Pakar: Perlawanan Karhutla, Perkosa Gambut Atas Nama Ekohidrologi

Penulis : Redaksi Betahita

Karhutla

Senin, 06 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Beberapa kota di Sumatera dalam beberapa hari terakhir mulai dilanda kabut asap, namun belum mengganggu jarak pandang sekitar 3 sampai 10km. Lahan dan hutan kembali terbakar di musim pertengahan panas 2018. Sementara itu, Indonesia sedang menyiapkan Asian Games yang akan dihadiri banyak negara.

Terpantau saat ini Provinsi Jambi mencata hanpir seminggu terakhir ada 168 hektare lahan maupun hutan yang terbakar di beberapa kabupaten. Dari 168 hektare lahan di Jambi yang terbakar, 23 persennya adalah lahan gambut, sedangkan hutan seluas 49 hektare ikut terbakar sampai saat ini.

DR Elviriadi MSi, selaku pakar lingkungan mengatakan, saat memasuki musim kemarau, gambut yang terdegradasi di wilayah Sumatera dan Kalimantan rawan terbakar. Sehingga dapat mengganggu keberlangsungan kegiatan Asian Games.

“Sebagai negara yang berbasis sumber daya alam dan lahan, Indonesia terlanjut membangun tanpa konsep pemikiran yang utuh. Akibatnya, seperti yang sering saya bilang, kita membangun sambil merobohkan,” Ungkap Elviriadi dalam analisis.

Kabut asap terlihat dari jalan di Sumatera Selatan pada karhutla 2015.

Dampak hilir yang mencolok pada zaman now, adanya kebakaran hutan dan lahan yang mempertaruhkan martabat bangsa di Asian Games 2018.

Menurutnya, perlawanan asap itu hanya bagian ketiga, ketika dua syarat sebelumnya terpenuhi. Pertama luluh lantakkan hutan (deforestisasi sistematis) sehingga lahan terpapar sinar matahari, Kedua adalah habisi satwa (biodiversitas), vegetasi tersisa dan ‘perkosa’ gambut atas nama ekohidrologi.

Elviriadi menambahkan, sekarang sudah ada regulasi melindungi gambut, peraturan buka lahan, Peraturan Pemerintah no 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, moratorium dan upaya upaya KLHK lainnya. Namun dalam kenyataannya, semua regulasi tersebut selalu kandas dan patah arang.

Kebijakan pemerintah yang tidak efektif itu, terjadi karena belum ada narasi intelektual yang kuat. Untuk mengevaluasi dan memberikan input fundamental, pemerintah perlu pollitical pressure dari kaum cendikiawan yang objektif. Istilah kerennya, schoolar-aktivis.

Saat ini ia menilai, komitmen positif KLHK untuk memulihkan gambut dan ekosistem tidak ditopang oleh sistem pemerintahan secara keseluruhan, termasuk dari DPR RI. Oleh sebab itu, Menteri Siti Nurbaya mulai goyah, tekanan kuat tapi pijakan kaki rapuh.

Sebagai solusi, evaluasi mendasar dan menyeluruh terhadap pemanfaatan lingkungan hidup harus dilakukan.

“Contohnya, kebijakan land swap (ganti lahan) itu, kan solusinya kontroversial juga. Ibarat orang obesitas, kalau gonta ganti obat takkan manjur. Yang diperlukan perubahan prilaku, pengendalian nafsu makan, dan perbaikan orientasi hidup,” ungakpnya.