meningkatkan diversifikasi pangan dan produktivitas pertanian, serta pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Sebelumnya, pembentukan Pansus PKA dan BP-RAN ini merupakan kesepakatan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara DPR RI dan pemerintah bersama KPA pada peringatan Hari Tani Nasional 2025 (HTN). Selain itu, dalam RDP tersebut, KPA juga menyampaikan 24 masalah agraria struktural dan 9 tuntutan perbaikan. RDP ini dihadiri juga oleh 100 orang perwakilan dari 12 ribu massa aksi HTN yang berasal dari organisasi tani, nelayan, dan buruh.

Selanjutnya, pasca-HTN dalam rangka menindaklanjuti hasil RDP bersama KPA, DPR RI secara resmi telah membentuk Pansus PKA yang terdiri dari 30 Anggota DPR RI berasal dari 8 fraksi pada 2 Oktober 2025.