Tarik Ulur DMO, Berdampak Tarif Listrik Naik?

Penulis : Redaksi Betahita

Tambang

Kamis, 02 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo memutuskan kebijakan kewajiban pasokan batu bara dalam negeri, Domestic Market Obligation (DMO) tetap berlaku. Hal ini disampaikan seusai menghadiri rapat kabinet Selasa, (31/7) di Istana Bogor.

Menteri Jonan mengatakan, sebagaimana dimandatkan UU Minerba 2009 bahwa pemerintah tetap memberlakukan harga batu bara DMO sebesar US$ 70/ton.

Pemerintah sebelumnya mempertimbangkan untuk merevisi kewajiban pasokan batu bara dalam negeri sebesar 25 persen untuk pembangkit listrik. Hal ini bertujuan untuk mendorong penerimaan negara karena batu bara menjadi penopang terbesar penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Penyerapan batu bara dalam negeri mencapai 53,45 juta ton hingga akhir Juni kemarin. Dari jumlah tersebut sebanyak 41,41 juta ton batu bara diserap oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Alokasi batu bara DMO tahun ini mencapai 114 juta ton. Kuota ini mayoritas untuk pembangkit listrik. Sisanya antara lain untuk industri pupuk dan semen.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT Exploitasi Energy Indonesia (EEI) Kumai yang berinvestasi di Kobar tidak maksimal dan semakin sulit diandalkan./ foto Raden

Kuota DMO 114 juta ton itu merupakan kewajiban pelaku usaha untuk menyisihkan 25 persen dari jumlah produksi. Adapun target produksi tahun ini mencapai 485 juta ton. Pada 2017 kemarin, alokasi DMO mencapai 121 juta ton.

Namun, realisasinya hingga akhir 2017 hanya 97 juta ton. Dari jumlah target produksi tahun ini sebanyak 75 persen batu bara yang dihasilkan diperuntukan ekspor. Tercatat hingga akhir Juni kemarin volume ekspor batu bara mencapai 94,68 juta ton.

Sejak Maret lalu, harga khusus batu bara DMO dipatok US$ 70 per ton, padahal Harga Batubara Acuan (HBA) mencapai US$ 96,61 ton pada Juni 2018 dan naik 8,3 persen pada Juli 2018 menjadi sebesar US$ 104,65/ton.

Pengusaha kehilangan potensi penerimaan dari naiknya harga batu bara karena diminta memenuhi kuota DMO. Pemerintah mengatakan akan mempertimbangkan merevisi kebijakan DMO, tetapi pada hari ini Presiden Joko Widodo memutuskan kebijakan tersebut tidak berubah.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), menilai dengan pencabutan DMO batu bara tentu akan merugikan PLN. Dengan kata lain, kebijakan ini akan berdampak pada kenaikan tarif listrik.

“Ini berkah juga dari batu bara karena kita mendapatkan listrik murah ya kan. Jadi berkah ini secara besar untuk masyarakat. Masyarakat ini siapa? Kita juga tentunya. Kami juga pengusaha batu bara yang bergerak di batu bara sangat berkepentingan ingin listrik murah sama kayak rakyat juga tak mau listrik mahal,” ungkapnya dalam diskusi media Tarik Ulur Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Batubara, Rabu (1/8) di Jakarta.

Menurut Hendra, di tengah situasi ini pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengurangi dampak dari rencana pencabutan DMO. “Kalau berbicara berkah berarti bagaimana kebijakan itu bisa memberi berkah bagi semuanya, kan sebenernya itu ya,” tuturnya.

Saat ini pemerintah masih mengkaji pencabutan harga batu bara dengan mempertimbangkan potensi peningkatan pendapatan negara dari kegiatan pertambangan batu bara. Sebab, dengan harga batu bara yang tengah tinggi, sumbangan ekspor sektor ini cukup signifikan pada penerimaan negara.

“Mungkin karena berkah dari harga komoditas tadi ternyata tidak bisa dinikmati semuanya, ada yang diuntungkan ada yang dirugikan,” jelasnya.

Rizky Ananda Rizky, Peneliti Publish What You Pay (PWYP) mengatakan kebijakan DMO hanya akan menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar US$ 3,68 miliar. Perhitungan besaran potensi kerugian berasal dari asumsi bertambahnya beban PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang bisa terjadi, apabila kebijakan DMO batu bara dicabut.

Sementara Bank Indonesia (BI) pernah mengungkapkan prediksinya mengenai defisit neraca pembayaran sepanjang tahun ini bisa mencapai US$ 25 miliar. Apabila dibandingkan dengan prediksi BI tersebut, asumsi penyelamatan keuangan negara dari bertambahnya beban PLN, masih sangat kecil.

Menurutnya, apabila pemerintah ingin menaikkan penerimaan negara dari batu bara, bukan hanya dilakukan dengan jalan memberi izin baru atau membuka pintu ekspor. “Tata kelola industri batubara, termasuk sistem penerimaan negaranya yang harus diperbaiki,” ungkapnya.

Rizky menyebut data Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia tahun 2016, yang menunjukkan dari ribuan perusahaan tambang batu bara, belum semuanya membayarkan setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Pertanyaannya, bagaimana bisa ribuan IUP Minerba yang ada di Indonesia, ternyata hanya menyumbang PNBP tak lebih dari 6%?,” kata Rizky.