Pengadilan Swiss Buka Pintu untuk Gugatan Iklim Warga Pulau Pari
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Iklim
Sabtu, 27 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kabar baik dan bersejarah datang dari Swiss. Pengadilan Kanton Zug, Swiss, untuk pertama kalinya menyatakan bahwa gugatan iklim terhadap perusahaan besar dapat diterima. Pengadilan tersebut mengabulkan seluruh permohonan dalam gugatan yang diajukan oleh empat nelayan Indonesia terhadap perusahaan semen multinasional asal Swiss, Holcim.
Menurut kelompok masyarakat sipil putusan ini membuka jalan untuk pemeriksaan ke pokok perkara. Keputusan yang diumumkan pada 22 Desember 2025 ini menjadi keberhasilan sementara bagi para penggugat dan upaya penegakan keadilan iklim. Para nelayan menuntut kompensasi dari Holcim atas dampak perubahan iklim yang mereka alami, dukungan pendanaan untuk perlindungan banjir, serta penurunan emisi CO2 secara cepat.
Gugatan iklim empat warga Pulau Pari, Indonesia, yakni Asmania, Arif, Edi, dan Bobby, diajukan pada akhir Januari 2023. Sidang pertama digelar sejak awal September 2024. Dalam putusannya kemarin, Pengadilan Kanton Zug menolak seluruh keberatan prosedural Holcim dan menyatakan bahwa gugatan tersebut dapat diterima secara penuh. Pengadilan menilai para penggugat berhak memperoleh perlindungan hukum karena perubahan iklim berdampak langsung terhadap kehidupan dan mata pencaharian mereka.
“Kami sangat bersyukur. Keputusan ini memberi kami kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Ini kabar baik bagi kami dan keluarga kami,” kata Asmania, salah satu penggugat dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, dalam sebuah keterangan tertulis, Selasa (23/12/2025).
Pulau Pari, tempat tinggal keempat nelayan tersebut, dalam beberapa tahun terakhir sering dilanda banjir rob yang disebabkan oleh perubahan iklim. Holcim menjadi salah satu perusahaan yang telah berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim global melalui emisi karbon dalam jumlah besar dan terus menerus.
Pengadilan Kanton Zug, Swiss menolak argumen Holcim yang menyatakan bahwa isu perlindungan iklim seharusnya diselesaikan melalui proses politik, bukan melalui pengadilan. Tapi menurut majelis hakim, “putusan pengadilan tidak menggantikan kebijakan iklim pemerintah, tetapi melengkapinya.”
Perkara ini dinilai bukan menyangkut kebijakan iklim Swiss secara umum, melainkan tuntutan konkret masyarakat Pulau Pari. Pengadilan menyatakan kepentingan para penggugat agar Holcim menurunkan emisinya adalah bersifat “mendesak dan relevan.” Dengan demikian, keempat penggugat dinyatakan berhak untuk membawa perkara ini ke pengadilan.
Pengadilan juga menolak dalih bahwa Pulau Pari akan tenggelam apa pun yang terjadi. Majelis hakim menegaskan bahwa “setiap upaya pengurangan emisi tetap penting dalam menghadapi perubahan iklim.” Argumen bahwa pengurangan emisi Holcim dapat digantikan oleh peningkatan emisi dari perusahaan lain juga tidak diterima. Pengadilan pun menegaskan bahwa “perilaku yang merugikan tidak bisa dibenarkan hanya karena banyak pihak lain melakukan hal yang sama.”
Putusan ini membawa para penggugat lebih dekat pada tujuan mereka, yakni memperoleh perlindungan bagi masa depan pulau tempat tinggal dan keberlanjutan hidup mereka. Serta menegaskan pentingnya mendorong pembagian beban perubahan iklim yang adil, di mana pihak-pihak yang bertanggung jawab atas krisis iklim harus menanggung biayanya, bukan memaksa masyarakat yang terdampak menerima dampaknya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, yang mendampingi perjuangan warg Pulau Pari, menilai putusan dismisal ini menjadi preseden penting bagi korban krisis iklim dan gerakan iklim global. Selain itu Pengadilan Kanton Zug, Swiss juga menegaskan bahwa setiap orang memiliki perlindungan hukum karena krisis iklim yang dialami oleh mereka, melalui gugatan.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan, secara garis besar putusan tersebut mengukuhkan dan menegaskan peran pengadilan dalam dampak krisis iklim. Putusan ini dalam konteks global menjadi preseden untuk menarik dan menuntut pertanggung-jawaban korporasi besar yang berkontribusi terhadap krisis iklim.
“Putusan baik ini datang di tengah situasi buruk bencana ekologis dan iklim yang menimpa Sumatera. Kita punya preseden baru untuk membawa korporasi-korporasi besar yang menjadi emitor besar, menuntut pertanggungjawaban mereka atas krisis iklim yang menyebabkan bencana iklim yang terjadi,” kata Boy.
Boy mengatakan, meski menjadi putusan pertama di Swiss yang menerima gugatan iklim terhadap perusahaan besar, keputusan Pengadilan Kanton Zug ini dinilai sejalan dengan perkembangan hukum internasional. Pengadilan di berbagai negara semakin mengakui perubahan iklim sebagai isu hukum, dan perusahaan besar penghasil emisi gas rumah kaca mulai dimintai pertanggung-jawaban.
Boy bilang, putusan ini belum bersifat final dan masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Kanton Zug, Swiss. Namun, keputusan ini memperkuat tren global dan mempersempit ruang bagi perusahaan besar untuk menghindari tanggung jawab iklim melalui celah prosedural.
Kasus ini didukung oleh Walhi, Swiss Church Aid (HEKS/EPER), European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), yang mendorong prinsip bahwa pihak-pihak penyebab krisis iklim juga harus menanggung dampaknya.


Share

