Listrik Sampah Sehatkah?

Penulis : Redaksi Betahita

Energi

Selasa, 07 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pemerintah Indonesia sedang serius menangani sampah yang bertebaran. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia adakan pertemuan kerja sama dengan pemerintah Jepang, menyelenggarakan pertemuan kerjasama dalam pembangunan fasilitas pengolah sampah menjadi energi di Hotel Pullman Jakarta, Senin (6/8) lalu.

Pertemuan tersebut guna mempercepat pembangunan proyek infrastruktur energi asal sampah. Teknologi Pembangkit Listrik Asal Sampah (PLTSa) telah berhasil diterapkan diberbagai negara di dunia termasuk Jepang. Jepang sendiri telah menbangun PLTSa lebih dari 1000 pembangkit. Hal ini menjadi alasan Pemerintah Jepang merangkul Pemerintah Indonesia.

Ridwan Djamaluddin, Deputi Koordinasi Bidang Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengatakan bahwa pertemuan ini telah menunjukan kemajuan yang berarti. “Kami berharap impelementasinya dapat dilakukan segera, kalau ada kekurangan atau penyesuaian administratif akan disesuaikan,” kata Ridwan dalam siaran persnya.

Menurutnya, progres proyek PLTSa yang paling maju ada di Provinsi DKI yang ditandai dengan ground breaking di kawasan Sunter pada bulan Mei yang lalu. “Saat ini yang akan kita kejar untuk Legok Nangka di Jawa Barat,” kata Ridwan.

Optimistis proyek ini akan berjalan meskipun waktu menuju ke tahap konstruksi masih cukup membutuhkan waktu. Namun menurutnya kepastian berjalannya proyek ini sudah terlihat. Sebagai informasi pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan Proyek PLTSa juga masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN).

Pemerintah juga telah menambah proyek PLTSa di 8 kota menjadi 12 kota dalam Perpres tersebut. Adapun 12 kota yang dimaksud antara lain, DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.

Dikutip melalui Mongabay, David Sutasurya, dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi juga memberikan pandangan. Dia mengatakan, jika PLTSa tetap jalan pemerintah daerah harus membayar tipping fee pengelolaan sampah sangat mahal. Tipping fee ini, katanya, bisa jadi jebakan fiskal jangka panjang bagi pemerintah daerah. Mengapa? Pemerintah daerah, katanya, bakal sulit memenuhi pembiayaan pengangkutan sampah.

Menurut David, pemerintah pusat bantu pemerintah daerah mencukupi biaya penanganan seperti pemilahan, pengumpulan dan pengolahan sampah, juga pembiayaan aspek pengurangan sampah. Dalam judul Perpres baru, menekankan PLTSa ramah lingkungan, padahal, masyarakat justru dirugikan karena tak ada jaminan keselamatan, dan kesehatan serta keberlanjutan lingkungan dalam perpres itu.

Fokus perpres, katanya, semata-mata berkisar penghasilan energi dan keuntungan ekonomi. Masalah lain, regulasi turunan UU No. 18/2008 lambat keluar, salah satu peraturan pelaksana tentang pengelolaan sampah spesifik. Sebaliknya, pemerintah dengan cepat menerbitkan regulasi proyek percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah jadi energi listrik.

David mengatakan, ekstraksi energi sampah, seharusnya jadi upaya terakhir dalam hierarki pengelolaan sampah sebelum pembatasan timbulan, guna ulang dan daur ulang sampah.

“Pembakaran tak sempurna pada sampah menghasilkan senyawa kimia berbahaya bersifat karsinogenik, yakni dioksin yang bersifat persisten dan terakumulasi secara biologi. Ini bisa meningkatkan risiko kena kanker dan efek lain terhadap binatang dan manusia,” Ungkap David.

Dia jabarkan lagi, dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 70/2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengelolaan Sampah Secara Termal, pemeriksaan dioksin hanya wajib lima tahun sekali karena tak ada fasilitas laboratorium memadai di Indonesia.

Pada lampiran Peraturan Menteri LHK Nomor 19/2017 tentang Baku Mutu Usaha atau Industri Semen, hanya mewajibkan pemeriksaan dioksin empat tahun sekali pada industri semen yang menggunakan teknologi RDF dari bahan sampah rumah tangga atau sejenis.

David bilang, standar lingkungan Indonesia ini jauh lebih rendah dan longgar dari standar berlaku internasional. “Kita patut bertanya, apakah aturan baku mutu emisi ini dibuat untuk melindungi masyarakat atau sekadar melegalkan proyek ini?” katanya

Dia mengingatkan, sekitar 70% hasil pembakaran sampah berupa fly ash dan bottom ash (FABA) bersifat B3, mengandung dioxins dan furans (kimia UPOPs). Abu ini, katanya, harus dikelola di TPA B3. Daerah yang akan membangun PLTSa wajib membangun TPA B3, dan terkelola profesional serta berbiaya tinggi

Sebelumnya, Mongabay menghubungi Andy Noorsaman Sommeng, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan KESDM. Dia mengatakan, dalam pemanfaatan sampah kota untuk kelistrikan masih terkendala persepsi pemerintah daerah.

Pemda, katanya, kadang beranggapan sampah kota merupakan sumber daya jika dimanfaatkan sebagai listrik. Dengan begitu, sampah jadi listrik harus dibeli pengembang pembangkit. Soal dampak, katanya, memang harus ada kajian mendalam terlebih jika porsi listrik juga relatif kecil.