Masyarakat Sipil: Aktifkan Lagi Pemberantasan Korupsi Kehutanan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Selasa, 23 Desember 2025
Editor : Yosep SUPRAYOGI
BETAHITA.ID - Para tokoh dan aktivis menyatakan bencana di tiga provinsi Pulau Sumatera membuktikan kekeliruan pembangunan yang terus dibiarkan dan memakan nyawa di pelbagai wilayah Indonesia. Mereka mendesak pemerintah serius menghentikan alih fungsi hutan dan menghentikan ekspansi yang telah melampaui daya dukung lingkungan.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim mengingatkan, pembangunan di Indonesia berulang kali mengabaikan daya dukung lingkungan. Pengabaian itu menyebabkan tanah semakin dikuras selagi pohon-pohon penahan erosi terus dibabat.
“Kita tidak sedang cari siapa yang salah melainkan apa yang salah. Yang salah adalah kesalahan tata kelola lingkungan,” katanya dalam acara refleksi “Hutan Kita, Ibu Kita: Refleksi Akhir Tahun 2025” memperingati Hari Ibu, Senin (22/12/2025).
Ketua Koalisi Anti Korupsi Indonesia, Erry Riyana Hardjapamekas, mengatakan tata kelola koruptif masih dilanggengkan di Indonesia. Menurutnya, konsesi ekstraktif dan kehutanan tak diberikan begitu saja tanpa suap, apapun bentuknya.
“Becermin dari bencana Sumatra, sudah selayaknya pemerintah kembali mengaktifkan pemberantasan korupsi kehutanan seperti 15 tahun silam,” kata Erry yang juga mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Erry juga menyoal sikap pemerintah yang tak juga menetapkan status bencana nasional terhadap serangkaian katastrof di Sumatera sejak pengujung November. Sebaliknya, pemerintah malah menolak bantuan kemanusiaan dari Malaysia, perilaku yang bagi Erry menunjukkan bahwa negara ini miskin tetapi sombong.
Direktur Eksekutif Madani berkelanjutan, Nadia Hadad menyatakan aktivis lingkungan bukannya diam mendapati kerusakan masif hutan Indonesia. Nadia mengaku pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah akan bencana yang berpotensi terjadi bila perusakan hutan terus berulang.
“Namun, pengingat kami diabaikan sampai bencana memakan ribuan nyawa,” katanya.
Astronom perempuan Indonesia, Premana Wardayanti Premadi menyebutkan, bencana Sumatera dan yang lainnya adalah bentuk kelalaian manusia menjaga relasi kausalitas. Menurut Premana, hal-hal tentang Bumi kerap diukur berdasarkan pertimbangan politik sesaat.
Ia berpendapat, anggapan bahwa Bumi dapat terus menerus menyediakan kebutuhan bagi manusia, menurut Premana, adalah bentuk pemikiran yang tak logis. Padahal manusia sering lupa bahwa Bumi membutuhkan waktu untuk pulih dan teknologi tak selalu dapat diandalkan.
“Sudah selayaknya kita bergandengan tangan memulihkan satu-satunya Bumi yang kita punya,” kata Nana, sapaan akrabnya yang juga Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ahli Ekologi IPB Damayanti Buchori mengingatkan bahwa hutan menyimpan biocultural biodiversity. Di kedalaman hutan, lanjutnya, manusia dapat belajar tentang alam itu sendiri, mendapatkan sumber inspirasi sekaligus menguak rahasia kehidupan.
“Jangan pernah sederhanakan peran hutan hanya sebagai sumber devisa,” katanya.
Damayanti mengatakan, manusia menandai salah satu spesies yang memiliki jiwa di antara serangga, bakteri, virus dan jamur yang berkembang biak di atas lantai hutan.
“Orang boleh cerdas dan berkecukupan. Jangan sampai kecerdasan dan kecukupan itu tak dipadukan dengan rasa kemanusiaan,” kata Damayanti.
Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengingatkan, bencana Sumatra bukan berdiri sendiri melainkan harus dilihat dari sejarah konstitusi negara. Menurutnya, bencana terjadi karena sejumlah peraturan nasional tak dilandasi prinsip keberlanjutan, wawasan dan keadilan lingkungan.
“Absennya ketiga prinsip tersebut menunjukkan lemahnya kualitas demokrasi kita,” kata Otta, sapaannya.
Ia memberikan contoh Undang-Undang Cipta Kerja yang memudahkan investasi guna memuluskan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terbentang dari timur hingga barat Indonesia. Dengan alasan memuluskan investasi itu, aparat TNI/Polri sesuai perintah Presiden Joko Widodo membungkam suara-suara kritis atas pembangunan yang menggarap zona inti hutan.
