Pabrik Semen Dibangun di Karst Sangkuriang Mangkalihat, Ini Kata Walhi

Penulis : Redaksi Betahita

Semen

Kamis, 28 Maret 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Wahana Lingkungan Hidup Nasional (Walhi) menanggapi Statment Gubernur Kalimantan Timur, yang dimuat dalam portal web provinsi kaltimprov.go.id , bahwa pabrik semen tak ganggu karst Sangkuriang Mangkalihat.

Baca juga: Terkait Izin Lingkungan, PTUN Tolak Gugatan HAKa

Gubernur Kaltim   Isran Noor menegaskan pembangunan pabrik semen yang meliputi dua kabupaten (Kutai Timur dan Berau) tidak mengenai atau mengganggu kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat yang merupakani cagar budaya prasejarah dan sumber air bagi masyarakat.

Hal itu disampaikan Gubernur Isran Noor setelah mendengar aspirasi ratusan pendemo yang mengatasnamakan Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) di Depan Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada Samarinda, Senin, 25 Maret 2019.

Batu gamping dari kawasan karst Ekosistem karst alami memiliki daya serap air hingga 54 mm per-jam, sedangkan daya serap karst pada bekas tambang yang tidak direklamasi, hanya memiliki daya serap air sebesar 1 mm per-jamnya. foto/doc-WalhiKaltim

Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi mengatakan pernyataan yang disampaikan tidak memiliki dasar. “Ada tiga hal mendasar dalam statment gubernur Kaltim yang menurut kami menyesatkan,” katanya saat dihubungi, Selasa, 27 Maret 2019 di Jakarta.

Wilayah karst Sangkuriang Mangkalihat

Pertama, klaim  pembangunan pabrik semen tidak berdampak pada karst Sangkuriang Mangkalihat. Alasan bahwa pembangunan pabrik tidak berdampak pada kawasan karst menunjukkan ketidakpahaman pemerintah terhadap ekosistem karst.

Menurut dia, bentang alam karst tidak dibatasi oleh batas administrasi kabupaten/ kota. Kerusakan pada satu bentang alam karst di satu lokasi  akan berakibat pada perubahan aliran sungai bawah tanah. Karst Sangkulirang sendiri memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas.

Kemudian menurutnya, mengklaim bahwa pabrik semen tidak berdampak pada kawasan karst juga mengabaikan fakta bahwa bahan baku utama semen adalah batu gamping dari kawasan karst
Ekosistem karst alami memiliki daya serap air hingga 54 mm per-jam, sedangkan daya serap karst pada bekas tambang yang tidak direklamasi, hanya memiliki daya serap air sebesar 1 mm per-jamnya. Rusaknya ekosistem karst akan meningkatkan ancaman krisis air, termasuk ancaman kekeringan dan banjir.

Kedua, klaim pabrik Semen yang dibangun ramah lingkungan dan zero dust. Klaim ini paling tidak berdasar mengingat Industri semen merupakan penyumbang karbon terbesar, tercatat industri semen sebagai penyumbang emisi karbon terbesar mencapai 48% (Laporan Investigasi Gas Rumah Kaca KLHK, 2014).

Industri Semen juga berpotensi sebagai penyumbang pencemaran udara terbesar, karena memproduksi sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (Nox), karbon monoksida (CO), serta debu dan karbon dioksida (CO2) sebagai penyumbang polusi terbesarnya. Pada sisi lain di kawasan karst Sangkulirang Mangkalihat, serapan karbon organik sebesar 6,21 juta ton CO2/tahun dan serapan karbon inorganic sebesar 0,18 juta ton CO2/tahun.

Ketiga, klaim penyerapan ribuan tenaga kerja. Sebagai perbandingan dalam AMDAL PT Semen Indonesia tercatat hanya akan menyerap 356 tenaga kerja. Dari sisi ekonomi perkembangan Industri semen yang mengalami stagnasi karena over supply juga secara langsung ataupun tidak akan mengancam keberlanjutannya.

Faktanya, berdasar data proyeksi Asosiasi Semen Indonesia (Oktober 2017), kapasitas mill industri semen yang ada saat ini mencapai 107 juta  ton, padahal proyeksi konsumsi semen domestik hanya mencapai 65,1 juta ton, angka proyeksi ini masih lebih besar dibandingkan realisasi kebutuhan semen hingga agustus 2017 sebesar 41 juta ton.

“Sayangnya klaim bahwa kebutuhan semen untuk pembangunan infrastruktur juga tidak berdasar, faktanya 75% konsumsi semen digunakan untuk kepentingan retail (masyarakat),” katanya.