Intimidasi Polisi pada Diskusi Buku Pembangunan dan Perempuan
Penulis : Kennial Laia
HAM
Jumat, 26 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebuah acara diskusi buku di Yogyakarta–yang mengkritisi watak pembangunan yang kerap meminggirkan kaum marjinal dan perempuan–mengalami inditimidasi dari kepolisian setempat.
Diskusi buku “Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Kampung Kami” yang diterbitkan Konde.co bersama Marjin Kiri, Senin, 22 Desember 2025, tersebut didatangi aparat kepolisian dua kali–sebelum dan selama acara berlangsung.
Menurut Pemimpin Redaksi Konde.co dan editor buku, Luviana Ariyanti, sejumlah polisi mendatangi lokasi acara pada sore hari sebelum diskusi dimulai. Mereka mempertanyakan surat izin keramaian pada penyelenggara acara.
“Aparat menyatakan bahwa kegiatan diskusi buku yang diselenggarakan wajib mengantongi izin atau setidaknya menginformasikan kegiatan tersebut kepada kepolisian. Polisi kemudian tetap berada di lokasi dan mengawasi jalannya diskusi hingga acara selesai pada malam hari,” kata Luviana, Rabu, 24 Desember 2025.
Menurut Luviana, permintaan izin keramaian itu tidak memiliki dasar hukum. Pasalnya, undang-undang menjamin kebebasan warga untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Adapun hak setiap warga untuk berkomunikasi, mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi juga dijamin oleh konstitusi.
“Diskusi buku sebagai forum berbagi pengetahuan dan pengalaman merupakan perwujudan langsung dari hak-hak konstitusional tersebut,” kata Luviana.
Menurut Luviana, kehadiran aparat kepolisian yang terus berada di lokasi dengan tujuan mengawasi jalannya diskusi hingga selesai menunjukkan praktik pengawasan berlebihan terhadap kegiatan diskusi dan kebebasan berekspresi.
“Kami memandang tindakan ini sebagai bentuk intimidasi yang tidak seharusnya terjadi di era pascareformasi, ketika kebebasan berpikir, berdiskusi, dan berbagi ekspresi seharusnya dilindungi oleh negara,” katanya.
Diskusi berlangsung hingga selesai sesuai rencana, namun kehadiran aparat kepolisian sepanjang acara telah menciptakan rasa takut dan ketidakamanan psikologis bagi penyelenggara dan peserta diskusi, kata Luviana.
“Intimidasi semacam ini berbahaya karena menormalisasi gagasan bahwa kegiatan berpikir kritis, membaca, dan berdiskusi harus berada di bawah pengawasan aparat negara,” katanya.
Buku “Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Kampung Kami” (2025) yang diterbitkan oleh Konde.co bersama Marjin Kiri dan Trend Asia memotret pengalaman perempuan di berbagai wilayah Indonesia yang terdampak pembangunan nirpartisipatif. Buku tersebut mencatat pembangunan yang seringkali melibatkan penggusuran dan perampasan ruang hidup, menjadikan masyarakat—terutama perempuan—sebagai korban.
Di tengah pembangunan Ibu Kota Nusantara, Proyek Strategi Nasional, krisis iklim, dan ekspansi ekstraktif korporasi, buku ini merekam cerita perempuan yang bertahan dari kebun dan ladang yang tersisa, dari rumah-rumah yang terancam digusur dan ditenggelamkan.
Luviana menilai, pengawasan aparat terhadap diskusi buku bukan hanya keliru secara administratif, melainkan bagian dari pola pembungkaman terhadap pengetahuan kritis yang lahir dari pengalaman perempuan akar rumput.
“Kami menolak segala bentuk intimidasi dan pengawasan berlebihan di ruang diskusi. Negara seharusnya menjamin ruang aman bagi pertukaran gagasan, bukan justru mempersempitnya,” kata Luviana.
“Jika praktik ini dibiarkan, ia akan menciptakan preseden berbahaya yang menggerogoti demokrasi, kebebasan akademik, dan hak warga untuk berpikir serta bersuara secara merdeka,” ujarnya.


Share

