KPK Ingatkan Jangan Atas Namakan Masyarakat untuk Keruk SDA
Penulis : Redaksi Betahita
Hukum
Jumat, 01 Februari 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengingatkan agar pejabat dan pengusaha tidak lagi mengatasnamakan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Baca juga: KPK: Satwa Liar Dilindungi Biasa Jadi Gratifikasi
Laode mengulang pernyataannya perihal ini sebanyak tiga kali dalam diskusi diskusi publik Membedah Masalah dan Menggali Solusi Pasca Liputan Investigasi Tempo bertajuk Mesin Cuci Kayu Ilegal yang terbit pada Desember 2018 di Jakarta, Senin, 28 Januari 2019. Investigasi itu mengungkap, sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) menjadi celah untuk menggangsir kayu berkualitas guna menghindari pajak dan mencuci kayu ilegal.
Laode mengatakan diperlukan kesungguhan dan ketulusan dalam mengatasi persoalan pengelolaan sumber daya alam, termasuk di Papua. Dia berujar, dalam pelbagai kasus ditemukan bahwa pengusaha hak pengelolaan hutan (HPH) bekerja sama dengan pejabat. “Kepala dinas aja punya shawmill, ada itu terjadi, tolong dicek,” kata Laode.
Dalam kesempatan itu, Laode juga berjanji KPK bakal membantu menyelesaikan status quo perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu bagi masyarakat adat Papua. “Panggil kami KPK untuk memfasilitasi, kita duduk bersama-sama,” kata Laode di Hotel Morissey, Jakarta Pusat, Senin, 28 Januari 2019.
Janji Laode itu sekaligus menanggapi pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Jhon Gobay yang mengeluh bahwa masyarakat lokal belum bisa mengambil manfaat dari hutan Papua. Dia mengatakan masyarakat Papua seakan tak dianggap dan malah kerap dituduh menjual kayu dari hutan adat.
Menurut data Auriga Nusantara, sejak tahun 2011 hingga 2017, pemerintah provinsi telah menerbitkan 18 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Masyarakat Hutan Adat (IUPHHK-MA). Total luas IUHHPK-MA itu adalah 78.040 hektare. Namun, masyarakat belum dapat mengambil manfaat dari izin tersebut.
Hal ini juga menjadi poin tuntutan yang disampaikan Jhon Gobay. Dia meminta Kementerian Kehutanan untuk mengakui 18 perizinan yang sudah diterbitkan oleh pemerintah Papua itu.
Dia juga mengungkit usulan agar KLHK membentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) agar pemerintah Papua dapat menjalankan urusan kehutanan. “Hargai UU Otonomi Khusus,” ujarnya.
Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Awriya Ibrahim enggan berkomentar ihwal kelanjutan usul pembentukan NSPK itu. Sebab, pengesahan NSPK merupakan kewenangan Menteri KLHK. “Itu amanah UU, tetapi kenapa belum ditandatangani, saya tidak tahu,” kata Awriya.
Namun, Laode lagi-lagi memberi catatan. Wakil Ketua KPK ini mengatakan persoalan perizinan hutan adat itu tak melulu terkait dengan otonomi khusus. Laode berujar, otonomi khusus di Aceh dan Papua belum terbukti mampu menyejahterakan masyarakat.