Jelang COP24, Emisi Karbon Indonesia Meningkat
Penulis : Redaksi Betahita
Energi
Jumat, 23 November 2018
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Indonesia masih jauh tertinggal dalam performanya memenuhi target penurunan emisi karbon dalam Kesepakatan Paris. Menurut sebuah laporan terbaru, Indonesia mengalami kenaikan suhu antara 3 – 4 derajat celcius, dua kali lipat dari kenaikan suhu bumi yang disepakati dalam kesepakatan tersebut.
Menurut laporan Brown to Green Report 2018 (BGR 2018) yang diluncurkan November 2018, Indonesia termasuk dalam empat negara yang dinilai tertinggal dalam mengejar target Kesepakatan Paris (COP21) yang dihelat pada 2015 di Paris. Laporan yang diterbitkan oleh Climate Transparency — kumpulan para pakar dan lembaga untuk isu perubahan iklim dari beberapa negara anggota G20 — tersebut mengatakan sektor energi dan transportasi justru semakin bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil.
Baca Juga: Peneliti: Listrik 35.000 Megawatt, Haruskah?
Indonesia berada dalam garis cokelat atau kuning, yang menunjukkan rendahnya performa dalam menurunkan emisi karbon. Walau Indonesia sudah berada di jalur transisi menuju pembangunan ekonomi rendah karbon, dengan adanya kebijakan moratorium lahan gambut pada 2016 dan penghentian pembangunan tenaga listrik tenaga uap di Pulau Jawab, secara keseluruhan Indonesia masih tertinggal.
Pasalnya, kontribusi nasional Indonesia terhadap perubahan iklim (Nationally Determined Contribution atau NDC) tidak sesuai dengan target Kesepakatan Paris, yakni menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius. Sebaliknya malah mengarah pada kenaikan hingga 3-4 derajat celcius.
Dalam Kesepakatan Paris, Indonesia menargetkan menurunkan emisi karbon sekitar 29 persen. Dalam laporan BGR 2018, Indonesia mencatat peningkatan emisi karbondioksida sebesar 18 persen sepanjang 2012-2017 karena meningkatnya aktivitas sektor industri dan transportasi, serta bertambahnya emisi dari pembangkit listrik.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, kinerja Indonesia turun akibat meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil terutama batu bara untuk sektor energi dan ketenagalistrikan. Salah satunya adalah Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) yang hendak meningkatkan penggunaan batu bara hingga dua kali lipat pada 2017-2025.
Akibatnya, Fabby menambahkan, Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim.
“Hal ini ditandai oleh belum adanya rencana jangka panjang mengenai puncak emisi di sektor energi serta rencana keluar dari ketergantungan batu bara (coal phase-out),” kata Fabby dalam peluncuran laporan Brown to Green Report 2018 di Jakarta, Rabu, 21 November 2018.
“Implementasi untuk meningkatkan porsi energi terbarukan serta kemauan politik yang sangat kuat dari puncak pimpinan pemerintahan untuk melakukan transisi yang progresif menuju sistem ekonomi yang rendah karbon,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama Utusan Presiden untuk Perubahan Iklim Profesor Rachmat Witoelar, mengatakan NDC Indonesia perlu ditingkatkan. Rachmat mengatakan bahwa timnya juga sedang menyiapkan strategi serta upaya Indonesia yang sudah dilakukan selama ini ke Conference of the Parties (COP 21) yang akan diadakan Desember mendatang di Polandia.
Rachmat menambahkan bahwa Presiden Joko Widodo memiliki kemauan politik yang tinggi untuk mengikuti perjanjian dalam Kesepakatan Paris. Namun hal itu harus didukung oleh berbagai institusi/kementerian terkait.
“Selama ini banyak yang kerja sendiri-sendiri, tidak mengacu pada kebutuhan-kebutuhan secara teknis. Contohnya, pembangkit itu kok kebanyakan dari batu bara atau minyak bumi. Sebenarnya itu bisa ganti yang lain, diniatkan. Khawatirnya bila tidak, keseriusan kita akan dihakimi oleh dunia,” kata Rachmat.
Baca Juga: PLTA Sistem Peaker Dikembangkan demi Penuhi Listrik
Oktober lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change mengeluarkan sebuah studi yang menganalisis dampak terhadap dunia akibat pemanasan global. Bila suhu dunia tidak terjaga pada 1,5 derajat celcius, maka bencana kelaparan dan kemanusiaan akan melanda banyak negara, tidak terkecuali Indonesia.
Fabby mengatakan Indonesia akan mengalami dampak kerugian yang sangat serius apabila tidak segera melakukan upaya serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta membuat target NDC yang lebih ambisius dan sesuai dengan Kesepakatan Paris.