Ini Kata Pakar soal Polemik Produk Sawit UE
Penulis : Redaksi Betahita
Sawit
Selasa, 02 April 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Heboh reaksi pemerintah Indonesia atas rencana Uni Eropa menolak sawit Indonesia menjadi biofuel karena pengembangan sawit menyebabkan deforestasi, menarik perhatian publik. Untuk menganalisis kebenaran wacana kedua pihak, Betahita mewawancara Pakar Lingkungan DR.Elviriadi di sela sela kesibukannya menuju kota Makassar.
Betahia: Begaimana bapak melihat reaksi pemerintah Indonesia terhadap rencana Uni Eropa terkait penolakan produk minyak sawit?
Elv : Saya kira pemerintah harus melihat kritik Uni Eropa (UE) ini sebagai momentum. Momentum apa? Ini BEP (Break Event Point) evaluatif dan reflektif tata kelola sawit kita
Betahita: Tata kelola? Maksudnya?
Elv: Ya, tata kelola perkebunan sawit indonesia itu yang alpa diperhatikan pemerintah. Mulai dari tata ruang, keseimbangan sosial, daya dukung lingkungan, sampai pelanggaran HAM. Variabel yang paling serius itu tata ruang. Masak untuk ambisi biar disebut Negara Produsen CPO terbesar kita harus men-sawit-kan separuh luas daratan kita. Monokultur sawit dengan tak menghiraukan tata ruang itu jelas blunder. Di mana kita mau menempatkan hutan lindung, hutan konservasi dan ruang hidup sosial. Hutan lindung dan konservasi itu kawasan tangkapan air (catcmant area) itu benteng bencana, agar terhindar dari longsor, erosi, sedimentasi DAS, dan banjir bandang.
Bayangkan, di Propinsi Riau terdapat 2, 4 juta hektar perkebunan sawit milik perorangan dalam kawasan hutan. Itu 1000% masalah besar dari sisi pajak, daya dukung lingkungan, konflik sosial dan perizinan. Saya sudah sampaikan hal ini ke Pimpinan KPK pak Laode M Syarif untuk ditindaklanjuti KPK
Betahita: jadi Uni Eropa mengetahui informasi tersebut?
Elv : Wah, saya kira sudah cukup lama UE mengetahuinya. Apalagi sekarang zaman sudah canggih. Dengan platform Global Forest Watch (GFW) saja sudah terhidang overlay laju deforestasi indonesia. Luas alih fungsi lahan per tahun, ekspansi perkebunan sawit ke lahan basah dan rawa gambut, hot spot di areal konsesi dan peta rawan bencana.
Apalagi parlemen UE pasti punya tim riset dan kajian dampak ekspansi sawit seperti emisi karbon yang membuat pemanasan global.
Bagi saya yang menarik, UE sudah beralih dari Biofuel Bahan Bakar Nabati yang high risk seperti minyak sawit. Mereka memilih Sunflower atau minyak kedelai. Kesadaran dampak lingkungan jika mengandalkan Bahan Bakar nabati sawit, membuat UE menolak produk indonesia. Ini sangat clear dan ilmiah, demi keselamatan 7 milyard penduduk bumi.
Betahita: Tapi alasan pemerintah ekspor CPO untuk ekonomi nasional dan petani sawit?
Elv: Apa benar? Berapa persen smallholders (petani gurem) yang masuk dalam kuota eksport? Kan yang diperjuangkan mati matian itu milik konglomerat. Bahkan prediksi Max Weber, ini kan perjuangan klas Birokrasi Kleptokratik. Artinya, birokrat atau pejabat itu sendiri yang mengguntingkan kepentingan rakyat dengan menggantikan kepentingan pribadi. Yang jutaan hektar ditolak UE itu bukan smallholders (petani sawit gurem) tetapi kepentingan individual konglomerat dimana pejabat negara itu berada didalamnya.
Seluruh negara di dunia bisa melihat di Televisi, internet, hasil riset kampus dan investigasi NGO soal soal semacam ini. Sangat mudah mengikuti eskalasi konflik agraria, limbah pencemar sehingga ribuan ikan mati, satwa dan flora yang kehilangam habitat, emisi karbon, sampai pelanggaran HAM akibat ketidak adilan ruang kelola hutan.
Betahita: Ke depan?
Elv : Pemerintah harus bisa berikan data kondisi persawitan di indonesia. Jawab dengan data, buktikan bahwa tuduhan UE itu palsu. Harus objektif dong. Transparan. Hak negara luar untuk menetapkan standard modern yang diperlukan bagi kebutuhan energi mereka. Kita tidak boleh sesumbar dan gegabah. Kalau kita tetap mau dagang SDA, yang bikin hilirisasi minyak mentah kita. Buatlah bangsa ini bermartabat. Saya khawatir kalau indonesia reaktif dan sesumbar, tak mau introspeksi, di forum WTO kita ditertawakan dunia.