Pasca COP24, Pakar: Ini 4 Kendala Indonesia Terhadap Lingkungan
Penulis : Redaksi Betahita
Konservasi
Minggu, 23 Desember 2018
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Pakar Lingkungan Hidup DR Elviriadi menyorot dampak dari pasca proses diplomasi dan negosiasi kepala negara pada pertemuan di Conference of the Parties (COP24) di Katowice Polandia bagi Indonesia.
Baca juga: Paviliun Indonesia dalam COP24 Resmi Dibuka
Elviriadi menilai, pengaruh pertemuan itu tidak signifikan bagi Indonesia, karena starting point antar negara negara peserta jauh berbeda. Negara negara maju telah lama kehilangan hutan alam. “Saat ini, mereka bergantung pada negara negara ber hutan tropis seperti Brazil, Colombia, Kongo, dan Indonesia,” katanya saat berbincang melalui telepon seluler, Jum’at (21/12) di Jakarta.
Katanya, COP24 ini overlaping dengan kesepakatan Paris tahun 2015 lalu. “Yang di Paris belum selesai konsepnya seperti apa, eh, bikin lagi di Katowice Polandia,” kritik Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI itu.
Menurutnya, ada 4 kenyataan yang membuat Indonesia sukar mengimplementasikan COP tersebut.
Pertama, laju deforestasi dan degradasi hutan yang tak terbendung. Pemerintah selayaknya membuka akses informasi soal industri berbasis hutan, tambang dan skema perizinan agar bisa diawasi bersama.
“Jika hutan terus dimusnahkan, maka akumulasi karbon dioksida dapat segera menaikkan suhu bumi,” tegasnya.
Kedua, jebakan batman hitung hitung karbon, verifikasi dan jalur kompensasi dari negara Barat yang serba artifisial dan lips service.
Untuk apa kita hitung hitung itu karbon, ikuti panduan IPCC yang jenis gambutnya beda dgn indonesia, itu semua mahzab materialis yang tak sesuai dgn tata kelola masyarakat pribumi kita. Yang diperlukan rakyat itu kan kebijakan strategis menghentikan eksploitasi lingkungan,” ungkap anggota tetap Society of Ethnobiology Ohio State University.
Ketiga, indonesia “beda kamar” dengan negara barat. Perspektif kemasyarakatan kita terhadap hutan, iklim dan sumberdaya alam bersifat esoteris, spiritual, bersebati dengan alam. Sedangkan negara barat peserta COP 24 di Polandia itu menganut Utiliti (nilai guna fisik), sehingga alam itu komoditas belaka, boleh dieksploitasi. Jika muncul bahaya seperti global warming, baru kelabakan, bikin KTT ini KTT itu, itukan konyol paradigma ekologisnya.
Keempat, pengakuan masyarakat adat. Sukses menahan laju kenaikan suhu 1,5 derjat celcius yang menjadi ambisi COP berkali kali kepala negara itu sejatinya bisa ditangani bila masyarakat adat diberi mandat. Dengan kearifan lokal tak usah khawatir kutukan bumi. Kota Auckland Selandia Baru telah membuktikan dengan menempatkan kepala suku Maori sebagai advisors Menteri LH disana. Emisi karbon menurun, dan kotanya nyaman. “Ini yang menjadi sorotan kita bersama,” tutup Elviriadi.