PT Salonok Ladang Mas Dituding Garap Lahan Warga
Penulis : Redaksi Betahita
Agraria
Rabu, 29 Mei 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar swasta masih bermunculan. Salah satunya adalah konflik antara Wardian, warga Desa Sembuluh 1 dengan PT Salonok Ladang Mas (SLM) Union Sampoerna Triputra Persada (USTP) Grup, yang terjadi di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
PT SLM dituding telah melakukan penggarapan lahan dan penambangan tanah laterit di atas lahan milik Wardian di daerah Bukit Batu Gadur. Konflik tersebut belakangan memanas dan mengakibatkan munculnya ketegangan antara Wardian dengan PT SLM dan aparat keamanan di lapangan.
Ditemui di Jakarta, Wardian menuturkan, PT SLM telah melakukan penggarapan dan pengambilan tanah laterit di lahan miliknya yang berada di daerah Bukit Batu Gadur, Desa Sembuluh 1, Kecamatan Danau Sembuluh. Aktivitas tersebut dilakukan tanpa izin dari dirinya.
“Lahan itu milik keluarga saya. Sebagian ada yang milik saya. Saya sudah menggarap lahan di situ sejak 1994. Untuk berladang, berkebun dan berternak. Bahkan membuat rumah di sana. Saksinya banyak. Tapi tahu-tahu perusahaan menggarap lahan itu tanpa izin,” kata Wardian, saat ditemui di Jakarta, Senin (27/5/2019).
Menurut Wardian, luas lahannya yang telah digarap perusahaan di Bukit Batu Gadur saat ini mencapai puluhan hektare. Aktivitas penggarapan lahan itu sudah dilakukan sejak 2018. Wardian mengaku telah melaporkan aktivitas tersebut kepada pihak kepolisian dan pemerintah setempat, namun laporan-laporannya tersebut tidak mendapat respon.
“Saat ini mungkin sudah mencapai 50 hektare. Itu sudah sejak April 2018. Mereka buka lahan dan langsung tanam. Saya sudah puas bersurat. Sudah tiga kali melaporkan, ke kepolisian, pemerintah daerah dan gubernur. Tapi sampai sekarang masih tidak ada tanggapan.”
Akibat penggarapan lahan di Bukit Batu Gadur itu, lanjut Wardian, ratusan tanaman pohon dan buah-buahan yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi keluarganya dibabat habis oleh pihak perusahaan. Seperti pohon karet, durian, rotan, kopi, jengkol, aren dan tumbuhan lain. Tak hanya itu, menurut Wardian, lahan pertanian tanaman pangan beririgasi milik warga juga tak luput ikut digarap perusahaan.
“Banyak macam yang telah ditebang. Termasuk ulin habis digarap. Ada 80 jenis tumbuhan yang saya tanam di situ (Bukit Batu Gadur). Obat-obatan tradisional juga.”
Selain menggarap lahan tersebut. Pihak perusahaan juga menggarap lahan miliknya dan milik warga lain di sekitar Bukit Batu Gadur, seluas 43 hektare. Terhadap lahan tersebut, pihak perusahaan sudah mengakui kesalahannya dan akan melakukan ganti rugi sebesar Rp10 juta per hektare. Akan tetapi hingga sekarang ganti rugi dimaksud belum juga terealisasi.
Hentikan Aktivitas Alat Berat dan Bersitegang dengan Aparat Kepolisian
Wardian menguraikan, pada 25 Maret 2019 lalu, dirinya dan sejumlah warga lain pernah berupaya menghentikan aktivitas alat berat yang sedang beroperasi di Bukit Batu Gadur. Namun aktivitas alat berat tersebut hanya sebentar saja berhenti beroperasi.
Upaya serupa kembali dilakukan pada 4 Mei 2019 terhadap alat berat yang sedang melakukan penambangan tanah laterit di atas lahan di Bukit Batu Gadur. Penghentian aktivitas alat berat kali ini dilatari oleh adanya kesepakatan bahwa sebelum sengketa lahan itu terselesaikan, pihak perusahaan tidak akan melakukan pekerjaan di lokasi.
“Saya minta kepada operator alat beratnya untuk berhenti bekerja. Karena lahan itu masih bersengketa. Dan sesuai kesepakatan, selama sengketa itu belum ada penyelesaian, perusahaan tidak bekerja di lapangan. Tapi kesepakatan itu dilanggar. Makanya kami hentikan aktivitas alat berat itu.”
Wardian menduga, aktivitas alat berat yang beroperasi di lahan bersengketa tersebut ada hubungannya dengan oknum aparat hukum setempat. Dugaan tersebut didasarkan atas pernyataan sang operator alat berat yang menyebut alat berat ekskavator tersebut merupakan milik oknum anggota kepolisian.
