Delegasi COP30 Indonesia Didominasi Sponsor Tambang dan Energi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Senin, 24 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Menjelang ditutupnya Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belem, Brazil, Trend Asia menyoroti peran konflik kepentingan bisnis pada lemahnya komitmen iklim Indonesia. Struktur kepemimpinan dan komposisi delegasi yang didominasi oleh korporasi dinilai membawa konflik kepentingan dan mengaburkan agenda aksi iklim.
Delegasi Republik Indonesia (DELRI) COP 30 yang berjumlah total 450 orang dipimpin langsung oleh Hashim Sumitro Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo, yang menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi. Padahal, Grup Arsari milik Hashim terkait erat dengan ragam industri ekstraktif yang destruktif terhadap lingkungan, termasuk industri sawit, tambang, dan energi fosil.
"Delegasi Indonesia di pertemuan ini dipimpin pebisnis dan disponsori pebisnis. Maka siapa yang dinegosiasikan—kepentingan masyarakat, atau portofolio bisnis oligarki perusak lingkungan?” ujar Novita Indri Pratiwi, Juru Kampanye Energi Trend Asia, dalam keterangan tertulis, Jumat (21/11/2025).
Selain itu, dominasi sponsor korporasi dalam mengongkosi anggota DELRI menimbulkan kecurigaan bahwa agenda pasar dan korporasi didahulukan ketimbang agenda melawan krisis iklim secara adil dan berpihak pada rakyat terdampak.
Tidak heran jika akhirnya Indonesia sendiri tidak termasuk dalam 80 negara yang mendorong inisiatif peta jalan peralihan dari bahan bakar fosil. Hal ini sejalan dengan rencana revisi Perpres 112 Tahun 2012 yang masih melanggengkan jalan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru. Hal ini bertentangan dengan janji Presiden Prabowo untuk menghentikan operasi semua PLTU dalam 15 tahun ke depan.
Sponsor-sponsor korporasi tersebut memiliki rekam jejak dalam perusakan lingkungan maupun dalam industri fosil dengan emisi tinggi, yakni sektor energi dan ekstraktif ada Adaro Energy, Golden Energy Mines (Sinarmas Group), Pertamina, PLN, Harita Nickel, Huayou, Vale, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Indonesia Weda Bay Industrial park (IWIP), AMMAN, dan Medco Energi. Sedangkan sektor kehutanan (FOLU) ada APP Sinarmas, April, Viriya ENB.
Beberapa perusahaan tersebut memiliki catatan perusakan lingkungan yang menonjol. Misalnya, aktivitas pengerukan nikel dan pengolahan nikel dari Harita dan IWIP yang berdampak berat terhadap alam dan biota laut di Maluku. Begitu juga PT Vale, yang terus mengemas diri mereka sebagai perusahaan hijau, namun secara konsisten terus mengalami kecelakaan yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Sementara perusahaan perhutanan seperti Sinarmas telah lama disorot akibat keterkaitan mereka dengan kebakaran hutan berulang.
Aktivitas Indonesia di COP30 akhirnya berfokus pada mekanisme pasar karbon. Paviliun Indonesia menjadi wadah untuk pertemuan Seller Meet Buyer (SMB), tempat 20 partisipan memaparkan 44 proyek 'hijau' demi target mencapai nilai jual karbon senilai Rp16 triliun. Agenda jualan karbon ini justru akan menjadi celah bagi korporasi sektor ekstraktif dan penghasil bahan bakar fosil untuk terus memperpanjang bisnisnya.
“Langkah pemerintah memberi kuasa besar pada korporasi untuk memimpin Indonesia dalam pertemuan ini, sama saja memberikan lisensi bagi mereka untuk cuci tangan dari dosa emisi dan perusakan lingkungan mereka, serta menggunakan ‘akal-akalan hijau’ dalam branding mereka,” ucap Novita.


Share

