Tsunami Selat Sunda, BMKG: Dipicu Longsoran Gunung Anak Krakatau

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Selasa, 25 Desember 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)  menyatakan, tsunami Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018,  dipicu longsoran akibat letusan Gunung Anak Krakatau pada 21 Desember 2018.

Baca:  Taman Nasional Ujung Kulon Berduka, Dua Petugasnya Menjadi Korban Tsunami

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan ada citra satelit yang menangkap longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau itu. “Ada 64 hektare lereng gunung yang hilang, itu tentunya membuat guncangan,” ujarnya, Senin, 24 Desember 2018.

Menurutnya, sensor gempa BMKG di Banten dan Lampung mencatat adanya getaran. Namun, kata Rahmat, guncangan itu tidak diartikan sebagai gempa melainkan longsoran. Setelah dikonversi, besaran guncangan itu setara dengan gempa magnitude 3,4.

Dok.itb.ac.id

Berdasarkan data BMKG pusat sumber guncangan atau episenter itu berada di kaki lereng Gunung Anak Krakatau. “Apakah langsung ambles hilang (64 hektare) itu perlu riset. Tapi kalau sedikit-sedikit nggak mungkin juga,” ujar Rahmat.

Sejumlah pakar dan peneliti gempa menyampaikan beragam faktor yang bisa membuat kejadian tsunami tanpa gempa di Selat Sunda terkait dengan letusan Gunung Anak Krakatau.

Pakar tsunami dari ITB, Hamzah Latief, mengatakan gelombang tinggi di Selat Sunda dipastikan tsunami. Soal penyebab pastinya, kata dia, ada beberapa faktor, khususnya yang terkait dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau. “Kalau pembentukan tsunami akibat gunung api banyak sekali penyebabnya, ada 12,” kata Hamzah pada Minggu, 23 Desember 2018.

Faktornya seperti guguran lava, longsoran bawah gunung, runtuhan kaldera, perbedaan temperatur panas. Juga ada sebab tsunami lainnya seperti blasting atau ledakan. “Seperti menggoreng ikan ada minyak panas ketemu yang dingin lalu meledak,” ujarnya.

Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung dalam siaran pers menyebutkan kaitan tsunami dengan aktivitas letusan masih harus didalami. Untuk menimbulkan tsunami Selat Sunda seperti yang terjadi Sabtu malam, 22 Desember 2018, misalnya juga perlu ada runtuhan besar yang masuk ke dalam kolom air laut.

Untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut itu diperlukan energi yang cukup besar, dan ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunung api. PVMBG menyatakan masih memerlukan data untuk dikorelasikan antara letusan gunung api dengan tsunami Selat Sunda.

TERAS.ID | TEMPO.CO