Tak lama setelah dirinya menghentikan aktivitas alat berat tersebut. Beberapa anggota kepolisian datang ke rumah pondoknya, di daerah Bukit Batu Gadur, dan meminta dirinya ikut ke kantor polisi. Namun Wardian memilih untuk tidak menuruti permintaan tersebut. Dikarenakan permintaan untuk ikut ke kantor polisi itu dirinya anggap tidak jelas dasarnya.
“Mereka (anggota polisi) datang membawa senjata lengkap dan meminta saya ikut ke kantor. Tapi saya menolak karena mereka tidak bisa menunjukkan surat tugas yang jadi alasan dan dasar hukum membawa saya. Saya ditarik-tarik. Tapi saya tetap tidak mau ikut dan memilih masuk ke mobil saya sendiri. Bahkan saat masuk ke mobil saya, Kapolsek berteriak tembak-tembak. Tapi anak buahnya tidak melakukannya,” terang Wardian.
Terpisah, Kapolsek Danau Sembuluh, Iptu M. Far’ul Usaedi membantah pernyataan Wardian yang menyebut adanya intimidasi yang dilakukan Kapolsek Danau Sembuluh berupa perintah untuk melakukan penembakan, saat sejumlah anggota Polsek meminta Wardian ikut ke kantor polisi setempat.
“Saya tidak pernah melakukan perintah untuk tembak pak Wardian pada saat itu. Silakan dikonfirmasi sama orang lain. Jangan cuma dengar sepihak dari pak Wardian. Saya rasa banyak saksi ada saat itu,” kata Iptu M. Far’ul Usaedi, Senin (27/5/2019).
Iptu M. Far’ul menjelaskan, kedatangan anggota kepolisian ke rumah Wardian, pada 4 Mei 2019 lalu, dimaksudkan untuk meminta keterangan dari masing-masing pihak yang berkaitan dengan permasalahan sengketa lahan di Bukit Batu Gadur. Termasuk keterangan dari Wardian. Iptu Far’ul juga mengaku tidak mengetahui soal kepemilikan alat berat itu.
“Setiap ada permasalahan dan laporan, polisi selalu hadir. Kedatangan polisi untuk meminta keterangan dari masing-masing pihak dan tidak menginginkan terjadi yang tidak diinginkan. Terkait alat berat itu milik kontraktor saya kurang mengetahuinya.”
Di kesempatan lain, Sahmidi, Kepala Bagian Community Development Officer (CDO) PT SLM mengatakan, lahan Bukit Batu Gadur berada dalam izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Salonok Ladang Mas (SLM). Penggarapan lahan tersebut sudah didahului dengan proses identifikasi pemilik lahan, pengukuran lahan dan pembayaran ganti rugi tanam tumbuh kepada pemilik lahan di kawasan tersebut.
“Sedangkan klaim Wardian terhadap lahan tersebut sudah dipatahkan oleh para pemilik lahan. Mereka peladang yang sudah turun temurun di lahan tersebut seperti Isai bin Hamut, Anang Sabri bin Haji Tabri, Syamsu Rizal, Almarhum Anang Busra dan lain-lain. Hal itu dibenarkan oleh orang-orang kampung bahkan Camat Seruyan Raya Juansyah yang juga mantan Camat Danau Sembuluh,” kata Sahmidi, Jumat (24/5/2019).
Soal ganti rugi atas penggarapan lahan 43 hektare yang disebut Wardian belum dibayarkan. Sahmidi menganggap klaim Wardian terhadap lahan tersebut tidak berdasar. Pihaknya telah melakukan identifikasi dan verifikasi melibatkan pemerintah daerah setempat. Hasilnya Wardian diketahui tidak memiliki hak di atas lahan tersebut.
“Wardian mengaku memiliki lahan seluas 43 hektare itu klaim atau ada alas haknya? Kemudian sebelum menuntut menggugat memprotes perusahaan, seharusnya dia konfrontir dulu dengan mereka pemilik lahan yang berladang di lokasi itu. Lahan yang 43 hektare itu sudah verifikasi lahan bersama tim verifikasi Pemda Seruyan sudah dilakukan. Bahwa Wardian klaim tidak mendasar, klaim objeknya berpindah-pindah. Sampai pemda diundang karena klaim 43 hektare terlalu luas.”
Rencananya, lanjut Sahmidi, akan dilakukan mediasi untuk mempertemukan Wardian dengan beberapa orang warga peladang di lahan seluas 43 hektare yang menerima ganti rugi dari perusahaan.