Bencana Sumatera: Korporasi Perusak Alam Harus Tanggung Jawab
Penulis : Aryo Bhawono
Krisis Iklim
Jumat, 19 Desember 2025
Editor : Yosep SUPRAYOGI
BETAHITA.ID - Penanggulangan bencana banjir besar di Sumatera perlu pendanaan berkeadilan iklim. Bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tak melulu karena faktor cuaca, melainkan efek pemanasan global dan degradasi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Makanya korporasi perusak lingkungan perlu menanggung biaya bencana ini.
Dampak iklim menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologis di Indonesia. Bencana paling parah adalah banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akibat Siklon Tropis Senyar pada 25-27 November 2025 lalu.
Penjelasan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan siklon yang sewajarnya melemah di khatulistiwa karena perputaran bumi justru berkata lain di Selat Malaka. Pada saat yang sama, suhu hangat di Selat Malaka membentuk awan hujan yang banyak.
Siklon terjebak di antara dataran tinggi Sumatera dan Semenanjung Malaysia dan berputar di sana. Sehingga mengakibatkan hujan lebat terjadi lebih dari dua atau tiga hari.
Dosen Meteorologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Armi Susandi, menjelaskan, kenaikan suhu global akan meningkatkan kandungan uap air di atmosfer, sehingga kejadian hujan ekstrem menjadi lebih sering dan lebih intens. Perubahan iklim telah mengubah sistem atmosfer dan laut, sehingga meningkatkan frekuensi serta intensitas kejadian cuaca ekstrem di Indonesia.
Kondisi ini menjadikan hujan ekstrem, angin kencang, dan siklon tropis semakin berisiko, terutama di wilayah dengan kerentanan lingkungan yang tinggi.
Sedangkan di daratan, masifnya deforestasi masif dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi pertambangan dan perkebunan mengakibatkan kian parahnya bencana.
“Curah hujan ekstrem adalah pemicu. Tetapi deforestasi, degradasi daerah aliran sungai, dan tata kelola ruang yang buruk mengubah hujan ekstrem menjadi banjir dan longsor,” ucap Armi pada diskusi “Pendanaan Penanganan Bencana di Era Krisis Iklim: Urgensi Wealth Tax sebagai Tanggung Jawab Keadilan Iklim.” yang digelar di Jakarta pada Senin (17/12/2025).
Ia menjelaskan dalam satu dekade terakhir, Sumatera telah kehilangan hampir sekitar 1,2 juta hektare tutupan hutan, terutama di wilayah hulu DAS, sehingga daya serap tanah menurun drastis dan limpasan air meningkat tajam.
Peneliti Ekonomi Lingkungan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Jaya Darmawan, menyebutkan besarnya kerugian akibat bencana tidak sebanding dengan kapasitas fiskal pemerintah dalam merespons dan memulihkan dampak bencana. Pemodelan yang dilakukan lembaganya menunjukkan banjir di Sumatera menyebabkan kerugian ekonomi materiil mencapai Rp 68,67 triliun secara nasional, sementara di Aceh sendiri terjadi penyusutan ekonomi regional sekitar 0,88 persen atau setara Rp2,04 triliun.
“Di sisi lain, ruang fiskal pemerintah untuk mitigasi dan penanganan bencana sangat terbatas dan tidak sebanding dengan skala kerugian yang terjadi,” kata Jaya.
Keterbatasan fiskal yang terjadi di Indonesia menegaskan persoalan pendanaan bencana di Indonesia bukan semata soal besaran kerugian, tetapi juga menyangkut struktur pembiayaan yang belum mampu mengaitkan sumber risiko dengan sumber pendanaan.
Peneliti Ekonomi Hijau Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Shofie Azzahrah, menyebut meningkatnya risiko bencana akibat krisis iklim di Indonesia ini tidak diimbangi dengan sistem pendanaan yang memadai dan berkelanjutan. Pendanaan bencana masih sangat bergantung pada APBN dan APBD yang ruang fiskalnya relatif terbatas. Anggaran BNPB pada 2025 hanya sekitar Rp 806,97 miliar, sementara Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana mencapai USD 2–3 miliar per tahun.
“Dalam kondisi ini, biaya sosial dan ekologis dari aktivitas ekonomi berisiko tinggi, termasuk industri energi fosil yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan bencana hidrometeorologis, justru lebih banyak ditanggung oleh masyarakat yang berada di lokasi paling terdampak,” tegasnya.
Ia menilai perlu mekanisme pendanaan berbasis prinsip polluter pays dan instrumen fiskal progresif agar pembiayaan bencana ditanggung oleh pihak yang bertanggungjawab dan tidak terus ditanggung oleh masyarakat.
Makanya kebutuhan pendanaan bencana tidak bisa lagi hanya mengandalkan struktur anggaran yang ada. Keterbatasan ruang fiskal dan meningkatnya risiko bencana menuntut adanya sumber pendanaan baru yang lebih stabil dan berkeadilan, termasuk melalui instrumen fiskal progresif yang mampu memperkuat kapasitas negara tanpa membebani masyarakat luas.
Economic Policy Officer The PRAKARSA, Ema Kurnia Aminnisa, menekankan meningkatnya frekuensi bencana berbanding terbalik dengan kapasitas fiskal negara untuk membiayai mitigasi dan penanganan bencana. Pendanaan kebencanaan dalam APBN masih jauh dari memadai dan mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah terhadap mitigasi dan penanganan bencana.
Hal ini tercermin dari merosotnya alokasi anggaran pada lembaga kunci seperti BNPB, yang pada dua tahun terakhir (2024 dan 2025) justru lebih rendah dibandingkan tahun 2015. Di tengah meningkatnya risiko dan frekuensi bencana, kebijakan anggaran ini menunjukkan rendahnya komitmen dalam penanggulangan dan penanganan bencana.
“Sebagai alternatif, penerapan pajak kekayaan menjadi solusi strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara, dengan potensi penerimaan sekitar Rp 78 triliun, sekaligus menegakkan keadilan fiskal melalui redistribusi pendapatan dari 1% kelompok terkaya di Indonesia," kata Ema.
Ketimpangan antara sumber risiko bencana dan sumber pendanaannya telah menciptakan beban yang tidak proporsional bagi masyarakat di wilayah terdampak. Penguatan pendanaan bencana yang adil dan berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak, termasuk melalui instrumen fiskal progresif yang menempatkan tanggung jawab pendanaan pada pihak yang paling diuntungkan dari aktivitas ekonomi berisiko tinggi, sekaligus memastikan perlindungan yang lebih kuat bagi masyarakat rentan di tengah krisis iklim yang kian memburuk.


Share

