Kenaikan Emisi Bayangi Target Net Zero Indonesia

Penulis : Kennial Laia

Energi

Senin, 24 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah Indonesia kembali gagal mencapai target bauran energi terbarukan selama sembilan tahun berturut-turut. Jika kebijakan energi masih bergantung pada energi fosil, emisi Indonesia dipastikan naik dan akan mempersulit capaian target emisi nol bersih (net zero) pada 2060, menurut sebuah laporan terbaru.  

Indonesia Energy Transition Outlook 2026 yang terbit Kamis, 20 November 2025, memproyeksikan, jika masih berbasis fosil, target ekonomi Indonesia pada 2029 akan meningkatkan emisi hingga 17 persen pada 2040 dan membuat capaian net zero emisi 2060 lebih berat dan mahal. Laporan ini berkala dikeluarkan sejak 2018, untuk memantau perkembangan transisi energi Indonesia dan kondisi pendukungnya. 

Pada 2014, Indonesia menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Namun hingga pertengahan tahun ini, baru tercapai sekitar 16 persen. Sementara itu pada awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto berjanji untuk menghentikan energi fosil dalam 10-15 tahun dan mencapai 100 persen energi terbarukan. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa – organisasi yang menerbitkan laporan tersebut – menilai komitmen dan target tersebut menyisakan jurang implementasi yang lebar. 

Energi bersih dan terbarukan seperti tenaga angin dan matahari semakin murah, dan memungkinkan dunia untuk mencapai target 1.5C dengan target dan kebijakan yang tidak mendukung energi fosil. Dok IEA

“Transisi energi Indonesia berjalan lambat yang disebabkan oleh tiga hambatan struktural, yaitu kerangka peraturan yang tidak koheren, kebijakan fiskal yang memberikan insentif penggunaan energi fosil, dan fragmentasi institusi dan prioritas,” katanya. 

“Ketidakmampuan pemerintah mengatasi hambatan-hambatan membuat pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi terhambat, seiring memburuknya iklim investasi energi bersih,” ujarnya. 

Fabby menilai, terdapat paradoks di mana Indonesia tidak mau melepaskan diri dari energi fosil padahal memiliki sumber daya energi terbarukan yang sangat besar. Selain itu, keinginan untuk mempertahankan PLTU batu bara berlawanan dengan tren global di mana PLTU mulai ditinggalkan oleh negara-negara maju. Investasi energi bersih dunia pada 2024 juga telah meningkat hingga sepuluh kali lipat dibandingkan investasi fosil. 

Fabby menilai Indonesia perlu membuktikan kredibilitasnya dengan keluar dari retorika dan memperbaiki kebijakan, memperkuat infrastruktur jaringan, serta menutup kesenjangan pembiayaan. 

Fabby menekankan, terdapat beberapa area utama yang membutuhkan transformasi segera, termasuk koordinasi kebijakan dan prioritas antar lembaga, restrukturisasi industri kelistrikan, keputusan menghentikan pembangunan PLTU baru dan pensiun PLTU, serta pemberian insentif dan instrumen pendanaan energi bersih. 

“Perkembangan yang baik dari biaya energi terbarukan yang semakin murah, tumbuhnya industri pendukung seperti kendaraan listrik dan baterai serta tersedianya data proyek energi terbarukan yang siap dibangun merupakan modal besar yang harus dimanfaatkan agar Indonesia menjadi kekuatan energi terbarukan di kawasan,” katanya. 

Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR Abraham Octama Halim mengatakan, kebutuhan listrik Indonesia tumbuh sangat cepat, antara 3 hingga 10 persen setiap tahun. Menurutnya, pertumbuhan ini seharusnya diisi oleh energi terbarukan sehingga bauran energi terbarukan dapat naik cepat. 

Di luar sistem Jawa-Bali, pembangkit energi terbarukan dapat mengganti pembangkit diesel dan PLTU batu bara yang akan memberikan dampak penurunan biaya produksi tenaga listrik. Simulasi 100 persen energi terbarukan, yang dilakukan di Pulau Timor dan Sumbawa, dengan mayoritas pembangkit tenaga surya dan baterai menunjukkan bahwa biaya pembangkitan dapat turun tiga hingga 21 persen, dengan keandalan sistem yang baik. Sayangnya, potensi ini masih jauh dari direalisasikan, kata Abraham.

“Alih-alih meningkat, bauran energi terbarukan di sistem on-grid justru turun dalam lima tahun terakhir. Dari 13 persen di 2020, menjadi hanya 11,5 persen di 2024. Angka ini meleset dari target RUPTL 2021-2030 yang seharusnya 15 persen. Kami mengidentifikasi adanya kesenjangan lebar antara potensi energi terbarukan yang melimpah, perencanaan sistem, hingga realisasi di lapangan,” ujarnya. 

Berdasarkan Transition Readiness Framework (TRF), indeks yang dikembangkan IESR sejak 2022 untuk mengukur kesiapan kondisi pendukung transisi energi Indonesia, empat dari sebelas faktor yaitu kebijakan, kepemimpinan, dan investasi masih dinilai rendah, dan tidak berubah dari hasil 2024. 

Subsidi fosil meningkat

Analis Finansial dan Ekonomi IESR Putra Maswan mencatat, investasi di sektor energi terbarukan tidak mencapai target pada 2025. Anggaran energi terbarukan di tingkat provinsi untuk 2025 relatif kecil, hanya Rp 426,7 miliar untuk 33 provinsi. Minimnya anggaran berkontribusi pada capaian bauran energi terbarukan, lantaran memengaruhi kemampuan pemerintah daerah membangun infrastruktur energi. 

Salah satunya Pulau Bali, yang baru mencapai kurang dari tiga persen dari target 11 persen energi terbarukan pada 2025, meski memiliki potensi surya hingga 21 GW.

Sebaliknya, subsidi fosil mengalami peningkatan pada 2025 dan 2026. Jika diakumulasi, jumlahnya mencapai  Rp1.023 triliun selama periode 2022-2026. 

“Sementara itu, partisipasi publik dan penerimaan komunitas terhadap transisi energi masih berada pada tingkat sedang yang artinya kesadaran meningkat, tetapi belum berujung pada partisipasi yang bermakna,” kata Putra. 

IESR merekomendasikan enam langkah utama bagi pemerintah untuk fokus pada energi terbarukan. Di antaranya, menyusun rencana pensiun energi fosil yang jelas dan terukur; melakukan reformasi kelembagaan dan regulasi; memperluas pemanfaatan pembangkit tenaga surya, angin, dan baterai; mendorong relokasi atau pembangunan industri di wilayah yang memiliki pasokan energi bersih; memperkuat pembiayaan energi terbarukan dan mengurangi subsidi fosil; serta memastikan keterlibatan publik yang lebih bermakna.