7 Korporasi Disebut Biang Bencana Tapanuli

Penulis : Aryo Bhawono

Ekosistem

Jumat, 28 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyebutkan bencana banjir dan longsor yang melanda sedikitnya 8 kabupaten/ kota di Sumatera Utara bukan hanya disebabkan faktor hujan. Mereka menyebutkan kerusakan di sekitar ekosistem penyangga turut berkontribusi besar. Biangnya adalah pembukaan untuk tujuh korporasi di wilayah itu. 

Bencana alam ini terjadi sejak Selasa (25/11/2025) dengan Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sebagai wilayah paling parah. Puluhan ribu warga mengungsi, ribuan rumah hancur, serta ribuan hektare lahan pertanian rusak tersapu banjir. Hingga kini, tercatat 51 desa di 42 kecamatan terdampak, dengan banjir melumpuhkan perekonomian, merusak infrastruktur, rumah ibadah, dan sekolah.

Bencana tersebut paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tapanuli Selatan mencatat sebanyak 15 orang meninggal dunia di wilayah itu akibat banjir dan longsor. Belasan orang yang meninggal dunia itu terdiri atas satu warga Sipirok, satu warga Angkola Barat, serta 13 warga Kecamatan Batangtoru.

Kondisi jembatan yang terputus akibat banjir di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara, Selasa (25/11/2025). Foto: BPBD Kabupaten Tapanuli Utara

Data Walhi Sumut menunjukkan ekosistem Batang Toru, sebagai hutan penyangga hidrologis, terus terkikis dan berkontribusi besar atas bencana ini. 

Ekosistem Harangan Tapanuli/ Batang Toru merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumatera Utara. Luas administratif bentang alam ini sebesar 66,7 persen berada di Tapanuli Utara, seluas 22,6 persen di Tapanuli Selatan, dan seluas 10,7 persen di Tapanuli Tengah. 

Bentang alam ini pun merupakan bagian dari Bukit Barisan, dan menjadi sumber air utama, mencegah banjir dan erosi, serta menjadi pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju wilayah hilir.

Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, menyebutkan setidaknya terdapat tujuh korporasi yang terindikasi menyebabkan kerusakan bentang alam Batang Toru. 

“Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru,” kata dia melalui rilis pers pada Rabu (26/11/2025).

Perusahaan yang dimaksud:

1.⁠ ⁠PT Agincourt Resources – Tambang emas Martabe

2.⁠ ⁠PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) – PLTA Batang Toru

3.⁠ ⁠PT Pahae Julu Micro-Hydro Power – PLTMH Pahae Julu

4.⁠ ⁠PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput

5.⁠ ⁠PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR di Tapanuli Selatan

6.⁠ ⁠PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit di Tapanuli Tengah

7.⁠ ⁠PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit di Tapanuli Selatan

Ketujuhnya beroperasi di atau sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan spesies dilindungi lainnya.

Foto citra satelit (2024) bukaan hutan tambang emas PT Agincourt Resourches di kec Batang Toru, Tapanuli Selatan. Data: Walhi Sumut

Ia memaparkan sepanjang 2015–2024, ⁠PT Agincourt Resources telah mengurangi tutupan hutan dan lahan sekitar 300 hektare di DAS Batang Toru. Lokasi Tailing Management Facility (TMF) berada sangat dekat Sungai Aek Pahu yang mengaliri Desa Sumuran. Warga menyampaikan bahwa sejak beroperasinya PIT Ramba Joring, air sungai sering kali keruh saat musim hujan.

AMDAL PT Agincourt Resources menyebutkan memproduksi 6 juta ton emas per tahun, dan berencana meningkatkan kapasitas menjadi 7 juta ton dengan membuka 583 ha lahan baru untuk fasilitas tailing, termasuk penebangan 185.884 pohon. Penelusuran yang dilakukan Walhi menunjukkan sekitar 120 ha hutan telah sudah dibuka.

Pada dokumen itu sendiri mencantumkan berbagai risiko aktivitas mereka seperti ⁠perubahan pola aliran sungai, ⁠peningkatan limpasan, ⁠penurunan kualitas air, ⁠hilangnya vegetasi, dan ⁠rusaknya habitat satwa.

Pembukaan hutan di sepanjang DAS Batang Toru untuk pembangunan PSN PLTA North Sumatera Hydro Energi (NSHE). Data: Walhi Sumut

Proyek PLTA Batang Toru telah menyebabkan hilangnya lebih dari 350 ha tutupan hutan di sepanjang 13 km daerah sungai. Akibatnya terjadi gangguan fluktuasi debit sungai, sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan, dan pembangunan bendungan. 

