Koalisi: Nama Korporasi Perusak Hutan Sumatera Harus Dibuka
Penulis : Aryo Bhawono
Deforestasi
Senin, 22 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk membuka nama-nama perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera dan menjadi biang bencana. Ketertutupan pemerintah justru menunjukkan pembiaran perusakan hutan.
Bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada November lalu menunjukkan krisis ekologis di Sumatera bukan sekadar akibat cuaca ekstrem, melainkan hasil dari kerusakan hutan sejak lama.
Koalisi 11 organisasi masyarakat sipil, Freedom Of Information Network Indonesia (FOINI), mendesak Kementerian Kehutanan membuka nama-nama perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera.
Mereka diantaranya Indonesian Parliamentary Center (IPC), Greenpeace, Perkumpulan PUSPAHAM, PATTIRO Banten, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), KOPEL Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Transparency International Indonesia (TII), Publish What You Pay Indonesia (PWYP Indonesia), dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA).
Menurut mereka longsor, dan meluapnya sungai di berbagai wilayah tersebut telah merenggut korban jiwa, merusak pemukiman warga, melumpuhkan aktivitas ekonomi, serta memperparah kerentanan masyarakat adat dan kelompok miskin. Namun hingga hari ini, negara masih enggan mengungkap aktor korporasi yang berkontribusi terhadap degradasi kawasan hulu dan daerah tangkapan air.
“Banjir di Aceh, Sumbar, dan Sumut bukan musibah alam semata. Ia adalah akibat dari kebijakan dan pembiaran atas perusakan hutan. Menutup nama perusahaan berarti membiarkan kejahatan ekologis terus berulang,” ucap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Anggi Putra Prayoga.
Data yang mereka miliki menunjukkan Sumatera merupakan salah satu pulau dengan tingkat deforestasi dan alih fungsi hutan yang tinggi, terutama akibat ekspansi perkebunan skala besar, hutan tanaman industri, serta pertambangan. Kerusakan di kawasan hulu dan bentang alam kritis secara langsung meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir. Ironisnya, meski negara memiliki data konsesi, hasil pengawasan, dan temuan pelanggaran, informasi tentang siapa pelaku korporasi justru tetap dirahasiakan dari publik.
Ketertutupan pemerintah sendiri mencederai hak masyarakat atas informasi, mengabaikan prinsip akuntabilitas penegakan hukum, dan berpotensi melanggar UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sikap ini pun melemahkan komitmen pemerintah dalam pengendalian deforestasi, penanggulangan krisis iklim, dan pengurangan risiko bencana.
FOINI menilai, selama nama dan status hukum perusahaan perusak hutan tidak dibuka, maka banjir dan bencana ekologis akan terus berulang. Penegakan hukum hanya bersifat formalitas belaka sehingga korporasi menikmati impunitas, sementara masyarakat menanggung dampaknya. Upaya pemulihan lingkungan dan perlindungan wilayah kelola rakyat menjadi semu.
“Kami mendesak Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan agar membuka secara transparan daftar perusahaan yang terindikasi merusak hutan di Sumatera, termasuk lokasi konsesi, jenis pelanggaran, dan status penanganan hukumnya. Pemerintah harus mengaitkan penegakan hukum kehutanan dengan pencegahan bencana, khususnya di wilayah rawan banjir,” ujarnya.
Selain itu pemerintah harus menghentikan praktik pembiaran dan negosiasi tertutup dengan pelaku perusakan hutan dan melibatkan masyarakat terdampak dan publik dalam pengawasan, pemulihan hutan, serta penataan ulang tata kelola kawasan.
“Jika negara terus menutup identitas pelaku perusakan hutan, maka publik berhak bertanya: mengapa korban banjir harus terus membayar harga mahal, sementara perusahaan perusak hutan tetap dilindungi oleh kerahasiaan negara,” kata dia.
Sebelumnya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan pihaknya akan mencabut izin 22 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas satu juta hektare lebih.
Namun, Raja Juli menekankan 22 PBPH tersebut berada di seluruh Indonesia, bukan tiga provinsi di Pulau Sumatera yang terkena banjir bandang.


Share

