Tragedi Sumatera: Presiden Prabowo Disomasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Jumat, 12 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil, yang terdiri dari 114 lembaga di Indonesia, bersama-sama melayangkan somasi kepada Presiden Prabowo Subianto. Somasi ini buntut dari tidak segera ditetapkannya bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Sumatera Utara (Sumut) sebagai bencana nasional.

“Berdasarkan perkembangan situasi di lapangan, kami mendesak agar Presiden Republik Indonesia segera menetapkan status bencana nasional. Selain itu kami juga meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk menangani bencana ini dengan cepat dan terukur, agar para korban segera mendapatkan haknya,” kata kelompok masyarakat sipil, dalam sebuah pernyataan sikap, Rabu (10/12/2025).

Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 10 Desember 2025, angka korban bencana alam di tiga provinsi tersebut terus bertambah. Dengan detail, sekitar 969 orang meninggal, 252 hilang dan angka ini belum termasuk korban yang belum ditemukan.

Selain itu, terdapat puluhan ribu orang dipaksa menjadi pengungsi. Kelompok masyarakat sipil menganggap kondisi saat ini sangat rentan, terutama bagi perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan orang dengan usia lanjut.

Situasi bencana banjir di Sumatera Utara. Foto: BPBD Sumatera Utara.

Ada potensi risiko mereka yang mengungsi mengalami kekerasan, tidak mendapatkan layanan kesehatan yang inklusif, dan pengabaian terhadap hak-hak kesehatan reproduksi. Sebab, menurut pantauan kelompok masyarakat sipil, sampai detik ini belum ada bantuan yang memadai memperburuk kesenjangan akses perempuan terhadap air bersih, sanitasi yang aman, pembalut, layanan kesehatan ibu, serta perlindungan di ruang pengungsian.

“Kami memperkirakan jumlah korban akan terus bertambah seiring terbatasnya akses evakuasi dan lambatnya mobilisasi bantuan,” tulis kelompok masyarakat sipil.

Kelompok ini menguraikan, kerusakan infrastruktur yang masif, mulai dari terputusnya akses jalan hingga lumpuhnya jaringan komunikasi, telah menghambat evakuasi, layanan medis, dan distribusi logistik. Banyak wilayah terisolasi, sementara masyarakat yang bertahan di dalamnya berada dalam kondisi sangat rentan tanpa perbekalan memadai.

Situasi ini, lanjut kelompok masyarakat, menegaskan urgensi intervensi cepat pemerintah pusat untuk mengutamakan keselamatan warga tanpa terhalang prosedur birokrasi. Setiap jam keterlambatan adalah bentuk kelalaian negara terhadap keselamatan warganya. 

Tak hanya itu, beban masyarakat semakin berat dengan kerugian sosial-ekonomi yang sangat besar, seperti ribuan rumah hancur, pertanian dan tempat usaha musnah, serta aktivitas ekonomi berhenti total. Banyak warga kehilangan mata pencaharian dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

“Pemulihan dalam skala ini mustahil ditangani pemerintah daerah sendiri dan membutuhkan intervensi penuh pemerintah pusat termasuk anggaran nasional, dukungan teknis, serta rekonstruksi terpadu,” tulis kelompok masyarakat sipil.

Kelompok ini melanjutkan, warga sebagai korban terdampak memiliki hak konstitusional. Bukan hanya menuntut pada ganti kerugian kehilangan nyawa, kehilangan harta benda, gangguan akses kesehatan dan yang lainnya terhadap negara, tetapi terhadap pihak perusahaan swasta.

Bagaimanapun faktor utama penyebabnya adalah eksploitasi oleh swasta yang berlebihan, yang tidak sesuai dengan administrasi negara, dan bahkan ada yang ilegal. Sehingga bukan negara saja yang bertanggung jawab, swasta juga bertanggung jawab dan dapat dituntut pemenuhan hak.

“Dengan kondisi seperti ini maka dimensinya bukan hanya dimensi gugatan perdata biasa, melainkan pertanggungjawaban pidana karena sudah termasuk sebagai kategori Kejahatan Ekosida,” kata mereka.

Kelompok ini menyebut, selain penyelamatan jiwa, penegakan hukum tidak boleh diabaikan. Penetapan status bencana nasional akan membuka jalan bagi investigasi menyeluruh lintas daerah untuk mengungkap penyebab struktural, memastikan para pelaku yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan kelalaian tata kelola diproses secara hukum.

Mereka berpendapat, penetapan bencana nasional bukan hanya status administratif, tetapi langkah mendesak untuk menyelamatkan nyawa, mempercepat penanganan yang sensitif gender, dan memastikan negara hadir sepenuhnya melindungi rakyat. Tindak lanjut penetapan bencana nasional juga harus memastikan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta pelibatan dan pengawasan oleh berbagai pihak.

“Situasi di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah memenuhi seluruh indikator. Kami mendesak Presiden segera mengambil keputusan demi kemanusiaan, keselamatan, dan masa depan masyarakat terdampak,” kata kelompok masyarakat sipil.

Mereka menganggap penyelesaian masalah ini tidak akan tercapai apabila hanya mengandalkan mekanisme evaluasi administrasi semata. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui siapa pemilik perusahaan tersebut dan siapa penerima manfaatnya.

“Sehingga, dapat diketahui apakah mereka memberikan kontribusi pada saat pemilu/pemilihan presiden, serta apakah mereka merupakan pihak yang berada di belakang para Menteri yang bertanggung jawab,” tulis kelompok masyarakat sipil.