Catatan 2025 YLBHI: Demokrasi Dirusak, Perlawanan Terus Menyala

Penulis : Kennial Laia

Hukum

Senin, 29 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meluncurkan catatan akhir tahun 2025, yang mencatat berbagai pelanggaran, mulai dari hak asasi manusia, pengelolaan sumber daya alam, dan penyempitan ruang demokrasi. Banyak pelanggaran terjadi, namun organisasi tersebut menilai harapan dan solidaritas terus menyala untuk melawan represi. 

Laporan tersebut merilis tiga kategori pelanggaran, termasuk 187 kasus di sektor hak sipil dan politik (hak atas keamanan dan integritas pribadi); 250 kasus di sektor hak ekonomi sosial dan budaya (hak kepemilikan); dan 146 kasus di sektor perlindungan kelompok khusus (hak atas bantuan hukum). 

Selama satu tahun terakhir, YLBHI juga menangani 3.035 kasus yang menjangkau 131.199 penerima manfaat di 18 provinsi. Di antaranya terdapat 508 kasus dengan advokasi langsung dan 2.505 kasus dengan layanan konsultasi hukum. 

“Laporan ini memotret situasi dan pola pelanggaran HAM, pengkhianatan atas negara hukum dan demokrasi. Situasi-situasi ini dipertontonkan secara lancang oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran di sejumlah sektor,” kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur, Rabu, 24 Desember 2025. 

Ruang sipil dan demokrasi dalam ancaman

Direktur YLBHI Muhamad Isnur saat peluncuran Catatan Akhir Tahun 2025 di Jakarta, Senin, 22 Desember 2025. Dok. Istimewa

YLBHI mencatat, ancaman demokrasi terlihat dari sejumlah pola yang terjadi sepanjang 2025. Di antaranya serangan terhadap aktivis dan pembela HAM, pembungkaman pers dan aktivitas kesenian, partisipasi dalam perumusan undang-undang diabaikan, penangkapan dan kekerasan massal terhadap demonstran. 

“Pola-pola penyempitan ruang sipil ini juga diperberat oleh ancaman pemidanaan serta kriminalisasi,” kata Isnur. 

Penyempitan ruang sipil dan demokrasi tersebut diiringi dengan menguatnya militerisme, kata Isnur. YLBHI menyebutnya dengan “pandemi militer”, di mana multifungsi TNI dihidupkan kembali melalui revisi Undang-Undang TNI. 

Hal ini berimbas pada keterlibatan militer dalam urusan sipil seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), Food Estate di Merauke, dan Makan Bergizi Gratis. Prajurit TNI juga menempati berbagai posisi strategis, termasuk jabatan direktur utama Bulog, PT Agrinas, dan PT Timah. 

“Sektor ini merupakan salah satu kemunduran yang paling signifikan. Alih-alih berfokus pada pertahanan negara, TNI justru semakin terlibat dalam ruang politik, pemerintahan, bahkan bisnis,” kata Isnur. 

Penggusuran lahan di sektor SDA 

Delapan tahun terakhir, YLBHI dan 18 Kantor LBH menangani 106 konflik agraria dengan skala luasan konflik sebesar 843.000 hektare lahan terdampak. Kasus-kasus ini berimbas pada 91.938 jiwa yang menjadi korban dan 40 kasus kriminalisasi.  

Dari 106 konflik, 40 diantaranya berada pada dua sektor yakni PSN dan perkebunan. “Pengerahan aparat keamanan dalam ranah sipil digunakan untuk melancarkan PSN yang kerap berujung pada perampasan tanah dan pelanggaran HAM,” kata Isnur. 

YLBHI mencatat, terdapat sejumlah regulasi yang mempermudah pengadaan lahan untuk berbagai proyek pemerintah. Seringkali hal ini dilakukan dengan intimidasi dan kekerasan, seperti ancaman terhadap masyarakat adat Malind di Merauke dan kekerasan terhadap warga Rempang Eco City. Adapun revisi undang-undang Minerba melalui Pasal 17A berpotensi melegalkan penggusuran pemukiman dan lahan pertanian demi kepentingan tambang.

Negara berupaya mengubur dosa pelanggar HAM

YLBHI menilai terdapat upaya sistematis dari negara yang berusaha mengaburkan sejarah pelanggaran HAM berat di Indonesia. Hal ini ditangai dengan pernyataan menteri yang menyangkal Tragedi Mei 1998, serta tekanan terhadap Komnas HAM agar tidak membahas kasus Bumi Flora dan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. 

Selain itu, pemerintahan Prabowo Subianto juga mengalungkan gelar pahlawan kepada mantan presiden Soeharto. Isnur menilai, hal ini bertentangan dengan dasar hukum, termasuk TAP MPR XI Tahun 1998 dan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan negara selama berkuasa. 

Pemangkasan anggaran 

YLBHI turut menggarisbawahi pemangkasan anggaran secara drastis terhadap sejumlah institusi yang menopang jalannya pengawasan aspek demokrasi dan HAM. Di antaranya Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Yudisial. 

“Hal ini kontras dengan anggaran mega besar terhadap sektor keamanan seperti TNI dan Polri,” kata Isnur. 

Harapan yang terus menyala

Di tengah masifnya perusakan negara hukum, demokrasi, dan HAM, YLBHI menilai harapan justru terus menyala sebagai antitesis atas kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya. “Harapan itu hidup dalam menguatnya gerakan rakyat yang tumbuh dari bawah,” kata Isnur. 

“Pengurus YLBHI menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh inisiatif kolektif yang lahir dari solidaritas—warga bantu warga di tengah bencana, aksi saling jaga, dan berbagai bentuk perlawanan serta soliditas lainnya,” katanya. 

“Kami tegaskan, seberapa pun negara meruntuhkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan HAM, kami bersama gerakan rakyat akan terus berdiri bersama: tegak, melawan, dan selalu menentang kekuasaan yang pongah,” ujar Isnur.