“Selain itu potensi polusi sungai bila limbah galian mengandung unsur beracun,” katanya. 

Video luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora menunjukkan gelondongan kayu dalam jumlah besar. Walhi Sumut mensinyalir kayu-kayu tersebut berasal dari area pembangunan infrastruktur PLTA.

⁠PT Toba Pulp Lestari (PKR) sendiri telah mengalihfungsikan ratusan hingga ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru menjadi Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang ditanami eukaliptus, terutama di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan.

Selain itu skema Pemanfaatan Kayu Tumbuh Alami (PHAT) juga mengakibatkan degradasi kawasan koridor satwa yang menghubungkan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat telah terdegradasi sedikitnya 1.500 hektare dalam tiga tahun terakhir.

“Pembukaan hutan melalui skema PHAT menjadi salah satu pemicu banjir bandang,” ucap dia. 

Rianda menegaskan bahwa banjir bandang dan longsor bukan sekadar akibat hujan ekstrem. Setiap banjir kayu-kayu besar turut turun bersama air. Citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. 

“Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan. Ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan,” ucapnya. 

Foto citra Satelit (2024) lokasi pertambangan PT Agincourt Resourches yang bersebelahan dengan pembangunan PLTA Batang Toru. Data: Walhi Sumut

Pendapat yang sama juga oleh Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi. Ia menyebutkan tambang emas, PLTA batang Toru, PLTMH Pahae Julu, Geothermal PT SOL (Tapanuli Utara), PKR PT Toba Pulp Lestari (Tapanuli Utara), Perkebunan Sawit PT Sago Nauli (Tapanuli Tengah), dan Perkebunan Sawit PTPN III Batang Toru (Tapanuli Selatan) telah menggerogoti ekosistem tersebut.

“Air yang mengalir dari hulu ke hilir akan membawa dampak lebih parah jika kondisi hutan di bagian hulu telah rusak—tanah menjadi tidak stabil, rawan longsor, dan tidak ada lagi pohon yang berfungsi sebagai pengikat tanah,” kata dia. 

Kombinasi antara ekspansi tambang, pembangunan infrastruktur berskala besar, serta hilangnya tutupan hutan di ekosistem Batang Toru menciptakan tekanan yang saling memperparah. Ruang resapan air hilang, struktur tanah melemah, dan bentang alam diubah secara masif, maka risiko banjir bandang dan longsor meningkat tajam.

Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara dan Jaringan Advokasi Masyarakat Marjinal (JAMM) menyebut kondisi itu mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap ruang hidup masyarakat. Ia menilai kebijakan tata ruang, pengawasan izin, serta regulasi lingkungan selama ini lebih berpihak pada kepentingan pemodal dibanding kesejahteraan warga. 

“Kerusakan ini bukan hanya ekologis, tetapi sosial. Ketahanan pangan melemah, masyarakat kehilangan lahan, dan budaya yang terkait dengan hutan ikut tergerus,” kata Hendra Hasibuan Ketua DPW SHI SUMUT. 

Tumpang susun peta beberapa daerah yang terdampak banjir dengan wilayah konsesi Tambang Emas Martabe. Nampak kedua wilayah ini berdekatan dan berada dalam kawasan dua Daerah Aliran Sungai yang juga berdekatan: DAS Nabirong dan DAS Batang Toru. Data: Satya Bumi

Data-data ini menunjukkan bahwa kehadiran industri ekstraktif telah menyebabkan deforestasi yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Mereka pun menuntut pemerintah untuk menghentikan aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru.

Langkahnya adalah mengevaluasi dan mencabut izin PT Agincourt Resources dan proyek PLTA Batang Toru (NSHE), menutup dan mencabut izin PT Toba Pulp Lestari, serta menghentikan aktivitas keempat perusahaan lain yang disebut sebelumnya. 

Selain itu pemerintah harus menindak pelaku perusakan kawasan ekosistem Batang Toru dan menetapkan Kebijakan Perlindungan Ekosistem Batang Toru secara terpadu. 

Sedangkan kebutuhan dasar para penyintas bencana harus menjadi prioritas sekaligus mengevaluasi wilayah rawan bencana untuk mitigasi kejadian serupa.

“Kami turut berduka atas bencana ekologis yang menimpa Sumatera Utara. Semoga para penyintas diberi kekuatan dan kebutuhan dasarnya segera terpenuhi. Kami tidak ingin bencana ini berulang. Negara harus bertindak dan menghukum para pelanggar,” kata Rianda.