Hutan dan Lahan Provinsi Riau Rawan Karhutla

Penulis : Redaksi Betahita

Karhutla

Senin, 13 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, mengatakan sebagian besar wilayah hutan dan lahan Provinsi Riau saat ini dalam keadaan mudah terbakar menyusul penurunan curah hujan dalam sepekan terakhir.

“Perkiraan BMKG potensi terjadinya Karhutla mudah terbakar di sebagian besar wilayah Riau. Ini yang mesti diantisipasi,” kata Bibin, Analis BMKG Pekanbaru seperti dilansir Antara di Pekanbaru, Senin (13/4).

Menurut Bibin, potensi kebakaran hutan dan lahan perlu diwaspadai di bagian barat, utara, dan selatan Provinsi Riau. Dari 12 kabupaten dan kota di Riau, hanya Kabupaten Indragiri Hilir yang dinilai aman.

Potensi kebakaran hutan dan lahan, jelasnya, terlihat dari kemunculan titik-titik panas di sebagian wilayah Riau sejak akhir pekan kemarin. Hari ini, ia mengatakan, terdeteksi 19 titik panas yang menyebar di Kabupaten Rokan Hilir (delapan titik), Bengkalis (enam titik), Siak (empat titik) dan Rokan Hulu (satu titik).

Ilustrasi kebakaran lahan dan hutan

Dari 19 titik panas tersebut, Bibin mengatakan 12 titik lainnya dipastikan sebagai titik api, yang merupakan indikasi kuat kebakaran hutan dan lahan dengan tingkat kepercayaan di atas 70 persen. “Empat titik api masing-masing merata di Bengkalis, Rokan Hilir dan Siak,” ujarnya.

Keberadaan titik panas pertama kali mulai terdeteksi pada 11 Agustus di wilayah Riau (44 titik) dan bertambah menjadi 55 titik pada 12 Agustus.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat kebakaran melanda lahan seluas 2.635 hektare di Bumi Lancang Kuning sepanjang Januari hingga pertama Agustus.

Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Riau Jim Gafur mengatakan dalam beberapa hari terakhir terjadi kebakaran lahan di sejumlah lokasi di Kabupaten Bengkalis, Meranti, Kota Dumai, Rokan Hilir hingga Pelalawan. “Kebakaran terluas terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti mencapai 938,31 hektare,” tuturnya.

Pakar Lingkungan DR Elviriadi MSi  menyoroti masalah kebakaran hutan dan lahan. Menurutnya, hakikat persoalan Karhutla yang berlarut-larut di Indonesia terletak pada ingatan sejarah Deforestasi yang mengawalinya.

Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambi kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Jadi, tambah Elviriadi, sibuk memadamkan api itu salah-salah bisa menyesatkan.

Ia menghimbau publik jangan melupakan sejarah peluluh lantakan hutan Riau sejak Orde Baru yang bermuara pada fenomena kebakaran lahan gambut.

“Sekarang orang sibuk teriak Kebakaran lahan, mereka lupa sejarah mengapa hal itu bisa terjadi?. Penyebab utama dan pertama Karhutla adalah karena pembantaian hutan tanah Melayu. Deforestasi, jangan lupakan sejarah hitam itu,” ungkapnya.

Elviriadi juga mengajak semua pihak terkait untuk mengurai benang kusut Karhutla ini dari pangkalnya. Yang berujung dari mindset pembangunan sejak Orde Baru sampai hari ini, yang mengejar pertumbuhan ekonomi makro, tetapi mengorbankan sumberdaya alam. Modusnya sejak dulu pun sama, bangun kolabarasi komplit dengan irama gendang, “hutan dan gambut harus jadi rupiah”.