Dr Elviriadi: Segitiga Ideologis Penentu Restorasi Gambut

Penulis : Redaksi Betahita

Gambut

Selasa, 27 November 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pakar lingkungan, Dr Elviriadi, mengatakan ada segitiga ideologis yang menentukan nasib restorasi lahan gambut di Indonesia. Saat ini, restorasi gambut di indonesia terus berlangsung dengan kebakaran hutan dan lahan menurun hingga di penghujung tahun 2018.

Baca juga: Kolaborasi Lindungi Gambut, Pemerintah Indonesia Resmikan Sekretariat Internasional

Dr Elviriadi, yang saat ini menjadi Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI dan Anggota Tetap “Society of Ethnobiology” Ohio State University, menjelaskan segitiga ideologis tersebut, pertama; menyangkut kebijakan industri nasional yang secara ideologis masih liberal,

Kedua, himpitan krisis lingkungan dan bencana alam yang bisa berdampak politik menurunkan kredibilitas negara,

Tim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menyegel area lahan terbakar di lima perusahaan perkebunan di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

“Yang ketiga, tuntutan reformasi tata kelola hutan dan lingkungan oleh aktivis lingkungan, NGO dan gebrakan Menteri Siti Nurbaya,” katanya saat hibungi, Senin, 26 November 2018, di Jakarta.

Sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No P 40/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, land swap diberikan kepada pemegang izin HTI yang 40 persen atau lebih areal kerjanya ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

Dari 12,94 juta ha areal prioritas restorasi gambut yang diemban oleh Badan Restorasi Gambut (BRG), seluas 2,15 juta ha di antaranya atau setara 16% berada di konsesi HTI. Dari jumlah itu,  sebanyak 216.044 ha mengalami kebakaran luar biasa pada 2015.

Menurut Dr Elviriadi, pokok persoalan terletak pada alih fungsi lahan gambut ke perkebunan dan pertanian masif. Lahan rawa gambut itu fragile (sangat rapuh) dan memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi, keanekaragaman hayati, satwa seperti harimau dan beruang madu, plasma nuftah, sumber pangan dan energi, serta rosot karbon. Landswap gambut yang demikian itu, secara ekologis memang tidak untuk dikonversi dan dirombak seperti sekarang ini.

“Kalau lingkungan, hutan kita musnah, sumber pangan dan energi kita ikut lenyap, kita menjadi negara lapar yang mudah dijajah dan didikte. Baik melalui skema World Bank, IMF dan epistemologi liberal lainnya,” kata Elviriadi. Sehingga ada segitiga ideologis yang menentukan nasib restorasi gambut.