Padahal area tersebut mestinya menjadi area yang paling terlindungi dalam kawasan konservasi. Otta mengatakan, akibat kebijakan memanjakan investor lewat UU Cipta Kerja itu, ratusan ribu warga harus menanggung dampaknya.
Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyesalkan tidak adanya aksi dini dari pemerintah setelah adanya peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Dia membandingkan kebijakan Pemerintah Filipina yang lebih tanggap dan serius menanggapi peringatan adanya cuaca ekstrem dibandingkan Pemerintah Indonesia. Menurutnya, kebijakan pemerintah Filipina yang tanggap dan serius ternyata berdampak pada sedikitnya jumlah korban akibat badai dibandingkan Indonesia.
Leonard juga mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah yang menggadang-gadang pertumbuhan ekonomi 8 persen. Bagi Leonard, kebijakan ekonomi yang mendukung pertumbuhan ekonomi adalah suatu hal yang mustahil.
“Bila pemerintah memaksakan level ekonomi sebesar itu, sudah terbayang seperti apa rusaknya Sumatra,” katanya.
Head of Peusangan Elephant Conservation Initiative WWF Indonesia, Robi Royana, mempertanyakan pendampingan yang tak memadai bagi masyarakat di hulu daerah aliran sungai, wilayah yang porak-poranda dalam bencana Sumatra pada akhir November 2025.
“Pendampingan yang memadai dapat memastikan masyarakat dapat mengelola hutan dengan baik, menjaga keselamatan sekaligus melestarikan kearifan tradisional,” katanya.
Krisis iklim yang terjadi saat ini adalah beban bagi generasi muda saat ini. Generasi muda mendatang yang akan memikul konsekuensi dari setiap keputusan yang merusak hutan. Mewakili generasi muda, Koordinator Climate Rangers, Ginanjar Ariyasuta, menyatakan keprihatinan bertumbuh di Bumi yang baginya tak lagi layak untuk hidup.
“Bapak dan ibu tidak cuma mewariskan bencana ekologi bagi kami, melainkan juga rasa aman dan percaya diri. Kami dipaksa mewarisi itu semua,” katanya.
Terhadap warisan kerusakan ekologi bagi generasi muda, anggota Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat sekaligus perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Giat Perwangsa menuntut pemerintah serius berkomitmen memulihkan hutan.
“Jangan mudah terbitkan izin ekstraktif dan tanaman industri. Kemudahan pemberian izin usaha berbasis kehutanan hanya memperdalam rasa ketidakadilan” kata Giat.
Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Sita Soepomo, sepakat dengan pernyataan Giat. Ia mengatakan bencana Sumatera merupakan bukti berulangnya ketidakadilan, khususnya bagi kelompok rentan. Ketidakadilan terjadi selagi kelompok rentan, termasuk Masyarakat Adat, perempuan dan penyandang disabilitas hanya dijadikan pelengkap dalam berbagai agenda kebijakan.
“Kelompok rentan bukan token melainkan fondasi penting dalam menjaga kehidupan di tengah krisis iklim,” katanya.
Kegiatan refleksi ditutup dengan pernyataan sikap yang ditandatangani oleh lebih dari 50 perwakilan masyarakat sipil dan individu. Dalam pernyataan sikap, Koalisi JustCOP mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional guna memastikan penanganan yang cepat, terkoordinasi, dan memadai. Koalisi masyarakat sipil ini juga menuntut penghentian alih fungsi kawasan hutan dan menghentikan ekspansi yang telah melampaui daya dukung lingkungan.
Selain itu mereka menuntut audit menyeluruh dan transparan atas semua perizinan berbasis lahan dan ekstraktif di Sumatera serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan. Koalisi JustCOP juga mendesak pelaksanaan mitigasi risiko yang nyata sebagai tindak lanjut peringatan dini, termasuk evakuasi dini, pelindungan kelompok rentan, dan pengelolaan DAS berbasis sains.
Dalam tuntutannya, mereka juga mendesak pemerintah mencabut UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang memudahkan perampasan ruang hidup masyarakat, memusatkan kewenangan perizinan, memicu konflik serta kriminalisasi atas penolak proyek-proyek negara yang bermasalah, melemahkan pelindungan terhadap buruh dan menyempitkan ruang demokrasi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Oleh karenanya, menjadi krusial bagi DPR dan pemerintah segera membuat perubahan mendasar UU Kehutanan serta mengesahkan RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat yang berpihak pada keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan.


Share

