Dr Elviriadi: Pendirian ITPC Tak Menjawab Kerusakan Lahan Gambut

Penulis : Redaksi Betahita

Wawancara

Selasa, 06 November 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id –  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meresmikan Sekretariat Interim Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC) di Jakarta, Selasa, 30 Oktober 2018. Sekretariat ini akan menjadi pusat penelitian dan pengembangan pengetahuan terkait dengan tata kelola gambut yang berkelanjutan di Indonesia.

Seberapa jauh ITPC akan menjadikan pengelolaan lahan gambut di Indonesia lebih efektif, berikut wawancara dengan pakar gambut, Dr Elviriadi, yang saat ini menjadi Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI dan Anggota Tetap “Society of Ethnobiology” Ohio State University. Reporter Betahita.id, Gilang Helindro, mewawancarai Elviriadi, Minggu, 4 November 2018.

Betahita.id: Apa tanggapan bapak terhadap Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional ?

Elviriadi : Ya, saya melihat Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC) yang dilaunching Kementerian LHK itu kan sebagai rule of model. Utamanya untuk penelitian dan akumulasi pengetahuan terkait gambut. Tentu saja cukup positif, namun demikian tidak dapat menjawab persoalan kerusakan gambut yang mendesak sekarang ini.

Ilustrasi - Menyikapi perkembangan konflik PT.Salonok Ladang Mas (SLM) dengan masyarakat Kalteng, pakar lingkungan DR Elviriadi menyebut konflik agraria ibarat bara dalam sekam.

Betahita.id: Kenapa?:

Elviriadi: Karena pokok persoalan terletak pada alih fungsi lahan gambut ke perkebunan dan pertanian masif. Lahan rawa gambut itu fragile (sangat rapuh) dan memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi, keanekaragaman hayati, satwa seperti harimau dan beruang madu, plasma nuftah, sumber pangan dan energi, dan rosot karbon. Nah, landswap gambut yang demikian itu, secara ekologis memang tidak untuk dikonversi dan dirombak seperti sekarang ini.

Betahita.id: Pengelolaan gambut sudah keliru dari dulu?

Elviriadi : Ketika tahun 90-an sampai 2000-an rawa gambut dirombak total melalui kebijakan HPH dan HTI dan Izin Usaha lainnya, dan yang fenomenal melalui Proyek Konversi Lahan Gambut Sejuta Hektar oleh pemerintah Soeharto di Kalimantan Tengah tahun 1995 itu, maka perspektif pemerintah dan para pihak terhadap gambut adalah uang. Gambut harus dikonversi menjadi rupiah, sehingga luluh lantak dan kehilangan fungsi ekohidrologisnya.

Betahita.id;  Apakah kebijakan keliru itu sudah dievaluasi pemerintah?

Elviriadi : Memang ada sedikit perubahan kebijakan pada era Siti Nurbaya (Menteri LHK). KLHK lebih kritis terhadap para pihak yang menggerogoti gambut. Keluar Permen LHK untuk mengontrol korporasi berbasis gambut, ada moratorium sebentar, ada PP 71/2014 yang direvisi memjadi PP 65/2018. Lalu Presiden Jokowi melalui Keppres No 1 tahun 2016 membentuk Badan Restorasi Gambut

Betahita.id: Sejauh ini, apakah upaya itu  efektif?

Elviriadi : Saya melihat gebrakan Siti Nurbaya cukup bagus, cuma konstelasi politik nasional dan internasional tidak kondusif. Maksudnya. di tingkat nasional kepala negara belum memutuskan kita ini mau industri yang menghabisi sumberdaya alam termasuk gambut atau berhenti dalam arti moratorium total. Kembali ke kelestarian alam, restorasi back to nature.

Evaluasi izin secara tegas, verifikasi tata batas, yang bermasalah dan menimbulkan kebakaran lahan cabut izinnya. Lalu yang difasilitasi modal, saprodi, izin dan teknologi itu ke rakyat kecil dan petani lokal. Kan sudah puluhan tahun diberi ke konglomerat, gambut hancur dan ekonomi pembangunan morat marit.

Betahita.id: secara internasional pula?

Elviriadi: Coba lihat, Sekretariat interim Pusat Lahan Gambut Tropis itu, kan dukungan internasional semarak. Sama dengan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil di Riau yang juga didukung orang-orang internasional, saya lihat perspektif mereka timpang.

Mereka hanya memdukung secara parsial gerakan penyelamatan berbasis proyek. Juga para ilmuwan dari Jepang, universitas di Eropa dan Asia itu, mereka hanya “meramaikan”. Peran mereka amat terbatas, mereka tidak holistik untuk perjuangan lingkungan, untuk fight to problem. Artinya ada conflict of interest, konflik kepentingan. Lebih persis nya “confuse of understanding”.

Betahita.id: Bisa diberikan contoh lain?

Elviriadi : Sejak dulu ada konferensi internasional di Stockholm tahun 1982, kemudian di Rio de Jenairo, ada protokol Kyoto. Pertemuan dunia itu heboh di awal, tapi masing-masing kepala negara ragu dan banyak yang ambigu untuk menerapkannya di negara masing masing. Conference on Parties (COP) di Paris dan di Jerman itu kan pesertanya paradoks, orang kapitalis MNC (multi national corporation) penjarah hutan gambut juga ikut rembug dan bersuara lantang. Begitu juga implementasi UNFCC, IPCC dan KTT di Bali, katanya mau menurunkan emisi GRK dan suhu bumi di bawah 2 derajat. Kalau itu beban sejarahnya, yang indonesia dan dunia perlukan adalah fight, war to enemy, perang melawan kapitalisme ekologis.

Betahita.id: Apa yang kita perlukan saat ini?

Elviriadi : Bangsa ini perlukan pemimpin yang civilized. Yang ngerti persoalan. Yang baca buku dan mature by conflict. Masak oleh pertarungan pertarungan sosial politik demi memenangkan rakyat, kebenaran dan keadilan ekologis. Soal gambut dan lingkungan ini bukan saja soal unsur saintifik biogeokimia dan restorasi tata air (water ground table), canal blocking, sumur bor, water bombing, menangkap rakyat pembakar lahan.

Tapi ini harus dibaca dari perspektif ideologi negara, pertahanan keamanan dan stabilitas ekonomi pembangunan. Kalau hutan kita musnah, sumber pangan dan energi kita ikut lenyap, kita menjadi negara lapar yang mudah dijajah dan didikte. Baik melalui skema World Bank, IMF dan epistemologi liberal lainnya.

Makanya, saya heran juga kok solusi yang diberikan parsial sekali: bikin Pusat Lahan Gambut, Bikin Laboratorium Gambut, Canal Blocking, Water Bombing, tutup kanal, revegetasi. Yang beginian dah banyak dari dulu. Kalau gini terus, saya khawatir negara ini terus disandera kapitalisme dan elit politiknya selalu gagap dan gamang. Adakah daya intelektual para pemimpin kita sampai ke situ? Saya kira demokrasi kita menjelang Capres 2019 ini masih belum, ayo kita nikmati saja kekonyolan dan ketololan kolektif ini sebagai tragedi kehancuran ekosistem gambut.