Dakwaan Kriminalisasi Christian Toibo Dinilai Tak Layak

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 19 Desember 2025

Editor : Yosep SUPRAYOGI

BETAHITA.ID - Sidang perdana kriminalisasi pejuang masyarakat adat Watutau Christian Toibo akhirnya di Pengadilan Negeri Poso, Kamis (18/12/2025). Dalam sidang nomor perkara 471/Pid.B/2025/PN Pso yang dipimpin oleh Hakim Ketua Pande Tasya, itu para kuasa hukum Christian dari Pengacara Hijau Indonesia menyatakan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aleksander Rante Labi, cacat yuridis dan fundamental.

Pernyataan tersebut disampaikan para kuasa hukum Christian Toibo dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan hakim, sesaat setelah JPU membacakan surat dakwaannya. Dalam eksepsi dimaksud, Pengacara Hijau Indonesia menyatakan surat dakwaan itu disusun secara tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Unsur kesalahan (mens rea) tidak diuraikan, hubungan kausalitas diasumsikan tanpa konstruksi hukum yang sah, dan hak terdakwa untuk membela diri secara adil telah dilanggar.

“Dakwaan demikian tidak layak dijadikan dasar pemeriksaan perkara pidana dalam negara hukum,” kata Sandy Prasetya Makal, salah satu kuasa hukum Christian Toibo, dalam sebuah keterangan tertulis, Kamis (18/12/2025). Selain Sandy, tiga orang pengacara lainnya yang mendampingi Christian adalah Hilman, Parawangsa, dan Moh. Taufik D. Umar.

Pengacara Hijau Indonesia menilai bahwa dakwaan tersebut melanggar Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, sehingga berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dinyatakan batal demi hukum. Sandy bilang, eksepsi ini diajukan bukan untuk menghindari proses hukum, melainkan untuk menjaga kemurnian hukum acara pidana dan melindungi hak asasi manusia dalam peradilan.

Christian Toibo, warga yang vokal dalam aksi damai menolak klaim Badan Bank Tanah, dikriminalisasi dengan tuduhan penghasutan. Foto: Koalisi Kawal Pakurehua.

Usai pembacaan eksepsi, Sandy juga secara resmi mengajukan permohonan penangguhan/pengalihan penahanan terhadap Christian Toibo kepada majelis hakim. Permohonan tersebut dilengkapi dengan dua orang penjamin, yakni Kepala Desa Watutau, dan istri Christian Toibo. Selain itu, kuasa hukum juga melampirkan surat penjaminan dari 20 organisasi masyarakat sipil baik nasional maupun daerah, yang ditandatangani langsung oleh pimpinan masing-masing organisasi.

“Atas nama kemanusiaan, kami mengajukan penangguhan atau pengalihan penahanan terhadap Christian Toibo yang saat ini masih ditahan di Rutan Poso,” kata Sandy.

“Pak Christian Toibo bukan hanya pejuang HAM, pejuang agraria, dan tokoh masyarakat adat, tetapi juga seorang suami dan seorang ayah, yang tentu sangat berharap dapat menyambut dan merayakan Hari Raya Natal bersama keluarganya,” imbuhnya.

Majelis Hakim kemudian memutuskan untuk menunda persidangan dan menjadwalkan sidang lanjutan pada Jumat, 19 Desember 2025, dengan agenda jawaban JPU atas eksepsi kuasa hukum, dan penyampaian sikap majelis hakim atas permohonan penangguhan penahanan Christian Toibo.

Bersamaan dengan jalannya persidangan, masyarakat adat dari Desa Watutau, Maholo, dan Alitupu, bersama berbagai organisasi masyarakat sipil, di antaranya Walhi Sulawesi Tengah, dan Solidaritas Perempuan Palu, yang tergabung dalam Koalisi Kawal Pekurehua, menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Poso. Aksi tersebut menuntut pembebasan Christian Toibo dan penghentian kriminalisasi terhadap pejuang agraria dan masyarakat adat.

Massa aksi diterima langsung oleh salah satu Hakim Pengadilan Negeri Poso, Muamar Azmar Mahmud Farig, Dalam sambutannya, YM Muamar menyampaikan bahwa aspirasi masyarakat diterima dengan baik oleh PN Poso, serta menyarankan agar seluruh tuntutan dan argumentasi masyarakat diperjuangkan secara hukum melalui nota pembelaan kuasa hukum di persidangan.

Sebagai penutup aksi, Koalisi Kawal Pekurehua, yang diwakili oleh Kepala Desa Watutau, menyerahkan 232 dokumen penjaminan dari masyarakat kepada YM Muamar sebagai bentuk dukungan nyata terhadap permohonan penangguhan/pengalihan penahanan Christian Toibo.

Pengacara Hijau Indonesia menegaskan bahwa perkara ini bukan sekadar perkara pidana biasa, melainkan cermin bagaimana hukum diuji. Apakah ia berdiri untuk keadilan, atau justru menjadi alat kriminalisasi terhadap pejuang rakyat dan masyarakat adat?

“Kami menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengawal proses hukum ini secara terbuka, adil, dan beradab, serta memastikan bahwa pengadilan tetap menjadi rumah keadilan, bukan ruang penghukuman bagi mereka yang memperjuangkan hak hidup dan tanahnya. Hukum harus berdiri di sisi kemanusiaan. Keadilan tidak boleh dipenjara,” kata Sandy.