Ini Penyebab Menteri Siti Seharusnya Melindungi Ulin
Penulis : Redaksi Betahita
Lingkungan
Senin, 09 Maret 2020
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, dinilai bakal membuat beberapa jenis tumbuhan semakin terancam keberadaannya. Tak terkecuali bagi ulin.
Baca juga: Peraturan Menteri Siti Ini Akan Membuat Ulin Punah
Pemilik nama latin Eusideroxylon zwageri atau biasa juga disebut sebagai Kayu Besi tersebut dalam PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018 keluar dari daftar jenis tumbuhan dilindungi. Artinya saat ini status ulin tidak lagi dilindungi, sehingga penebangan dan perdagangannya dapat bebas dilakukan.
Pakar dan pemerhati tumbuhan, menilai peraturan menteri tersebut dapat berakibat fatal. Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, Ketua Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI), mengatakan keterancaman ulin menjadi semakin tinggi gara-gara status perlindungannya dicabut oleh pemerintah.
Prof. Dr. Tukirin menjelaskan, ulin merupakan tumbuhan endemik atau keberadaannya terbatas hanya di beberapa pulau saja, seperti Bangka, Belitung dan Kalimantan. Meski ketersediaan ulin di hutan alam dianggap cukup banyak, namun eksploitasi atau penebangan ulin di hutan alam yang tinggi sangat tidak seimbang dengan upaya penanamannya kembali.
“Mungkin di hutan alam masih banyak tersedia. Tapi penanaman kembalinya tidak ada. Kalau penebangan ulin di hutan alam masif sedangkan penanamannya tidak ada yang melakukan, maka ulin akan semakin terancam keberadaannya. Apalagi kalau statusnya tidak lagi dilindungi setelah PermenLHK Nomor P.106 itu terbit,” kata Tukirin, Minggu (8/3/2020).
Lebih jauh Tukirin menjelaskan, ulin adalah tumbuhan yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. Pertumbuhannya hanya kurang lebih 0,02 sampai 0,03 cm per tahunnya. Kemudian regenerasi ulin, menurut Tukirin, juga terbilang sulit. Karena bibit ulin di hutan alam cenderung gagal tumbuh akibat serangan serangga pengebor. Tanpa upaya budidaya atau campur tangan manusia, regenerasi ulin akan sangat sulit terjadi.
“Ulin itu pertumbuhannya, bahkan lebih lambat dari ramin. Kalau ramin sekitar 0,04 cm per tahun, ulin 0,02 cm per tahun. Untuk pertumbuhan di awal memang normal, tapi setelah mencapai ukuran yang cukup besar, pertumbuhannya akan melambat. Kemudian untuk regenerasi, di hutan alam biasanya sulit terjadi karena bibit ulin gagal tumbuh karena diserang serangga.”
Terkait sikap FPLI, Prof. Dr. Tukirin menuturkan pihaknya saat ini tengah menunggu sikap pemerintah. Baik dari Kementeran Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai otoritas pengelola maupun otoritas keilmuan dalam hal ini LIPI menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Bila mereka menghendaki pandangan dari FPLI, kami akan bersikap. Untuk sementara ini, 12 jenis tumbuhan yang menjadi target SRAK (Strategi Rencana Aksi Konservasi) FPLI mau dilindungi atau tidak, kami tetap komitmen untuk diupayakan pelestariannya. Secara pribadi saya agak kecewa dengan dikeluarkannya jenis-jenis yang tadinya dilindungi. Tanpa ada kajian atau evaluasi populasi berdasarkan data ilmiah yang memadai.”
Kecewa Otoritas Keilmuan Tidak Dilibatkan
Prof. Dr. Tukirin juga menyoroti tidak dilibatkannya otoritas keilmuan, dalam hal ini LIPI, atas keluarnya PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018. Sosok yang karib dipanggil Raja Krakatau itu mengaku kecewa beberapa jenis tumbuhan dari daftar jenis tumbuhan yang dilindungi dikeluarkan tanpa pertimbangan dari pihak otoritas keilmuan.
Berdasarkan hasil pertemuan antara FPLI dan LIPI, lanjut Prof. Dr. Tukirin, pihak LIPI mengaku menerima surat dari KLHK berisi permintaan pertimbangan dari pihak LIPI tentang rencana dikeluarkannya sejumlah tumbuhan dari daftar jenis tumbuhan yang dilindungi, lewat PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018. Namun belum sempat surat KLHK tersebut direspon oleh LIPI, PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018 dimaksud ternyata malah lebih dulu diundangkan.
“Dan menurut informasi dari LIPI, hal semacam itu sebelumnya juga sering terjadi, dan dianggap LIPI kurang punya data yang cukup untuk kepentingan itu. Itu yang saya agak kecewa. Juga pendelegasian wewenang antarinstansi kurang saling menghargai dan menganggap remeh terhadap instansi lain. Ini yang sering terjadi, apalagi hasil penelitian dari peneliti dalam negeri sering kurang dianggap, sehingga maklum kalau LIPI sering dianggap kurang memiliki data yang memadai.”