Tolak Sawit, Masyarakat Adat Papua Serahkan Petisi ke KLHK

Penulis : Redaksi Betahita

Hutan

Kamis, 15 November 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Masyarakat adat Papua dan Papua Barat (Orang Asli Papua) menolak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk ke tanah ulayat mereka. Sebagai wujud penolakan, mereka menyerahkan petisi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa, 13 November 2018.

Baca juga: Greenpeace Tuding Sawit untuk Biskuit Ini Rusak Habitat Orangutan

Salah satu perwakilan masyarakat, Samuel Ariks, seorang tokoh marga Ariks dari Suku Mpur, Lembar Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, meminta agar pemerintah terutama KLHK mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan perkebunan di dalam wilayah adat Suku Mpur. Izin itu milik PT Bintuni Agro Prima Perkasa (PT BAPP) yang memiliki konsesi seluas lebih dari 19,368 hektare di Kabupaten Tambrauw.

Samuel menuturkan sebelum beroperasi, perusahaan melakukan beberapa kali pertemuan dengan masyarakat adat. Dari situ, perusahaan dikatakan hanya akan beroperasi di daerah alang-alang. Ada pula uang senilai Rp100 juta diberikan dan dianggap sebagai “tali asih”.

Dok.Betahita

“Setelah tali asih diberikan, keluar sejumlah dokumen yang menyatakan kami lepas tanah adat. Kapan kami lepas tanah adat kami?” kata Samuel dalam dialog dengan KLHK yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Planologi di Jakarta, Selasa, 13 November 2018. Samuel mengatakan uang tersebut sempat dikembalikan tapi tidak diterima perusahaan.

“Sejak perusahaan beroperasi di sana, setelah terjadi tanda tangan, dia belum kasih lihat kita dokumen yang jelas berapa lama operasi, berapa areal dia bekerja. Dia ganti rugi kita seperti apa, tidak pernah ada. Dari enam marga, seluruh Suku Mpur di kabupaten Tambruaw tidak menerima kehadiran itu,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Petrus Kinggo dari Boven Digul, Jayapura. Petrus mengeluhkan tentang aktivitas PT Tunas Sawa Erma  dengan konsesi seluas 20 ribu hektare. Menurut Petrus, awalnya PT Tunas Sawa Erma hanya “meminjam” tanah adat mereka. Di kemudian hari, perusahaan itu sudah punya izin Hak Guna Usaha atau HGU.

“Selama ini pemerintah daerah dan perusahaan tidak pernah sosialisasi. Manajemen hingga saat ini tidak ada keterbukaan dengan kami. Kami minta pemerintah mencabut semua izin HGU terus kembalikan tanah adat kami. Sebab, kami ini mau ke mana, kami masih hidup tergantung dengan alam,” kata Petrus.

Menanggapi keluhan dari masyarakat adat Papua dan Papua Barat, Kasubdit Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Direktorat Jenderal Planologi KLHK, Sigit Nugraha, mengatakan akan lebih dulu menelaah laporan serta data dan informasi yang diserahkan oleh masyarakat adat tersebut.

Kata Sigit, izin yang termasuk dalam laporan masyarakat adat tersebut akan dievaluasi sesuai dengan Inpres 8/2018 tentang moratorium izin sawit baru. Sigit mengatakan, laporan dari masyarakat adat Papua dan Papua Barat akan membantu tim KLHK untuk lebih fokus dalam melakukan evaluasi sesuai dengan kewenangan kementerian, termasuk seluruh izin pelepasan kawasan hutan.

“Kami menyambut gembira laporan dari Pemprov Papua, jadi bahan lebih awal sesuai Inpres 8/2018,” kata Sigit.

“Inpres memerintahkan kita untuk mengevaluasi izin yang naik tadi, apakah dicabut atau dikeluarkan, itu kan belum dirumuskan, tetapi opsi-opsi itu kan ada. Misalnya, tidak melaksanakan tanggung jawabnya atau kegiatannya dan semacamnya itu, nanti kita evaluasi. Ini yang belum dievaluasi, tahap selanjutnya,” katanya.

Terkait dengan hal itu, Sigit mengatakan KLHK akan membentuk tim pokja sawit  yang mulai ditargetkan bekerja sebelum pergantian tahun. â€œKalau evaluasi, baru akan dibentuk tim pokja. Target sebelum 2019 tim itu sudah bekerja,” kata Sigit.