Indonesia Jualan Karbon, Tapi Faktanya Hutan Dirusak: FWI

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Senin, 15 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Narasi Indonesia di panggung Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém—yang mempromosikan komitmen penurunan emisi dan perdagangan karbon, dianggap terlalu kontras dengan kenyataan di dalam negeri. Sebab deforestasi dan kerusakan daerah aliran sungai diduga kuat memperparah dampak banjir di Sumatera.

Isu tersebut menjadi tema utama perbincangan dalam diskusi publik bertajuk “Di Belém Karbon Hutan Indonesia Dijual, Faktanya Sumatera Banjir Besar!” yang digelar Forest Watch Indonesia (FWI), di Salihara Art Center, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025) pekan lalu.

Forum tersebut membahas sikap Indonesia yang menonjolkan sektor kehutanan sebagai “tulang punggung” pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), memperkenalkan skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dan memamerkan proyek serta potensi kredit karbon yang ada di Hutan Indonesia.

Namun, di saat yang hampir bersamaan, banjir besar di Sumatera membuka pertanyaan serius. Sejauh mana komitmen tersebut benar-benar diterjemahkan menjadi perlindungan hutan dan keselamatan warga di tingkat tapak?

Lanskap ekosistem hutan gambut Babahrot, Aceh, yang mengalami deforestasi akibat konversi ke kebun sawit. Dok. Betahita/Istimewa

“Di Belém, Indonesia bicara soal karbon dan keberhasilan pengurangan emisi. Di rumah sendiri, Sumatera dilanda banjir besar di lanskap yang sudah lama mengalami deforestasi,” ujar Tsabit Khairul Auni, Peneliti dan Pengkampanye Hutan Forest Watch Indonesia, dalam sebuah keterangan tertulis, Sabtu (13/12/2025).

“Dalam data FWI jelas rasio tutupan hutan Sumatera tersisa 25% dan terus berkurang, kalau perlindungan dan perbaikan hutan serta DAS tidak diperkuat narasi karbon itu kehilangan integritas,” imbuhnya.

Belém juga diwarnai mobilisasi kuat masyarakat adat dan masyarakat sipil yang menuntut perlindungan hutan dan hak atas wilayah kelola mereka. Di tingkat narasi, Brasil mendorong komitmen global penguatan hak atas hutan dan lahan, termasuk target 160 juta hektare wilayah kelola masyarakat adat dan insiasi pendanaan sekitar USD1,8 miliar untuk masyarakat adat, komunitas lokal, dan keturunan Afrika.

Namun di ruang negosiasi resmi, hasil COP 30 jauh dari tuntutan tersebut. Tidak ada arah jelas untuk penghentian bertahap energi fosil (phase-out), tidak ada peta jalan tegas untuk menghentikan deforestasi, dan yang paling penting.

Selain itu, tidak ada pula keputusan konkret soal pengakuan masyarakat adat. Padahal berbagai kajian sudah menunjukkan bahwa wilayah adat yang menjadi objek kelola masyarakat adat memiliki tutupan hutan yang masih utuh dan terjaga.

“Pasca-COP, tantangannya sederhana yaitu apakah janji indonesia, terkhusus pengembalian 1,4 juta hektare hutan adat, sungguh diterjemahkan dalam kebijakan nasional?” kata Eustobio Rero Renggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Masyarakat adat, lanjut Eustobio, sudah ratusan tahun menjaga hutan. Apabila negara serius menghadapi krisis iklim, pemerintah harus mengakui mereka sebagai subjek utama pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai objek proyek karbon.

“Selama hutan lebih banyak diserahkan kepada korporasi yang mengabaikan hak mereka, tutupan hutan akan terus hilang dan kerusakan hutan akan terus terjadi, banjir besar seperti di Sumatera hanya akan jadi cerita yang berulang,” kata Eustobio.

Eustobio mengatakan, pengakuan wilayah adat dan jaminan hak tenurial dianggap bukan sekadar soal identitas atau formalitas hukum, itu adalah prasyarat konkret agar hutan tetap berdiri dan risiko bencana dapat ditekan.

