Pesan Tak Sampai dalam Bencana Ekologis Sumatera
Penulis : aryo bhawono
Ekologi
Selasa, 02 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai mitigasi bencana ekologis oleh pemerintah nihil dalam menghadapi bencana di tiga provinsi, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kerugian nyawa dan ekonomi pun harus ditelan masyarakat akibat keteledoran ini.
Presiden Prabowo Subianto memberikan pesan soal ancaman krisis iklim saat meninjau lokasi bencana di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada Senin lalu (1/12/2025). Ia menyebutkan perubahan iklim bukan ancaman abstrak melainkan nyata dan sudah memicu bencana di berbagai daerah Indonesia.
“Perubahan iklim harus kita hadapi dengan baik. Pemerintah harus benar-benar berfungsi menjaga lingkungan,” tegasnya.
Ia mendorong setiap pemerintah daerah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi lingkungan di wilayah masing-masing.
Namun menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Gandar Mahojwala, pesan itu dirasa tak nampak dalam mitigasi siklon tropis senyar yang mengakibatkan banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25-27 November 2025 lalu.
Gandar Mahojwala menyebutkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyampaikan pesan atas terdeteksinya pusat tekanan rendah (low pressure area) sejak 17 November 2025. Pers rilis BMKG menegaskan pentingnya pemerintah daerah untuk mulai waspada atas potensi bencana hidrometeorologi.
“Tanggal 21 November 2025, BMKG menyatakan bahwa Pusat Tekanan Rendah telah menjadi Bibit Siklon. Kedua informasi ini menunjukkan bahwa peringatan dini sudah cukup menjelaskan adanya potensi bencana, namun tidak dilakukan aksi merespon peringatan dini yang serius oleh pemerintah,” ucapnya dalam dalam jumpa pers pada Senin (1/12/2025).
Menurutnya perkembangan industri ekstraktif di tiga provinsi tersebut sudah lama menjadi perhatian. Walhi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berkali-kali memperingatkan bahwa tutupan hutan alam di tiga provinsi tersebut menyusut dan berada di bentang alam yang memiliki fungsi ekologis penting.
Namun fakta dan informasi BMKG atas bahaya siklon itu tak menjadi perhatian pemerintah daerah maupun pusat. Alhasil ketika bencana datang, tak ada aksi untuk melakukan mitigasi seperti mengungsikan penduduk.
“Padahal siklon tropis itu berbeda dengan gempa, mereka bisa dideteksi dan deteksi ini sudah dilakukan tetapi pesannya sama sekali tidak ditangkap. Disinilah kegagalan itu,” ucap dia.
Gandar pun beranggapan pemerintah masih cenderung menekankan faktor alam saja dalam menanggapi bencana ini.
Padahal, kata dia, proses terjadinya bencana sangat dipengaruhi dari kerentanan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan yang menguasai luas lahan yang besar.
Ia mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan mekanisme Analisis Risiko Bencana, sebuah kegiatan penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana. Selama ini Analisis Risiko Bencana diatur dalam Pasal 40 ayat (3), UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pasal ini menyatakan setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.
“Instrumen ini menjadi penting untuk segera disahkan, untuk memastikan bahwa tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang meningkatkan dan memungkinkan terjadinya bencana.” ucapnya.
Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis Walhi, Melva Harahap, keteledoran pemerintah melakukan mitigasi mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan di 3 provinsi tersebut. Masyarakat mengalami kerugian material seperti kehilangan rumah, keluarga, harta benda, hewan ternak, kebun, hak hidup dengan rasa aman dan nyaman termasuk lingkungan hidup yang sehat hilang seketika ketika bencana ekologis ini terjadi.
Bencana ini juga mengakibatkan rusaknya sarana prasarana jalan rusak, listrik mati, sinyal komunikasi terputus, bbm langka, bahan makanan semakin hari menipis, mengakibatkan warga terisolir.
“Dari sisi kemanusiaan, penetapan status bencana nasional menjadi penting dalam merespon bencana ekologis yang terjadi di sumatera. Tetapi hal yang harus diingat, penting bagi negara untuk menagih pertanggungjawaban korporasi, dan tidak menetapkan ini sebagai bencana alam, sebab penetapan itu akan berkonsekuensi pada gugurnya tanggung jawab korporasi”, ujar Melva.
Kerugian mencapai Rp 2,2 Triliun
Analisis Center of Economic and Laws Studies (Celios) mengasumsikan terdapat 5 sektor kerugian. Pertama, kerugian rumah dengan masing-masing mencapai Rp 30 juta per rumah. Kedua, kerugian jembatan dengan masing-masing biaya pembangunan kembali jembatan mencapai Rp 1 miliar,
Ketiga, kerugian pendapatan keluarga sesuai dengan pendapatan rata-rata harian masing-masing provinsi dikali dengan 20 hari kerja. Keempat, kerugian lahan sawah dengan kehilangan mencapai Rp6.500 per kg dengan asumsi per hektare dapat menghasilkan 7 ton. Dan kelima perbaikan jalan per 1000 meter mencapai Rp 100 juta.
Perkiraan kerugian materi atas tiga sektor mencapai Rp 2,2 triliun di 3 provinsi terdampak paling luas.


Share

