Pakar Lingkungan: Pengelolaan Gambut Keliru Sejak Dulu

Penulis : Redaksi Betahita

Gambut

Selasa, 06 November 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id-Pakar lingkungan, DR Elviriadi, mengatakan pengelolaan gambut sudah keliru dari dulu. Berawal dari tahun 1990-an sampai 2000-an rawa gambut dirombak total melalui kebijakan HPH, HTI dan Izin Usaha lainnya.

Menurutnya, yang fenomenal melalui Proyek Konversi Lahan Gambut Sejuta Hektar oleh pemerintah pada zaman kepemimpinan Presiden Soeharto di Kalimantan Tengah tahun 1995. Perspektif pemerintah dan para pihak terhadap gambut adalah uang dan pendapatan negara.

“Gambut dianggap harus dikonversi menjadi rupiah, sehingga luluh lantak dan kehilangan fungsi ekohidrologisnya,” katanya saat diwawancarai via telpon, Minggu (4/11) lalu.

Elviriadi melihat kebijakan keliru itu sudah mulai dievaluasi pada era Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK. KLHK lebih kritis terhadap para pihak yang menggerogoti gambut. Keluar Permen LHK untuk mengontrol korporasi berbasis gambut, ada moratorium sebentar, ada PP 71/2014 yang direvisi memjadi PP 65/2018. Lalu Presiden Jokowi melalui Keppres No 1 tahun 2016 membentuk Badan Restorasi Gambut.

Tim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menyegel area lahan terbakar di lima perusahaan perkebunan di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Menurut dia, gebrakan di bawah komando Siti Nurbaya cukup bagus, cuma konstelasi politik nasional dan internasional tidak kondusif. Maksudnya, di tingkat nasional kepala negara belum memutuskan kita ini mau industri yang menghabisi sumberdaya alam termasuk gambut atau berhenti dalam arti moratorium total. “Kembali ke kelestarian alam, restorasi back to nature,” katanya.

Ia minta pemerintah mengevaluasi izin secara tegas, dengan melakukan verifikasi tata batas. “Yang bermasalah dan menimbulkan kebakaran lahan cabut izinnya. Lalu yang difasilitasi modal, saprodi, izin dan teknologi itu ke rakyat kecil dan petani lokal. Kan sudah puluhan tahun diberi ke konglomerat, gambut hancur dan ekonomi pembangunan morat-marit,” katanya.

“Kalau hutan kita musnah, sumber pangan dan energi kita ikut lenyap, kita menjadi negara lapar yang mudah dijajah dan didikte. Baik melalui skema World Bank, IMF dan epistemologi liberal lainnya,” kata Elviriadi.