Aksi Damai Masyarakat Adat Terdampak Tolak PSN Merauke
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Selasa, 23 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Gabungan masyarakat adat Papua dan aktivis lingkungan menggelar aksi di Jakarta untuk memprotes rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit dan proyek strategis nasional (PSN) tebu di Merauke, Papua Selatan. Rencana tersebut dinilai akan mendorong deforestasi besar-besaran dan bencana ekologis di masa depan.
Aksi damai tersebut digelar di depan halaman kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis, 18 Desember 2025. Para aktivis mendirikan sebuah instalasi seni berbunyi “STOP PSN” menggunakan baner dan batang tebu yang didaur ulang. Demonstran juga membentangkan baner bertuliskan antara lain “Stop PSN Merauke”; “Save Forest, Stop Sugarcane”; dan “Papua Bukan Tanah Kosong”.
Saat ini pemerintah terus membangun PSN lumbung pangan dan energi di Merauke, dengan target lebih dari 2,1 juta hektare, membentang di puluhan distrik yang ditinggali masyarakat adat secara turun-temurun. Pada 16 Desember 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan keinginan ekspansi kebun sawit tebu, dan singkong di Papua untuk ketersediaan bahan bakar minyak dan bioetanol di hadapan kepala daerah se-Tanah Papua.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Belgis Habiba mengatakan, PSN Tebu Merauke merupakan proyek deforestasi terbesar di dunia saat ini dengan potensi kerusakan ekosistem kunci yang luar biasa di ekoregion Papua bagian selatan, serta keanekaragaman hayati seperti cenderawasih kuning besar, kanguru pohon, dan kuskus.
“Kita baru saja menyaksikan besarnya dampak krisis iklim dan kerusakan ekologis terjadi di Sumatera akibat deforestasi besar-besaran yang dilakukan dalam beberapa dekade terakhir. Bencana serupa berpotensi sangat besar mengintai Papua, jika pemerintah masih bersikeras mengejar ambisi ketahanan pangan dan energi dengan cara merusak alam,” kata Belgis, Kamis, 18 Desember 2025.
Vincen Kwipalo, anggota masyarakat adat Yei yang minggu lalu telah dipanggil dan menjalani pemeriksaan sebagai pelapor atas dugaan tindak pidana perkebunan dan perampasan wilayah adat Marga Kwipalo oleh PT MNM, juga turut bergabung dalam aksi damai tersebut.
“Pemerintah bilang mau fokus ke pembangunan, tetapi mereka tidak melihat nasib masyarakat adat yang tanahnya digusur. Mau mereka ke manakan kami ini?” kata Vincen.
“Kehadiran perusahaan di kampung juga malah melahirkan konflik horizontal, tapi pemerintah tidak melihat itu toh? Pemerintah hanya mau kejar pembangunan tanpa melihat dampaknya bagi kami. Yang katanya pembangunan dari pemerintah ini justru membuat kami Masyarakat Adat menderita,” ujarnya.
Cerita Vincen dan warga Merauke yang terdampak PSN lainnya telah dirangkum dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia bertajuk “Kenyataan Pahit di Balik Janji Manis PSN Tebu Merauke” yang dirilis pekan ini.
Dalam laporan ini, Greenpeace Indonesia menemukan konsesi seluas 560.000 hektare, atau sebesar Pulau Bali, yang telah ditetapkan pemerintah untuk proyek perkebunan tebu raksasa di Merauke. Dari total luas konsesi di atas, 419.000 hektare di antaranya adalah hutan alam, sementara lahan lainnya merupakan lahan basah seluas 83.000 hektare dan sabana seluas 34.000 hektare.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Refki Saputra menyebut, proyek raksasa yang dipromosikan sebagai jalan pintas menuju swasembada gula dan energi terbarukan (bioetanol E10) ini sebagai solusi palsu.
“Mengejar pemenuhan bioetanol dari Merauke justru mendorong konversi hutan alam skala besar. Ambisi mengejar energi terbarukan malah akan meningkatkan emisi dan menggeser fokus dari perbaikan produksi gula petani," katanya.
"Singkatnya, PSN Tebu ini adalah salah satu bentuk nyata praktik kolonial politik tanah kosong di Papua yang menukar keanekaragaman hayati dan ruang hidup Masyarakat Adat demi bahan bakar nabati,” ujarnya.


Share