Dalam konteks mencapai target penurunan emisi Pemerintah Indonesia menjadikan NEK dan pasar karbon sebagai salah satu instrumen kunci pembiayaan iklim. Namun, tanpa desain yang transparan, adil, dan selaras dengan target NDC, instrumen ini dapat melemahkan integritas iklim.

“Skema perdagangan karbon pada NEK berpotensi hanya menguntungkan korporasi dan investor besar, yang memberikan insentif perbaikan ekosistem. Padahal korporasi pelaku NEK adalah industri ekstraktif yang berdasarkan UU wajib memperbaiki ekosistem. Ini adalah bentuk impunitas terhadap perusakan,” ujar Torry Kuswardono dari Yayasan PIKUL.

Sementara itu, lanjut Torry, penurunan emisi yang diklaim hanya terjadi di atas kertas, karena skema off-set yang digadang-gadang pemerintah, malah memberi peluang bagi pengemisi untuk terus melanjutkan pembuangan gas rumah kaca ke atmosfer. Hal ini tidak sejalan dengan perlindungan hutan dan keselamatan rakyat, maka kontribusi iklim Indonesia hanya akan menjadi angka-angka di atas kertas dan melegalkan impunitas bagi para pencemar.

Tsabit menambahkan, tanpa pengaturan tegas antara baseline proyek, jalur NDC, dan batas emisi sektoral, pasar karbon berubah menjadi praktik “menjual kewajiban sendiri”, penurunan emisi yang seharusnya memenuhi NDC dijual sebagai kredit. Hutan yang seharusnya menjadi benteng banjir direduksi jadi komoditas, sementara perlindungan DAS dan masyarakat terdampak tetap tidak jadi prioritas.

Mahawan Karuniasa, akademisi dari Universitas Indonesia, menilai hasil COP 30 dan posisi NEK Indonesia hanya akan bermakna jika benar-benar diikuti penurunan emisi dan pengurangan risiko bencana di dalam negeri. Ia juga menyoroti negara-negara maju yang makin menjauh dari tanggung jawab historisnya, sementara beban krisis justru dipikul negara berkembang.

Dalam situasi ini, Indonesia perlu punya arah kebijakan iklim yang tegas dan konsisten; tanpa itu, komitmen iklim hanya akan tampak ambisius di forum internasional tetapi lemah di implementasi, dan banjir besar di Sumatera menjadi bukti bahwa keterlambatan serta ketidaktegasan kebijakan iklim segera berbayar mahal bagi masyarakat.

Diskusi ini juga menyoroti bahwa arsitektur pendanaan iklim global yang dibahas di COP 30 belum menjawab persoalan di tingkat tapak. sekitar 58% pendanaan adaptasi 2022–2023 masih berbentuk utang, sehingga aliran dana lebih banyak kembali ke negara donor lewat cicilan, bukan menguatkan kapasitas negara penerima.

Pada saat yang sama, multilateral development bank, skema dana global, dan perantara teknis menikmati fee dan margin, sementara petani kecil serta masyarakat adat/lokal justru paling sulit mengakses pendanaan dan hanya diposisikan sebagai objek proyek jangka pendek.

“Kita tidak membutuhkan janji pendanaan tanpa kepastian. Adaptasi bukan ruang untuk instrumen hutang. Kalau tripling finance didorong lewat skema yang menjerat, bukan melindungi, maka negara berkembang hanya akan menanggung ‘hutang iklim’ baru,” ucap Fiorentina Refani dari CELIOS.

Diskusi ini menyimpulkan, dalam konteks banjir Sumatera, kondisi ini tampak jelas, bahwa narasi dan komitmen pendanaan adaptasi dibicarakan di level global, tetapi tidak berwujud program adaptasi yang kuat, transparan, dan berpihak pada masyarakat. Konversi hutan di hulu terus berjalan, daya dukung daerah aliran sungai melemah, dan setiap kali curah hujan ekstrem datang, masyarakat kembali menjadi pihak yang paling banyak menanggung kerugian.